#12 – Ilmu Kedokteran Lengkap tentang Neurosains

Ilmu Kedokteran Lengkap tentang NeurosainsJudul: Ilmu Kedokteran Lengkap tentang Neurosains
Penulis: Iyan Hernanta
Penerbit: D-Medika (cetakan I, Februari 2013)
Halaman: 274
ISBN 13: 978-602-7665-47-7
Harga: Rp 15.000,-
Rating: 1/5

Saya memiliki minat baru, yaitu neurosains. Sejak kapan tertarik saya lupa juga. Itupun tertarik karena membaca buku-buku sebelumnya yang membahas singkat tentang neurosains. Otak ini menarik banget ya ternyata. Sayangnya ketertarikan saya hanya sebatas, yah, tertarik. Tertarik tanpa mau mencari tahu lebih banyak lagi.

Begitu saya menemukan buku ini masih di bazar kemarin dan harganya juga murah, segera saya ambil. Sebenarnya saya tidak berharap banyak dari buku yang mengaku-ngaku lengkap ini. Iseng sajalah saya beli untuk menambah wawasan. Toh, harganya juga murah kok hanya Rp 15.000,-.

Seperti yang sudah saya duga, buku ini hanya mengaku-ngaku lengkap karena sesungguhnya isinya tidaklah lengkap. Apa yang kamu harapkan dari buku setebal 274 halaman membahas tentang neurosains? Ilmu neurosains bakal habis dikupas tuntas, begitu? Bagian-bagian otak akan dijelaskan dengan detil, begitu? Segala macam jenis penyakit otak bakal ditulis, begitu? Sayang sekali tidak. Judul buku boleh bombastis, tapi sungguh disayangkan tidak sepadan dengan isinya. Belum lagi kejanggalan-kejanggalan yang saya rasakan ketika membaca buku ini.

Kejanggalan pertama adalah untuk buku yang membahas otak tapi tidak memberikan gambar otak itu rasanya aneh. Iyan hanya menuliskan nama anatomi otak dan berharap pembacanya bisa membayangkan sendiri otak dan bagian-bagiannya. Di mana letak sistem limbik, otak reptil, otak besar, otak kecil? Pokoknya di situ. Bayangkan sendiri ya.

Kejanggalan kedua: silakan teman-teman baca paragraf di bawah ini:

Pada sekitar 1950-an, diperkirakan 2,5 juta penduduk dunia mengidap penyakit ini (Alzheimer), dan mencapai enam miliar orang pada tahun 2000. WHO memperkirakan lebih dari satu miliar orang tua yang berusia lebih dari 60 tahun atau 10 persen penduduk dunia mengidap Alzheimer pada tahun 2003. (hal. 125)

Pertama-tama, itu datanya dari mana? Penulis pakai sumber dari mana? Apakah datanya valid dan sumbernya terpercaya? Kemudian, perhatikan kata-kata mencapai enam miliar orang pada tahun 2000. Apakah betul tahun 2000 penderita Alzheimer mencapai angka enam miliar? WOW. Luar biasa sekali. Tolong beritahu saya berapa jumlah penduduk bumi pada tahun 2000. Terima kasih.

Kejanggalan ketiga: perihal daftar pustaka. Buku ini mengutip banyak sumber untuk materi tulisannya. Tetapi, masak iya daftar pustaka hanya satu lembar? Padahal mengutipnya banyak sekali lho. Contohnya berikut ini:

“Satu sinaps bisa menampung 1.000 tombol skala molekuler. Itu baru satu sinaps. Bisa dibayangkan, satu otak manusia memiliki berapa tombol. Bisa melebihi seluruh tombol komputer, router, dan koneksi seluruh internet yang ada di bumi,” jelas Smith, yang dikutip VIVAnews dari Cnet, Minggu 21 November 2010. (hal. 63)

Saya cek di daftar pustakanya ternyata tidak ada referensi VIVAnews. Apalagi Iyan mengutip sumber kedua. Dan melihat cara penulisan daftar pustaka, khususnya referensi dari online, saya kok miris ya. Iyan hanya menulis faktailmiah.com, id.wikipedia.org, majalahkesehatan.com, dan lain-lain sebagai referensi online-nya. Penulisan daftar pustakanya tidak sesuai dengan kaidah. Ya, terserah sih mau pakai kaidah yang mana, tapi biasanya yang dipakai kaidah APA.

Kejanggalan keempat: penggunaan kata “ansietas” dan “avokad” yang mengganggu. Apa itu ansietas dan avokad? Setelah saya baca-baca lagi saya pun menyimpulkan mungkin maksudnya adalah anxiety dan avocado. Tapi, kenapa harus pakai kata “ansietas” dan “avokad” lho, Mas… Sudah ada di kamus lho kata “kecemasan” dan “alpukat”. Saya bahkan tidak yakin “ansietas” dan “avokad” ini ada di KBBI.

Saya yakin pasti masih ada kejanggalan-kejanggalan lainnya dalam buku ini. Berhubung saya tidak punya kemampuan yang cukup akan topik neurosains jadi ya saya hanya bisa menemukan kejanggalan secara umum saja. Itupun bisa jadi masih ada yang terlewat dari saya.

Akhirul kalam, anggap saja membaca buku ini sebagai sebuah hiburan. Dan semoga saya bisa menemukan buku neurosains populer yang jauh lebih bagus daripada ini. 😀

#11 – Wuthering Heights

Wuthering HeightsJudul: Wuthering Heights
Penulis: Emily Bronte
Penerjemah: Lulu Wijaya
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama (cetakan II, Juli 2011)
Halaman: 488
ISBN 13: 978-979-22-6978-9
Harga: Rp 30.000,-
Rating: 5/5

Saya pertama kali selesai membaca Wuthering Heights pada tanggal 26 September 2011 (terima kasih kepada Goodreads telah menyimpan catatan sejarah membaca saya) dan serta merta saya langsung menyematkan label favorit pada novel romansa gelap ini. Waktu itu saya membaca bahasa aslinya dan rada-rada puyeng dengan gaya penulisannya. Maklum, namanya juga sastra klasik. Tapi, setidaknya saya masih bisa mengerti untuk mengikuti ceritanya (dan kemudian lama-lama terbiasa dengan gaya novel sastra klasik).

Ketika saya menemukan terjemahan novel ini di acara bazar bulan lalu, segera saya mengambil satu kopi untuk saya bawa pulang. Meski sebenarnya saya agak was-was dengan terjemahannya, tapi saya pikir tidak apa deh. Saya belum punya buku cetak dari Wuthering Heights ini, yang notabene adalah novel favorit saya sepanjang masa. Yang saya baca sebelumnya hanyalah versi e-book. Toh, saya percaya dengan kualitas buku terbitan Gramedia Pustaka Utama. Jadi, seharusnya sih terjemahannya bagus. Alhamdulillah, harapan saya terbukti. 🙂

Wuthering Heights bercerita tentang kisah cinta yang gelap antara Heathcliff dan Catherine Earnshaw. Kisah bermula ketika Mr. Earnshaw setelah dari perjalanannya membawa pulang seorang anak gipsi ke rumah. Heathcliff langsung bisa menjalin hubungan yang erat dengan Catherine, tetapi tidak dengan Hindley, kakak Catherine. Hindley tidak suka dengan Heathcliff karena menurutnya Heathcliff adalah anak gipsi yang liar, bodoh, bandel, dan susah diatur. Hindley kerap menyiksa Heathcliff, tapi hal itu bukan masalah besar baginya karena dia mendapatkan pelipur lara dari Catherine. Mereka selalu menghabiskan waktu berdua dan bermain bersama-sama hingga akhirnya ketika mereka remaja ada perasaan cinta dalam hati mereka.

Apakah kisah mereka berakhir dengan bahagia? Sayangnya tidak. Masalah utama menjadi muncul ketika Catherine memutuskan untuk menerima lamaran Edgar Linton. Padahal dalam hatinya Catherine menyadari dia mencintai Heathcliff. Alasannya menerima Edgar pun karena dianggapnya Edgar lebih kaya dan lebih terdidik dibandingkan Heathcliff. Suatu alasan yang sering kita jumpai di sekitar kita bukan? Seorang wanita memutuskan untuk menikah dengan pria A yang dirasanya bisa memberikan status yang lebih baik ketimbang si B yang sebenarnya dicintainya. 😉

Mendengar Catherine menerima pinangan Edgar, saat itu juga dia kabur dari Wuthering Heights. Catherine pun menjadi rapuh. Namun, tiga tahun kemudian Heathcliff kembali datang dan menghantui kehidupan Catherine dan keluarga barunya. Heathcliff datang sebagai sosok yang baru. Dia bukan lagi anak gipsi yang bodoh, miskin, dan liar, melainkan dia menjadi pria yang gagah, cakap, dan kaya.

Kembalinya Heathcliff bukan tanpa alasan. Ada dendam yang harus dituntaskannya. Dia ingin membalas rasa sakit hati dicampakkan dan harus diakui cara-caranya luar biasa kejam dan tidak berperasaan. Di benak Heathcliff hanya ada Catherine, Catherine, dan Catherine. Hidupnya hanya berpusat pada Catherine. Demi Catherine Heathcliff akan melakukan apa saja, termasuk menyakiti dan menyiksa orang lain. Tidak hanya Catherine, Hindley, Edgar, dan Isabella Linton (adik Edgar) yang harus merasakan pembalasan dendam Heathcliff, melainkan juga sampai kepada keturunan mereka masing-masing. Bahkan, anak kandung Heathcliff sendiri pun, Linton, ikut merasakan kekejaman Heathcliff.

Sebenarnya Heathcliff dan Catherine adalah pasangan yang cocok. Sama-sama keras, bebas, tidak mau dikekang, dan sudah mengerti satu sama lain. Dengan masuknya Edgar ke dalam kehidupan mereka merusak kisah cinta mereka, yang sebenarnya sangat saya sayangkan kenapa Edgar mau-maunya jatuh cinta dengan Catherine. Seharusnya biarkan saja Catherine dan Heathcliff menikah. Toh, lama-kelamaan pasti Catherine tidak tahan dengan watak Heathcliff yang kasar. Tapi, tentu saja kalau ceritanya begitu Wuthering Heights yang kita tahu tidak akan sekelam, sesedih, sedramatis, dan senelangsa ini. Betul tidak? 😛

Akhir cerita tidak sesuai dengan bayangan saya. Sungguh di luar dugaan. Saya kira pada awalnya pasti akhir cerita akan dibuat semakin menyedihkan mengingat dari awal saja ceritanya sudah sangat gelap. Tapi, untunglah Emily Bronte tidak sejahat itu dengan tokoh-tokoh ciptaannya. Meski di bab terakhir saya tetap dibuat merinding membacanya–bab terakhir ini bercerita tentang proses kematian Heathcliff dan ditulis dengan mencekam!–pada akhirnya ada juga kisah bahagia yang tercipta. 🙂

Untuk menambah kegelapan Wuthering Heights, silakan disimak video klip berikut ini:

Buku di Juni 2014

Kecepatan membaca masih seperti siput. Bulan lalu saya hanya tamat membaca tiga buku. Padahal saya tidak sibuk-sibuk banget. Jadi, sebenarnya waktu luang itu ada, tetapi rasa malas lebih menguasai diri. Apa boleh buat cuma tiga buku yang bisa saya baca. Mudah-mudahan bulan ini rasa malas bisa pergi sehingga saya bisa baca lebih banyak buku. Amin!

Berikut buku-buku di bulan Juni kemarin:

1. Kelir Slindet – Kedung Darma Romansha

Cikedung adalah nama sebuah desa yang terletak di sebelah barat kota Indramayu, menjadi latar cerita dengan Mukimin dan Safitri yang menjadi tokoh utamanya. Mukimin, remaja pria, tergila-gila dengan Safitri si kembang desa. Suaranya sangat merdu. Cengkoknya cocok untuk menyanyi kasidah. Wajahnya cantik. Tak heran jika banyak pria mendekati dirinya dan mengajaknya menikah meski umur Safitri masih belasan tahun. Bahkan, Ustadz Musthafa, kakak Mukimin, pun ikut melamar Safitri.

Kisah cinta Mukimin dan Safitri tidak jelas bagaimana akhirnya. Namun, yang pasti ceritanya harus berakhir dengan Safitri yang menyerah pada keadaan. Ia menjadi penyanyi dangdut kampung dan harus mendapati dirinya berbadan dua.

Rating: 3/5

2. Pride and Prejudice and Zombies – Seth Grahame-Smith

Apa jadinya kalau sebuah novel klasik yang sudah dibaca sejuta umat kemudian dibuat versi baru? Bisa jadi malah lebih mengasyikkan cerita pelesetannya ketimbang versi aslinya. Itulah yang saya rasakan ketika membaca Pride and Prejudice and Zombies. Butuh kecermatan dan kesabaran luar biasa bagi saya saat membaca Pride and Prejudice karangan Jane Austen. Toh, pada akhirnya saya menyerah. Saya tidak bisa mengikuti jalan ceritanya. Mungkin karena Jane Austen menulis menggunakan bahasa Inggris tingkat dewa, jadi saya mengibarkan bendera putih dan bersumpah tidak akan lagi menyentuh buku-buku Jane Austen.

Well, setelah saya membaca novel ini, saya malah jadi bisa lebih mengerti Pride and Prejudice ini sebenarnya cerita tentang apa. 😆

Rating: 3/5

3. In Cold Blood – Truman Capote

Riviunya sudah saya tulis di sini. Capote menulis tentang pembunuhan keji keluarga Clutter yang dilakukan oleh duo mantan residivis, Perry Smith dan Richard “Dick” Hickock. Sisi psikologis dari kedua pelaku dijelaskan detil oleh Capote. Namun, sayang terjemahannya terlalu kaku dan tidak bagus.

Rating: 4/5