Judul: Supernova: Akar
Penulis: Dee
Penerbit: Truedee Books (cetakan II, April 2003)
Halaman: xiv + 210 halaman
ISBN: 979-96257-2-6
Rating: 5/5
Menulis riviu Akar entah kenapa terasa berat. Saya bingung bagaimana harus memulainya. Sempat saya tinggalkan dulu dan simpan tulisan ini menjadi draft sejak kemarin. Sampai akhirnya saya paksakan diri untuk menulis riviu ini. Saya merasa berhutang dengan Bodhi. Saya takut mengecewakannya. Mungkinkah saya telah jatuh hati padanya? Bisa jadi.
Sama seperti Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh, saya membaca ulang Akar dalam rangka membaca maraton serial Supernova. Saya ingin mencoba mengingat kenapa dulu saya bisa tertarik dengan Supernova dan menjadikan Dee sebagai penulis favorit saya. Setelah membaca ulang Akar, saya sekarang tahu alasannya. Dee bisa membuat pembaca jatuh cinta dengan tokoh-tokoh Supernova dan saya jatuh cinta dengan Bodhi (tentu saja selain kekuatan riset yang mendalam dan gaya penulisan yang asyik menjadi kelebihan Dee). Sewaktu pertama kali saya membaca novel ini saya memberi rating 3/5 di Goodreads, namun setelah membaca untuk kedua kali saya memberi rating 5/5.
Saya tidak akan menulis sinopsis cerita Akar karena saya tidak bisa. Ingatan saya jadi lemah ketika harus mengingat kembali jalan cerita untuk ditulis sinopsisnya di sini. Tidak hanya itu, saya juga malas. Entah kenapa. Saya terfokus pada Bodhi. Dia menyedot semua perhatian dan semangat saya. Anehnya, ketika saya memutuskan untuk bercerita tentang Bodhi saja, saya langsung bersemangat. Rasa malas langsung menguap. Lucu ya. Daya tarik Bodhi tidak hanya di dalam cerita, tetapi juga saya terkena efeknya.
Bagi saya Bodhi adalah sosok manusia yang misterius. Dia sukar untuk dipahami. Mungkin itu juga karena dia tidak membiarkan dirinya untuk mudah dipahami orang lain. Dia tidak sembarangan membuka diri kepada orang-orang. Dan perjalanan mencari jati dirinya ini yang membuat saya jatuh cinta. Petualangannya dari Thailand hingga akhirnya ke Kamboja menunjukkan dia begitu gigih, sabar, nekad, dan tidak gampang menyerah. Kepasrahannya pada semesta juga semakin membuat dia, ehm, seksi.
Perjalanan Bodhi ala backpacker ini sangat baik digambarkan oleh Dee. Begitu detil sehingga membuat saya juga ikut merasa bertualang bersama Bodhi. Bodhi yang kesusahan uang, lalu semesta mempertemukannya dengan Kell, si seniman tato, dan jadilah Bodhi mendapat uang dari merajah kulit manusia. Sayangnya, uang dari hasilnya mentato harus hilang dan dia kembali mengalami kesulitan uang. Kemudian, perjalanan menegangkan yang harus dilalui Bodhi ketika dia hendak ke Pailin. Di tengah jalan dia kepergok tentara Khmer Merah. Lalu, ketika dia terpaksa mengikuti pertandingan sabung nyawa di Pailin. Dia harus melawan jawara di sana yang berbadan kekar, tinggi, dan ternyata jago kickboxing juga wushu. Saya megap-megap seperti ikan yang tidak bertemu air. Tegang. Diam-diam saya berdoa, “Please, don’t die, Bodhi… Perjalananmu belum selesai.” Untunglah Bodhi tidak mati.
Kalian tahu, saya semakin jatuh cinta dengan Bodhi ketika dia bilang begini:
… Ternyata diriku pun menyimpan bara, padahal aku tak ingin itu. Mengapa manusia harus terlahir dengan deposit amarah? … Aku ingat betul kapan terakhir kali aku marah, dan pada siapa. Aku marah pada Buddha. Aku marah setiap hari. Aku marah karena begitu mencintai-Nya dan tak ada yang paling kuinginkan selain pulang. Pulang. Tapi kenapa aku malah dibuang? (hal. 167)
Di balik sosok misterius, kalem, dan berpembawaan tenang itu Bodhi tetaplah manusia biasa. Dia memiliki rasa insecure. Dia juga rapuh. Dan sampai halaman terakhir saya merasakan kekosongan jiwa Bodhi.
Kalau kalian juga ingin ikut berpetualang bersama Bodhi menjelajah Thailand sampai ke Kamboja dan ingin merasakan cerita yang hidup (ini kata Mas Galih), saya berani bilang kalian tidak akan menyesal dengan membaca buku ini.