#28 – The Catcher in the Rye

The Catcher in the RyeJudul: The Catcher in the Rye
Penulis: J. D. Salinger
Penerbit: Little, Brown, and Company (cetakan I mass market paperback edition, 1991)
Halaman: viii + 214
ISBN-13: 978-0-316-76948-8
Harga: Lupa. Beli buku ini di tahun 2010.
Rating: 3/5

Holden Caulfield, tokoh utama dalam novel ini, adalah seorang remaja berusia 17 tahun. Cerita dalam The Catcher in the Rye terjadi saat dia berusia 16 tahun. Sepertinya Holden menceritakan kisahnya di tempat rehabilitasi. Tidak ada keterangan yang jelas tentang hal itu. Saya hanya menyimpulkan saja setelah membaca ceritanya sampai tamat.

I’ll just tell you about this madman stuff that happened to me around last Christmas just before I got pretty run-down and had to come out here and take it easy. (hal. 1)

Kisahnya dimulai di suatu Sabtu malam menjelang Natal. Saat itu tim football sekolah Holden, Pencey Prep, akan bertanding melawan sekolah lain. Holden seharusnya bertindak sebagai manajer tim, tapi dia meninggalkan timnya begitu saja dan kembali ke asrama.

Dia sudah malas sekolah. Holden benci sekolah. Kenyataannya, dia baru saja dikeluarkan dari Pencey. Ini sudah kesekian kalinya dia dikeluarkan dari sekolah.

Sampai di asrama dia membuat ulah dengan mengajak ribut teman sekamarnya. Akhirnya dia memutuskan keluar dari asrama saat itu juga. Tidak ada gambaran dia akan ke mana atau melakukan apa nantinya. Dia merasa muak dengan sekolah dan teman-temannya yang dirasanya penuh dengan kepalsuan.

Dia menghabiskan akhir pekan dengan luntang-lantung tidak keruan. Membuang uangnya dengan membeli minuman beralkohol hingga mabuk dan tidur di hotel, naik taksi ke sana dan ke mari.

Sepintas kita lihat Holden seperti remaja galau pada umumnya. Bolos sekolah, nilai jeblok, berkelahi, dan berbagai kenakalan remaja lainnya. Holden bukan sekadar galau. Holden sebenarnya muak dengan banyak segala hal. Ini terlihat di sepanjang cerita di mana banyak terdapat umpatan kasar dan kemarahan.

Coba kita lihat uneg-uneg yang dikeluarkannya kepada Sally:

“Did you ever get fed up?” I said. “I mean did you ever get scared that everything was going to go lousy unless you did something? I mean do you like school, and all that stuff?”
“It’s a terrific bore.”
“I mean do you hate it? I know it’s a terrific bore, but do you hate it, is what I mean.”
“Well, I don’t exactly hate it. You always have to—“
“Well, I hate it. Boy, do I hate it,” I said. “But it isn’t just that. It’s everything. I hate living in New York and all. Taxicabs, and Madison Avenue buses, with the drivers and all always yelling at you to get out at the rear door, and being introduced to phony guys that call the Lunts angels, and going up and down in elevators when you just want to go outside, and guys fitting your pants all the time at Brooks, and people always—“ (hal. 130)

Lanjut lagi:

“Take cars,” I said. I said it in this very quiet voice. “Take most people, they’re crazy about cars. They worry if they get a little scratch on them, and they’re always talking about how many miles they get to a gallon, and if they get a brand new-car already they start thinking about trading it in for one that’s even newer. I don’t even like old cars. I mean they don’t even interest me. I’d rather have a goddam horse. A horse is at least human, for God’s sake. A horse you can at least—“ (hal. 130-131)

Berikutnya:

“You ought to go to a boys’ school sometime. Try it sometime,” I said. “It’s full of phonies, and all you do is study so that you can learn enough to be smart enough to be able to buy a goddam Cadillac some day, and you have to keep making believe you give a damn if the football team loses, and all you do is talk about girls and liquors and sex all day, and everybody sticks together in these dirty little damn cliques. The guys that are on the basketball team stick together, the Catholics stick together, the goddam intellectuals stick together, the guys that play bridge stick together. Even the guys that belong to the goddam Book-of-the-Month Club stick together. If you try to have a little intelligent—“ (hal. 131)

Dan masih banyak lagi kemarahan Holden yang dituangkan di dalam cerita ini.

Pertama kali saya membaca The Catcher in the Rye (bertahun-tahun yang lalu), awalnya saya agak tidak tahan. Siapa yang bisa tahan dengan orang yang selalu frustrasi dan penuh amarah? Tidak ada. Holden ini sungguh menjengkelkan. Kerjanya hanya marah-marah. Namun, setelah dua kali saya membaca novel ini, pandangan saya akan Holden sedikit berubah. Saya tetap melihat dia sebagai seorang remaja galau yang sedang kebingungan menjalani fase remaja dan saya juga melihatnya sebagai seseorang yang sangat menyayangi saudara kandungnya, terutama kedua adiknya.

Hal itu terlihat dari caranya menjelaskan tentang D.B. (kakak), Allie dan Phoebe (adik). Holden mungkin memaki dan membenci banyak orang, tapi dia terasa berbeda ketika menceritakan adik-adiknya.

Boy, it began to rain like a bastard. … I got pretty soaking wet, especially my neck. … I didn’t care, though. I felt so damn happy all of a sudden, the way old Phoebe kept going around and around. I was damn near bawling, I felt so damn happy, if you want to know the truth. I don’t know why. It was just that she looked so damn nice, the way she kept going around and around, in her blue coat and all. God, I wish you could’ve been there. (hal. 213)

See? Only by looking at his little sister, he felt happy. He just loved her very much. Dengan segala kemarahan yang dia punya, cukup menyenangkan begitu tahu dia masih memiliki soft spot untuk adik-adiknya di dalam hatinya.

Sebenarnya apa yang menjadi penyebab Holden begitu penuh dengan amarah dan muak dengan banyak hal?

Menurut laman Wikipedia:

This “catcher in the rye” is an analogy for Holden, who admires in children attributes that he struggles to find in adults, like innocence, kindness, spontaneity, and generosity. Falling off the cliff could be a progression into the adult world that surrounds him and that he strongly criticizes.

Holden rupanya takut menjadi dewasa. Dia merasa orang dewasa itu penuh dengan kepalsuan. Berbeda dengan anak-anak yang selalu lugu, tulus, baik hati, dan spontan.

Well, fase remaja itu memang fase yang membingungkan. Seperti Holden yang sebenarnya sedang bingung. Dia menolak menjadi dewasa karena ketakutannya menjadi orang dewasa yang “phony”. Tanpa bimbingan yang tepat, kita bisa tersesat. Padahal menjadi dewasa adalah fase hidup yang mau tidak mau harus kita jalani. Beruntunglah Holden memiliki Phoebe yang bisa membimbingnya melewati masa remaja.

 

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: