#11 – Wuthering Heights

Wuthering HeightsJudul: Wuthering Heights
Penulis: Emily Bronte
Penerjemah: Lulu Wijaya
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama (cetakan II, Juli 2011)
Halaman: 488
ISBN 13: 978-979-22-6978-9
Harga: Rp 30.000,-
Rating: 5/5

Saya pertama kali selesai membaca Wuthering Heights pada tanggal 26 September 2011 (terima kasih kepada Goodreads telah menyimpan catatan sejarah membaca saya) dan serta merta saya langsung menyematkan label favorit pada novel romansa gelap ini. Waktu itu saya membaca bahasa aslinya dan rada-rada puyeng dengan gaya penulisannya. Maklum, namanya juga sastra klasik. Tapi, setidaknya saya masih bisa mengerti untuk mengikuti ceritanya (dan kemudian lama-lama terbiasa dengan gaya novel sastra klasik).

Ketika saya menemukan terjemahan novel ini di acara bazar bulan lalu, segera saya mengambil satu kopi untuk saya bawa pulang. Meski sebenarnya saya agak was-was dengan terjemahannya, tapi saya pikir tidak apa deh. Saya belum punya buku cetak dari Wuthering Heights ini, yang notabene adalah novel favorit saya sepanjang masa. Yang saya baca sebelumnya hanyalah versi e-book. Toh, saya percaya dengan kualitas buku terbitan Gramedia Pustaka Utama. Jadi, seharusnya sih terjemahannya bagus. Alhamdulillah, harapan saya terbukti. 🙂

Wuthering Heights bercerita tentang kisah cinta yang gelap antara Heathcliff dan Catherine Earnshaw. Kisah bermula ketika Mr. Earnshaw setelah dari perjalanannya membawa pulang seorang anak gipsi ke rumah. Heathcliff langsung bisa menjalin hubungan yang erat dengan Catherine, tetapi tidak dengan Hindley, kakak Catherine. Hindley tidak suka dengan Heathcliff karena menurutnya Heathcliff adalah anak gipsi yang liar, bodoh, bandel, dan susah diatur. Hindley kerap menyiksa Heathcliff, tapi hal itu bukan masalah besar baginya karena dia mendapatkan pelipur lara dari Catherine. Mereka selalu menghabiskan waktu berdua dan bermain bersama-sama hingga akhirnya ketika mereka remaja ada perasaan cinta dalam hati mereka.

Apakah kisah mereka berakhir dengan bahagia? Sayangnya tidak. Masalah utama menjadi muncul ketika Catherine memutuskan untuk menerima lamaran Edgar Linton. Padahal dalam hatinya Catherine menyadari dia mencintai Heathcliff. Alasannya menerima Edgar pun karena dianggapnya Edgar lebih kaya dan lebih terdidik dibandingkan Heathcliff. Suatu alasan yang sering kita jumpai di sekitar kita bukan? Seorang wanita memutuskan untuk menikah dengan pria A yang dirasanya bisa memberikan status yang lebih baik ketimbang si B yang sebenarnya dicintainya. 😉

Mendengar Catherine menerima pinangan Edgar, saat itu juga dia kabur dari Wuthering Heights. Catherine pun menjadi rapuh. Namun, tiga tahun kemudian Heathcliff kembali datang dan menghantui kehidupan Catherine dan keluarga barunya. Heathcliff datang sebagai sosok yang baru. Dia bukan lagi anak gipsi yang bodoh, miskin, dan liar, melainkan dia menjadi pria yang gagah, cakap, dan kaya.

Kembalinya Heathcliff bukan tanpa alasan. Ada dendam yang harus dituntaskannya. Dia ingin membalas rasa sakit hati dicampakkan dan harus diakui cara-caranya luar biasa kejam dan tidak berperasaan. Di benak Heathcliff hanya ada Catherine, Catherine, dan Catherine. Hidupnya hanya berpusat pada Catherine. Demi Catherine Heathcliff akan melakukan apa saja, termasuk menyakiti dan menyiksa orang lain. Tidak hanya Catherine, Hindley, Edgar, dan Isabella Linton (adik Edgar) yang harus merasakan pembalasan dendam Heathcliff, melainkan juga sampai kepada keturunan mereka masing-masing. Bahkan, anak kandung Heathcliff sendiri pun, Linton, ikut merasakan kekejaman Heathcliff.

Sebenarnya Heathcliff dan Catherine adalah pasangan yang cocok. Sama-sama keras, bebas, tidak mau dikekang, dan sudah mengerti satu sama lain. Dengan masuknya Edgar ke dalam kehidupan mereka merusak kisah cinta mereka, yang sebenarnya sangat saya sayangkan kenapa Edgar mau-maunya jatuh cinta dengan Catherine. Seharusnya biarkan saja Catherine dan Heathcliff menikah. Toh, lama-kelamaan pasti Catherine tidak tahan dengan watak Heathcliff yang kasar. Tapi, tentu saja kalau ceritanya begitu Wuthering Heights yang kita tahu tidak akan sekelam, sesedih, sedramatis, dan senelangsa ini. Betul tidak? 😛

Akhir cerita tidak sesuai dengan bayangan saya. Sungguh di luar dugaan. Saya kira pada awalnya pasti akhir cerita akan dibuat semakin menyedihkan mengingat dari awal saja ceritanya sudah sangat gelap. Tapi, untunglah Emily Bronte tidak sejahat itu dengan tokoh-tokoh ciptaannya. Meski di bab terakhir saya tetap dibuat merinding membacanya–bab terakhir ini bercerita tentang proses kematian Heathcliff dan ditulis dengan mencekam!–pada akhirnya ada juga kisah bahagia yang tercipta. 🙂

Untuk menambah kegelapan Wuthering Heights, silakan disimak video klip berikut ini:

6 tanggapan untuk “#11 – Wuthering Heights”

  1. Oke fix, gue bakal beli wuthering heights. Dari kemarin gue penasaran pengen beli, tapi gue cenderung kurang suka penulisan novel klasik. Tapi kayaknya gara2 baca review lo, gue bakal beli. Hahahaha…

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: