Shopping Spree Maret 2014

Bulan ini sudah tiga kali saya membeli buku. Sungguh luar biasa. Tapi, saya membeli buku-buku itu bukannya tanpa alasan. Selalu ada pertimbangan masak mengapa akhirnya saya memutuskan untuk membeli buku apalagi saya masih jadi pengangguran begini. Berikut buku-buku yang saya beli beserta harga dan alasan kenapa saya membelinya:

Pertama, buku Pedoman Lengkap Profesional SDM Indonesia. Harganya Rp 246.500,-. Alasan saya membeli buku utama ini adalah karena harga diri yang tercoreng. Cerita lengkapnya sudah saya tulis di sini.

 

Pedoman Lengkap Profesional SDM Indonesia

 

Kedua, buku Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer. Harganya Rp 95ribu. Berhubung buku ini tinggal satu di raknya dan belum tentu nanti bakal ada lagi di Gramedia sini, jadi ya apa boleh buat saya ambil saja. Daripada nanti saya menyesal? 😛

 

Arok Dedes

 

Ketiga, Marginalia (Rp 20ribu), Oksimoron (Rp 30ribu), Interworld (Rp 20ribu), Snow White & the Huntsman (Rp 20ribu), Madre (Rp 20ribu), dan Jadi Penulis? Siapa Takut! (Rp 20ribu). Keenam buku ini baru saya beli tadi di bazar buku Gramedia. Biasanya sih tiap bazar bukunya jelek-jelek. Eh tapi tadi tumben buku-bukunya banyak yang bagus. Saya pikir daripada nanti saya menyesal karena kehabisan dan belum tentu juga bazar berikutnya bukunya bagus-bagus, jadi ya sudahlah. Ambil saja yang dirasa paling ingin dibeli.

 

PicsArt_1395729267029

 

Sekarang mari kita jumlahkan semuanya. Dan… bulan ini saja saya sudah menghabiskan uang sebanyak Rp 470.500,- hanya untuk membeli buku! 🙄

Sudahlah, tidak perlu disesali lagi. Apa yang sudah terjadi ya terjadilah. Lihatlah dari sisi positifnya, buku itu investasi juga. Dan berikutnya selama enam bulan ke depan saya tidak boleh beli buku lagi. Halah, kayak bisa saja. Tapi, ya siapa tahu? 😆

 

#7 – Predictably Irrational

Predictably Irrational Judul: Predictably Irrational
Penulis: Dan Ariely
Rating: 5/5

Predictably Irrational adalah buku yang mengupas di balik perilaku irasional kita. Misalnya, kenapa kita bisa sembuh dengan membeli obat yang lebih mahal ketimbang obat yang lebih murah padahal kandungan obatnya sama, kenapa yang namanya “gratisan” itu sangat menarik bagi kita namun ternyata tidak benar-benar gratis 100%, dan masih banyak lagi.

Jika menurut ilmu ekonomi sebagai manusia kita bersikap dan berperilaku sangat rasional dan penuh perhitungan, maka tidak demikian menurut Behavioral Economics. Karena pada kenyataannya, manusia akan membuat keputusan-keputusan yang irasional.

Dan Ariely memberikan ringkasan dari penelitian-penelitiannya untuk menjelaskan perilaku irasional kita. Dan penelitian-penelitian yang dilakukan Ariely ini keren-keren. Kreatif banget. Wajar juga sih, kan Ariely memang peneliti. Setiap bab yang saya baca saya tak henti-hentinya “Oh iya juga ya..”, “Bener itu..”, dan “Oh, ternyata gitu toh.” dan setiap penjelasan yang diberikan sangat masuk akal dan memberikan wawasan baru.

Buku yang bagus dan menjadi favorit saya. Layak untuk dibaca ulang. Nanti kalau sudah dibaca ulang, saya akan mencatat bagian-bagian pentingnya. Kalau mood sedang bagus, mungkin nanti akan saya tulis ulang resensinya. Karena sekarang saya sedang malas menulis dan tidak tahu mau meresensi apa karena tidak ada catatan kecil saya untuk buku ini. My bad. I’m sorry. 😆

#6 – Decision Making Near End-of-Life

Decision Making Near End of LifeJudul: Decision Making Near End-of-Life
Penulis: James L. Werth, Jr. dan Dean Blevins (editor)
Rating: 3/5

Buku ini termasuk dalam seri Death, Dying, and Bereavement. Saya yang sedang tertarik dengan apa-apa yang berbau kematian membaca buku ini dengan senang hati dan kemudian berujung pada hati suram dan mimpi buruk. Halah. Tapi, saya tidak kapok kok. Saya masih tertarik dengan topik kematian. 😛

Buku ini terdiri dari  empat bagian. Bagian pertama merupakan kisah-kisah personal dari pasien dan keluarga pasien yang pernah mengalami near end-of-life ini. *Ngomong-ngomong, terjemahan yang tepat untuk near end-of-life apa ya?* Terdapat empat kisah, yaitu kisah remaja yang terinfeksi virus HIV dari ibunya yang melahirkannya, kisah pria yang menderita sindrom Guillain-Barre, kisah seorang ayah dan kakak yang harus memutuskan mencabut life support orang yang dikasihi mereka berdua, dan kisah seorang anak yang harus menghormati keinginan ayahnya untuk mengakhiri nyawanya karena penyakit yang dideritanya.

Bagian kedua merupakan garis besar dari isu yang dibahas di buku ini, yaitu pilihan near end-of-life. Bagian ketiga merupakan aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam berbagai pilihan end-of-life dan proses pengambilan keputusannya. Bagian keempat adalah pertimbangan psikososial.

Biasanya saya tidak suka baca buku nonfiksi dimana merupakan hasil keroyokan. Maksudnya, penulisnya banyak tergantung ada berapa bab. Masing-masing bab ditulis oleh penulis yang berbeda. Kemudian ada editor yang merapikannya. Tapi, buku ini pengecualian. Bukan berarti saya juga benar-benar suka sama buku ini sih, hanya saja Decision Making Near End-of-life adalah buku jenis ini pertama yang bisa saya baca sampai habis. Mungkin karena saya memang sedang tertarik dengan topik yang dibahas, mungkin juga karena diksi yang digunakan juga tidak njelimet dan tidak kebanyakan jargon. Lebih membumi ketimbang buku-buku nonfiksi sejenisnya.

Seperti judulnya buku ini membahas tentang pilihan yang harus diambil menyangkut nyawa pasien yang mendekati akhir hidupnya, entah itu karena brain trauma, Alzheimer, kanker stadium lanjut, sindrom Guillain-Barre, HIV/AIDS, atau berbagai penyakit berbahaya lainnya. Penyakit-penyakit tersebut yang pada akhirnya nanti akan membawa pengidapnya pada kematian. Misalnya pasien dengan brain trauma dimana dia dalam keadaan koma, kendati dia selamat, namun otaknya tidak mungkin lagi berfungsi. Atau pasien kanker stadium lanjut yang jika keadaannya sudah sangat parah nantinya hanya akan bisa berbaring dan tidak sadar. Kalau sudah begini, apakah yang akan dilakukan oleh keluarga pasien? Mempertahankan pasien semaksimal mungkin dengan membuatnya tetap hidup atau memilih untuk tidak melihat pasien menderita dan mengikhlaskan pasien pergi?

Apapun pilihan yang dipilih oleh keluarga pasien–karena pasien sudah tidak bisa lagi berbicara untuk menentukan pilihannya sendiri–seyogyanya harus dipertimbangkan masak-masak. Ada banyak hal yang harus diperhatikan. Diantaranya kesehatan mental pasien itu sendiri. Jika pasien meminta kematiannya dipercepat, harus dipertanyakan permintaannya itu apakah betul-betul dia menginginkannya atau jangan-jangan kesehatan mentalnya terganggu? Kemudian, bagaimana kesepakatan keluarga. Jangan sampai ada perdebatan yang nantinya malah menyiksa pasien. Lalu, pandangan agama dan spiritual terhadap penyakit yang mengancam nyawa, di saat pasien sedang sekarat, dan kematian. Terakhir, bagaimana budaya dan keragaman individu dalam melihat end-of-life.

Akan sangat membantu jika di saat pasien masih sadar dan masih punya kemampuan untuk mengambil keputusan telah membicarakan soal penyakitnya, implikasi penyakitnya, kemungkinan terburuk dari penyakitnya, dan apa yang harus dilakukan oleh keluarga jika nanti kemungkinan terburuk itu datang. Oleh karena itu, di sini sangat diperlukan untuk terus berdiskusi secara intensif dengan dokter yang merawat. Jangan takut untuk menanyakan apa kemungkinan terburuk dari penyakit yang diderita. Tanyakan saran medis dari dokter. Tanyakan semuanya sedetil mungkin, sampai hal yang paling kecil sekalipun. Semuanya ini bertujuan agar nantinya memudahkan pengambilan keputusan near end-of-life si pasien.

Buku di Februari 2014

Di bulan Februari kemarin saya tidak banyak buku yang saya baca. Malah saya hanya membaca dua buku. DUA. Gara-garanya saya terlalu fokus membaca The Second Sex yang luar biasa tebal. Butuh konsentrasi luar biasa untuk membaca buku tersebut supaya bisa saya cerna. Berminggu-minggu saya habiskan untuk membacanya dan progress-nya tidak terlalu bagus. Hanya dapat dua ratus halaman. Biasanya kalau saya sudah terlalu lama terhambat dengan satu buku, lama-kelamaan saya menjadi malas. Dan dua hari yang lalu saya memutuskan untuk tidak lanjut membaca The Second Sex dan move on ke buku-buku lain. Halah, malah jadi curhat.

Jadi, selama 28 hari di bulan Februari saya membaca dua buku berikut:

1. My Name is Red – Orhan Pamuk

Setelah cukup lama saya mendengar novel ini dan banyak orang yang bilang bagus, akhirnya kesampaian juga saya membacanya. Butuh waktu tiga belas hari untuk menamatkannya. Dan setelah saya membacanya, saya bingung sendiri. Novel apa ini? Ini yang dihebohkan orang-orang? Kok saya rasa biasa saja ya…

Ceritanya tentang Sultan di Turki yang kepingin punya gambar tentang kejayaannya. Dia memerintahkan pelukis-pelukis terkenal dan handal untuk mengerjakan proyek tersebut. Proyek tersebut menjadi terhambat ketika ada yang terbunuh. Katakanlah temanya menarik, tapi menurut saya cara menceritakannya tidak menarik. Yah, bisa saja My Name is Red bukan selera saya.

Rating: 2/5

2. The Kreutzer Sonata and Other Short Stories – Leo Tolstoy

Buku ini merupakan kumpulan cerpen dari Leo Tolstoy. Terdapat lima buah cerpen denganmasing-masing berjudul:

a) The Kreutzer Sonata bercerita tentang Posdnicheff yang membunuh istrinya karena cemburu.

b) Ivan The Fool bercerita tentang Ivan yang naif, lugu, polos, dan bodoh berhasil menjalani hidupnya dengan baik dan memimpin kerajaan. Sementara kakak-kakaknya yang haus akan kekuasaan dan mencintai materi harus gigit jari.

c) A Lost Opportunity berkisah tentang Ivan Scherbakoff yang harus ribut dengan tetangganya sendiri. Hubungan baik yang sudah terjalin dengan tetangganya dari jaman ayahnya masih muda harus hancur karena kesalahpahaman dan keegoisan.

d) Polikushka bercerita tentang kesempatan kedua yang diberikan untuk Polikey. Dia yang sebelumnya ketahuan mencuri dan harus menerima sangsi sosial berupa label “pencuri” seumur hidupnya merasa harus memanfaatkan betul kesempatan kedua yang telah diberikan kepadanya.

e) Candle bercerita tentang pengawas buruh yang kejam dan semena-mena terhadap buruh.

Cerita yang bagus dan sarat makna. Ah, bukankah Leo Tolstoy memang selalu memberikan cerita yang bagus dan sarat makna? 😉

Rating: 4/5

#5 – A to Z by Request

A to Z by RequestJudul: A to Z by Request
Penulis: Rizal Affif dkk.
Penerbit: PT Grasindo (cetakan pertama, 2013)
Halaman: vi + 338
ISBN 13: 978-602-251-171-7
Harga: Rp 37.600,- (setelah diskon 20%)
Rating: 5/5

Seorang teman SMP dan SMA memberitahu saya bahwa dia sudah menerbitkan buku, meski teman tersebut dengan rendah hati bilang buku tersebut tidak bisa dibilang sepenuhnya bukunya karena dia hanya menyumbang satu tulisan dalam buku tersebut. Buku yang dimaksud adalah A to Z by Request, sebuah antologi cerpen, dan teman saya yang dimaksud adalah Luxmaning Hutaki Widiastari.

Sebagai teman, saya sungguh bangga dengan pencapaian Lulu, panggilan akrab teman saya. Saya turut senang ada teman saya yang akhirnya menerbitkan sebuah buku. Dan sebagai teman yang suportif, saya membeli buku tersebut kemarin di Gramedia setelah berbulan-bulan dulu dan setelah ada diskon dulu.

Jadi, apa itu A to Z by Request? Bagaimana jalan ceritanya? Seru gak? Seru. Ini sungguhan. Untuk sebuah antologi dimana nama-nama penulisnya hanya satu orang saja yang saya kenal, saya berani bilang ini adalah buku yang bagus. 26 cerpen yang ada ditulis selayaknya ditulis oleh penulis profesional dan sudah ada nama. Selama membaca tak henti-hentinya saya berkata kepada diri sendiri bahwa buku ini layak untuk mendapat apresiasi yang lebih luas dan ke 26 penulis ini layak mendapat panggung yang lebih megah di Indonesia. Masing-masing dari mereka layak untuk menerbitkan buku sendiri.

Dari tema yang disuguhkan pun sudah menarik. 26 penulis mendapatkan satu huruf untuk tema cerita yang ditulis. Dari huruf A hingga Z. Dengan huruf tersebut terserah kepada setiap penulis bagaimana mereka akan meramunya menjadi sebuah cerita yang enak dibaca. Entah itu menjadi sebuah awalan nama, titel, chord, penyakit, apapun. Dan dari setiap huruf membawa kejutan yang tidak biasa. Nyaris di setiap akhir cerita saya dibuat tersenyum, ya tersenyum puas, tersenyum getir. Tentu saja karena ceritanya mampu mengaduk emosi. Ke 26 cerita sukses memberikan twist cerita yang tidak dapat saya duga sebelumnya. Jangankan twist, jalan ceritanya saja bagaimana tidak dapat saya terka. Mungkin saya terlalu asyik membaca rangkaian kata dan diksi yang menarik sehingga saya membiarkan diri saya hanyut dalam cerita. Saya tidak membiarkan diri saya terlalu sibuk untuk menebak alur cerita. “Nikmati saja cerita yang sudah disuguhi, Kim. Jangan kamu terlalu ambil pusing.” Seperti yang tertera di cara penyajian buku ini (bisa dibaca di sampul belakang):

Ambil segelas kopi dan sebungkus kacang. Cari huruf mana saja sesuai selera dan temukan cerita di baliknya. Nikmati selagi hangat.

Itu kunci utamanya: nikmati selagi hangat. Namun, saran saya jangan hanya membaca huruf-huruf tertentu. Baca semua huruf dari A hingga Z. Dan bersiaplah untuk selalu ketagihan dan bilang, “I want another word, please. I want more.”