Judul: Nagabumi I: Jurus Tanpa Bentuk
Penulis: Seno Gumira Ajidarma
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama (cetakan I, November 2009)
Halaman: 815
ISBN 13: 978-979-22-5014-5
Harga: Rp 40.000,-
Rating: 5/5
Menyesal saya tidak membaca karya-karya Seno Gumira Ajidarma (SGA) sejak dulu. Namanya tentu sudah pernah saya dengar. Sayangnya, baru Nagabumi inilah dari sekian banyak buku SGA yang saya baca. Setelah membaca Nagabumi, tentunya memburu buku-buku karangan SGA adalah sebuah kewajiban.
Pendekar Tanpa Nama adalah tokoh utama dalam kisah Nagabumi. Usianya sudah 100 tahun. Dia menggambarkan umurnya yang tidak muda lagi itu seperti senja yang menyambut malam gelap. Artinya, sewaktu-waktu ajal dapat menjemputnya.
Menyadari usianya yang sudah sepuh–meskipun demikian raga, jiwa, dan pikirannya tidak menurun–dia harus meninggalkan sesuatu sebelum nyawanya terlepas dari tubuh. Maka dia pun menulis kisah perjalanan hidupnya. Kisahnya itu ditulisnya di atas lontar yang dia sendiri membuatnya.
Niat menuturkan kembali jalan hidupnya melalui sebuah tulisan pun juga didasarkan atas tuduhan yang disematkan kepadanya. Dia dituduh menyebarkan ajaran sesat. Pendekar Tanpa Nama merasa heran kenapa dia dituduh dan menjadi buruan Negara. Hadiah 10.000 keping inmas dijanjikan Negara kepada siapa saja yang dapat membunuh Pendekar Tanpa Nama. Padahal sudah 25 tahun dia mengasingkan diri dari dunia luar dan masuk ke alam rimba untuk samadhi.
Untuk mengetahui apa yang sudah terjadi dalam 25 tahun terakhir, Pendekar Tanpa Nama memutuskan keluar dari pengasingannya. Dia kembali melebur ke dalam masyarakat untuk menemukan jawaban atas teka-teki pertanyaan yang menggelayut di dalam benaknya. Dia bertanya-tanya siapakah gerangan sesungguhnya yang mengejarnya? Adakah musuh-musuhnya masih ada yang menyimpan dendam kepadanya? Kenapa Negara juga ikut memburunya bahkan menawarkan hadiah besar untuk kematiannya? Ataukah sebenarnya ini adalah permainan siasat seseorang yang menghasut dan menebar fitnah untuk menghancurkan Pendekar Tanpa Nama?
Maka Pendekar Tanpa Nama pun menuliskan kisahnya. Ini adalah caranya untuk menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dia mengisahkan ceritanya dari awal, sejak dia diselamatkan oleh Sepasang Pendekar dari Celah Kledung dan diasuh oleh mereka, dan ketika dia memulai pengembaraannya di dunia persilatan sejak umur 15 tahun. Sementara bagi pembaca, kisah hidup Pendekar Tanpa Nama menarik untuk diikuti.
Sungguh sebuah otobiografi yang sangat memukau! Ingatan Pendekar Tanpa Nama masih tajam meski usianya tidak lagi muda. Setiap pertarungan diceritakannya secara detil. Seolah-olah baru dialaminya kemarin. Pendekar Tanpa Nama ternyata tidak hanya jago bersilat, melainkan juga jago mengolah kata.
Sepanjang kisah pengembaraannya yang diceritakannya secara runut, diceritakannya pula kisah-kisah kerajaan pada masa itu. Pergolakan, perebutan kekuasaan, perselisihan antar pemeluk agama, dan penindasan pada rakyat lemah. Dia menceritakannya dari sudut pandang rakyat jelata.
Membaca Nagabumi I amat mengasyikkan. Saya yang sebelumnya belum pernah baca cerita tentang silat ternyata bisa mengikuti pertarungan demi pertarungan yang dilalui Pendekar Tanpa Nama. Tentunya dengan jantung saya yang juga berdebar kencang saking tegangnya. Meski jurus-jurus dan ilmu yang dipakai terkesan berlebihan bagi beberapa orang, saya mengabaikan hal itu. Bukan apa-apa, karena saya pikir ini adalah cerita silat. Sudah sewajarnyalah cerita silat menggunakan jurus dan ilmu yang terkesan tidak masuk akal asalkan porsinya pas.
Tentunya yang mengagumkan bagi saya adalah Pendekar Tanpa Nama itu sendiri. Dia digambarkan SGA tidak hanya sebagai seorang pendekar silat yang mumpuni, melainkan juga sebagai seseorang yang dalam pemikirannya. Lewat kisah Pendekar Tanpa Nama ini juga SGA mengajarkan falsafah hidup dan nilai-nilai kebajikan. Suatu hal yang sebenarnya kita juga butuhkan sekarang ini.
Nagabumi I adalah novel yang Indonesia banget. Wait, ataukah seharusnya saya bilang Nusantara banget? Nagabumi I menggunakan latar belakang abad VIII di masa-masa pertarungan kekuasaan antara Wangsa Syailendra dan Wangsa Sanjaya maka tidak heranlah mengapa saya mengatakan novel ini Nusantara banget. Deskripsi kehidupan masa itu, seperti kehidupan penduduk desa dan cara berpakaian mereka, sangat kuat sehingga dapat saya visualisasikan dengan baik dalam benak saya.
Memang dalam novel ini banyak sekali bertebaran istilah-istilah yang ajaib dan berbagai kisah dan ajaran yang baru bagi saya. Jangan khawatir, SGA menyediakan catatan akhir untuk menjelaskan hal-hal tersebut. Tetapi, saya tidak membolak-balik antara catatan akhir dengan halaman yang sedang saya baca karena akan sungguh melelahkan! Lebih baik saya nikmati saja ceritanya. Kalau sudah bingung betul, baru saya buka catatan akhir untuk melihat penjelasannya. Dan seandainya suatu saat nanti saya terlalu santai dan memiliki niat ingin lebih jauh mendalami sejarah kerajaan-kerajaan Nusantara, khususnya pada abad VIII, budayanya, atau apapun yang terkait bisa saya telusuri daftar pustaka yang telah disediakan SGA di halaman akhir Nagabumi I.
Baik penggemar cerita silat maupun yang bukan penggemar cerita silat, Nagabumi I layak untuk dibaca. Novelnya yang tebal sampai 815 halaman janganlah dijadikan penghalang untuk membacanya. Meski tebalnya novel ini terasa mengintimidasi dan ukuran hurufnya juga kecil, percayalah, kisah Pendekar Tanpa Nama sangat seru untuk diikuti. Sungguh sayang jika harus dilewatkan.