Judul: Decision Making Near End-of-Life
Penulis: James L. Werth, Jr. dan Dean Blevins (editor)
Rating: 3/5
Buku ini termasuk dalam seri Death, Dying, and Bereavement. Saya yang sedang tertarik dengan apa-apa yang berbau kematian membaca buku ini dengan senang hati dan kemudian berujung pada hati suram dan mimpi buruk. Halah. Tapi, saya tidak kapok kok. Saya masih tertarik dengan topik kematian. 😛
Buku ini terdiri dari empat bagian. Bagian pertama merupakan kisah-kisah personal dari pasien dan keluarga pasien yang pernah mengalami near end-of-life ini. *Ngomong-ngomong, terjemahan yang tepat untuk near end-of-life apa ya?* Terdapat empat kisah, yaitu kisah remaja yang terinfeksi virus HIV dari ibunya yang melahirkannya, kisah pria yang menderita sindrom Guillain-Barre, kisah seorang ayah dan kakak yang harus memutuskan mencabut life support orang yang dikasihi mereka berdua, dan kisah seorang anak yang harus menghormati keinginan ayahnya untuk mengakhiri nyawanya karena penyakit yang dideritanya.
Bagian kedua merupakan garis besar dari isu yang dibahas di buku ini, yaitu pilihan near end-of-life. Bagian ketiga merupakan aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam berbagai pilihan end-of-life dan proses pengambilan keputusannya. Bagian keempat adalah pertimbangan psikososial.
Biasanya saya tidak suka baca buku nonfiksi dimana merupakan hasil keroyokan. Maksudnya, penulisnya banyak tergantung ada berapa bab. Masing-masing bab ditulis oleh penulis yang berbeda. Kemudian ada editor yang merapikannya. Tapi, buku ini pengecualian. Bukan berarti saya juga benar-benar suka sama buku ini sih, hanya saja Decision Making Near End-of-life adalah buku jenis ini pertama yang bisa saya baca sampai habis. Mungkin karena saya memang sedang tertarik dengan topik yang dibahas, mungkin juga karena diksi yang digunakan juga tidak njelimet dan tidak kebanyakan jargon. Lebih membumi ketimbang buku-buku nonfiksi sejenisnya.
Seperti judulnya buku ini membahas tentang pilihan yang harus diambil menyangkut nyawa pasien yang mendekati akhir hidupnya, entah itu karena brain trauma, Alzheimer, kanker stadium lanjut, sindrom Guillain-Barre, HIV/AIDS, atau berbagai penyakit berbahaya lainnya. Penyakit-penyakit tersebut yang pada akhirnya nanti akan membawa pengidapnya pada kematian. Misalnya pasien dengan brain trauma dimana dia dalam keadaan koma, kendati dia selamat, namun otaknya tidak mungkin lagi berfungsi. Atau pasien kanker stadium lanjut yang jika keadaannya sudah sangat parah nantinya hanya akan bisa berbaring dan tidak sadar. Kalau sudah begini, apakah yang akan dilakukan oleh keluarga pasien? Mempertahankan pasien semaksimal mungkin dengan membuatnya tetap hidup atau memilih untuk tidak melihat pasien menderita dan mengikhlaskan pasien pergi?
Apapun pilihan yang dipilih oleh keluarga pasien–karena pasien sudah tidak bisa lagi berbicara untuk menentukan pilihannya sendiri–seyogyanya harus dipertimbangkan masak-masak. Ada banyak hal yang harus diperhatikan. Diantaranya kesehatan mental pasien itu sendiri. Jika pasien meminta kematiannya dipercepat, harus dipertanyakan permintaannya itu apakah betul-betul dia menginginkannya atau jangan-jangan kesehatan mentalnya terganggu? Kemudian, bagaimana kesepakatan keluarga. Jangan sampai ada perdebatan yang nantinya malah menyiksa pasien. Lalu, pandangan agama dan spiritual terhadap penyakit yang mengancam nyawa, di saat pasien sedang sekarat, dan kematian. Terakhir, bagaimana budaya dan keragaman individu dalam melihat end-of-life.
Akan sangat membantu jika di saat pasien masih sadar dan masih punya kemampuan untuk mengambil keputusan telah membicarakan soal penyakitnya, implikasi penyakitnya, kemungkinan terburuk dari penyakitnya, dan apa yang harus dilakukan oleh keluarga jika nanti kemungkinan terburuk itu datang. Oleh karena itu, di sini sangat diperlukan untuk terus berdiskusi secara intensif dengan dokter yang merawat. Jangan takut untuk menanyakan apa kemungkinan terburuk dari penyakit yang diderita. Tanyakan saran medis dari dokter. Tanyakan semuanya sedetil mungkin, sampai hal yang paling kecil sekalipun. Semuanya ini bertujuan agar nantinya memudahkan pengambilan keputusan near end-of-life si pasien.