#4 – Extremely Loud and Incredibly Close

Cover Extremely Loud and Incredibly CloseTitle: Extremely Loud and Incredibly Close
Author: Jonathan Safran Foer
Rating: 5/5

One of the good things in reading a book is when you don’t have any expectations at all and after you finish reading it you take a deep sigh and say to yourself, “Damn, it’s good.” You don’t read its synopsis and reviews. What you only have is people say it’s a good book. That’s it. And that’s what I have experienced with Extremely Loud & Incredibly Close. I don’t have any expectations at all. All I know is that some of my friends say that this is good. So, I read it.

At first, I thought it was about another love story. A romance. It only took me few pages to realise that this was about a boy and his father. “Okay, this is interesting,” I thought. So, I read page after page and it’s getting more and more interesting for me. Maybe just like what Ayu has written in her review of this book, “This could be one of my biased review because I’m reading this when I’m not in a right emotional state.” In my case was I was in a right emotional state. I was fine and I wasn’t in my depresive mood. But, I lost my father 58 days ago. Automatically, I relate myself to Oskar Schell, the main character. Yes, this could be one of my biased review because the same story what Oskar and I have.

Oskar lost his father in 9/11 tragedy. After he died, Oskar found a vase. Inside it there was an envelope written “Black” with a key in it. Oskar thought it should have something to do with his father. So, he decided to find this Black–whoever he or she was–and asked Black about the key. Maybe Black knew something about his father. He roamed around New York to find the Black. He had spent eight months before finally he found the right Black. And along his journey he knew who his Grandpa was. At last.

This story was written using three viewpoints: Oskar, his grandfather, and his grandmother. For first few chapters I was confused who was telling a story. But then I was able to know who the narator was for each chapter.

I love Oskar. He was smart and was a critical boy. He’s only 9 years old and he knew already he was an atheist. Though I doubt that there was really a 9-year-old boy could think like that. I get the feeling that he got all that from his father since, I think, the two of them were very close. What Oskar and his father have, the relationship between them, reminds me of my own relationship with my father. While reading this, I couldn’t stop thinking of my father. Oskar and I have the same story. We both loved our father. We both lost someone that was dear to our hearts. We both grieved, but in different way. By roaming around New York to find the Black was Oskar’s way to grieve. He definitely took a really long time to grieve. He’s upset at his mother because he thought his mother was so quickly to be happy and find a new friend. He just didn’t know that there’s no right way to grieve.

After finish reading this, I felt pain in my old wound. It was like someone pour a salt over it. I guess my wound will never completely heal. I closed my ebook reader and whispered, “Papa, I miss you so much.”

#3 – Blink

BlinkJudul: Blink
Penulis: Malcolm Galdwell
Edisi: ebook. Pertama kali terbit tahun 2005.

Akhirnya saya bisa baca juga Blink setelah sekian tahun saya tahu buku ini (pertama kali diberitahu oleh dosen saya sewaktu saya masih semester 1 atau 2). Seandainya saya baca buku ini sewaktu saya kuliah dulu niscaya topik thin-slicing adalah topik yang menarik. Berhubung saya baru baca sekarang, somehow topik ini sudah tidak menarik lagi.

Mungkin kalian sudah tahu apa itu thin-slicing. Kita bisa menilai sesuatu dan/atau seseorang hanya dalam beberapa detik saja. Seorang kurator bisa tahu suatu artefak asli atau tidak hanya dengan memandangnya sekilas. Seorang psikolog bisa melihat hanya dalam beberapa menit saja untuk tahu pasangan suami-istri akan awet atau tidak perkawinannya. Dan banyak contoh yang lainnya. Buku ini membahas thin-slicing dimulai dari patung kouros dari enam abad sebelum masehi dan setelah dilihat oleh kurator ternyata palsu, kemudian tentang perkawinan (John Gottman bisa menilai pasangan suami-istri akan bercerai atau tidak hanya dari interaksi mereka dalam beberapa menit saja), tentang periklanan hingga militer. Dengan thin-slicing kita memang bisa menghemat waktu dan tenaga, tetapi thin-slicing juga punya sisi gelapnya. Sisi gelapnya yah… berhati-hatilah dalam melakukan snap judgment karena siapa tahu bisa merugikan diri kita atau orang lain. Hihihi…

Secara keseluruhan, buku ini ringan yah selayaknya psikopop lah. Dalam hitungan jam bisa selesai dibaca sebenarnya. Tapi, berhubung saya sedang malas dan sedang (sok) sibuk juga jadi baru bisa selesai baca buku ini setelah empat hari. 😀 Dan isinya juga tidak terlalu menarik. Tapi, kalau hanya untuk sekadar pengantar tentang thin-slicing, ya Blink lumayan okelah.

Skala 1 – 5, saya beri nilai 2 untuk Blink.

#2 – Lapar

LaparJudul: Lapar
Penulis: Knut Hamsun
Penerjemah: Marianne Katoppo
Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia (cetakan II, Juli 2013)
Halaman: xxii + 284
ISBN 13: 978-979-461-850-9
Harga: Rp 55.000,-

Knut Hamsun. Nama itu belum saya pernah dengar sebelumnya hingga hari Sabtu tanggal 28 Desember 2013. Hari itu saya iseng ke toko buku di kota saya dan melihat buku ini di rak “Sastra”. Saya pun tertarik ketika mengetahui Hamsun adalah seorang penerima nobel di bidang kesusastraan.

Lapar bercerita tentang “Aku” yang sangat miskin. Sudah biasa baginya tidak memegang uang sepeser pun dan tidak makan berhari-hari. “Aku” harus menahan lapar, badannya menjadi kurus kering, lemah, dan tidak berdaya. Bahkan dia tidak punya tempat tinggal. Pernah dia harus tidur di hutan di kala cuaca begitu dingin.

Yang menarik dari “Aku” adalah meski dia sangat miskin dan sudah tidak makan berhari-hari, dia tetap berpikir positif. Dia selalu semangat dan yakin bahwa artikelnya akan dimuat di koran dan dia akan mendapat uang untuk makan. Dia percaya itu. “Aku” juga orang yang jujur dan harga dirinya begitu tinggi. Meski dia tidak punya uang dan sangat kelaparan, dia tidak mau mengharapkan belas kasihan orang lain. Dia juga seorang yang jujur. Ketika seorang pelayan salah memberikan uang kembalian kepadanya, awalnya dia senang karena telah menerima uang “gratis”. Namun, lama-kelamaan hati nuraninya terus menghantuinya. Dia merasa bersalah. Untuk menebus rasa bersalahnya, dia memberikan uang itu ke nenek-nenek penjual roti. Bahkan, di saat saya mengira dia sebentar lagi akan mati, dia tetap optimis dan semangat.

Terlepas dari sifat positif dari tokoh “Aku”, jujur saja saya sering merasa kesal. Saya kesal dengan sifatnya yang terlalu optimis itu. Dia terlalu percaya diri bahwa tulisannya akan diterima editor, sementara dia sudah ditolak berkali-kali. Bukannya dia juga tetap mencari pekerjaan yang lain, tapi dia tetap terpaku dengan pekerjaannya sebagai penulis. Akibatnya, dia tidak punya penghasilan dan dia harus menahan lapar juga dingin karena dia tidak ada tempat tinggal. Yah, mungkin ini karena saya yang pragmatis, tapi entahlah… Rasa-rasanya “Aku” itu ya ndak benar juga.

Lapar yang aslinya berbahasa Norwegia diterjemahkan dengan baik oleh Marianne Katoppo. Tahu darimana saya kalau novel ini terjemahannya baik sementara saya kan tidak bisa bahasa Norwegia? Karena saya menikmati membaca novel ini. Kening saya tidak perlu berkerut membaca terjemahan yang aneh. Saya terhanyut membaca dari awal hingga akhir. Namun sayang, masih ada beberapa kesalahan ketik. Tapi, bisa ditolerir lah. Mudah-mudahan cetakan yang berikutnya tidak ada lagi kesalahan ketik.

Skala 1 – 5, saya beri nilai 4 untuk Lapar.