#35 – Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990

Dilan 1Judul: Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990
Penulis: Pidi Baiq
Penerbit: Pastel Books (edisi kedua, cetakan II, Januari 2016)
Halaman: 348
ISBN-13: 978-602-7870-86-4
Harga: Rp 76.000,-
Rating: 4/5

Suatu pagi di Bandung, tepatnya di bulan September tahun 1990, ada seorang murid baru pindahan dari Jakarta. Namanya Milea Adnan Hussain. Dia sedang berjalan menuju sekolahnya ketika dia mendengar suara sepeda motor. Pengendara motor itu melambatkan laju motornya berusaha mensejajarkan motornya dengan langkah kaki Milea. Pengendara motor itu menyapa Milea.

“Selamat pagi,” katanya. …
“Pagi.”
“Kamu Milea, ya?” tanyanya kemudian, mencoba membuat percakapan.
“Eh?” Aku tersentak. Kutoleh lagi dirinya, memastikan barangkali aku kenal, nyatanya tidak. Dia menatapku dan tersenyum.
“Iya.”
Alasan utamaku menjawab adalah sekadar untuk bisa bersikap ramah.
“Boleh gak aku ramal?” dia nanya lagi.
“Ramal?”
Aku langsung heran dengan pertanyaannya. Apa maksudnya? Kok, meramal? Kok, bukan kenalan? Aku tidak mengerti.
“Iya,” katanya. “Aku ramal, nanti kita akan bertemu di kantin.” (hal. 20 – 22)

Sungguh cara perkenalan yang aneh! Dan pengendara motor sekaligus tukang ramal itu adalah Dilan. Sejak saat itu proses pendekatan Dilan ke Milea resmi dimulai.

Bagi adik-adik SMA yang sedang PDKT ke cewek mungkin bisa membaca Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990 untuk mendapatkan inspirasi. Karena buku ini seperti buku panduan 101: Cara Pendekatan yang Baik dan Benar. 😆

Karakter Dilan orisinil dan kuat sekali. Humornya, gayanya yang cuek dan nyablak. Seorang Panglima Tempur dari sebuah geng motor di Bandung, hobi bikin onar, tidak takut berantem, ternyata juga punya otak encer dan hati yang lembut. Cintanya pada Milea begitu dalam. Itu dibuktikannya dengan perbuatannya langsung dan juga melalui kata-kata. Puisi-puisi yang dibuatnya untuk Milea dan gombalan-gombalannya itu sungguh unik. Tidak terkesan murahan. Cerdas. Tentu saja ini berkat kreativitas dari seorang Pidi Baiq.

Novel ini diceritakan dari sudut pandang Milea. Gaya Milea bercerita seperti menulis di buku harian. Santai dan menggunakan bahasa sehari-hari. Sangat ringan dan tidak njelimet, tapi emosinya sampai ke pembaca. Lagipula ini kan kisah cinta anak SMA. Di sini Milea bercerita waktu Dilan dulu PDKT ke dia sampai akhirnya mereka resmi jadian. Jadi, untuk apa pakai bahasa sastra dan nyeni segala, iya kan?

Kekuatan ceritanya ada pada emosi Milea ketika menceritakan kenangannya bersama Dilan. Bikin saya senyum-senyum sendiri. Sering saya tertawa membaca tingkah Dilan yang konyol dan lucu seolah tidak pernah kehabisan akal untuk membahagiakan kekasihnya. Coba lihat cara Dilan memproklamirkan hubungan mereka:

Aku melepaskan tangan Dilan yang selama tadi memegangku untuk ngambil buku tulis dan pulpen di dalam tas, lalu kuberikan ke Dilan.
Setelah itu, Dilan nulis di halaman belakangnya:

Proklamasi
Hari ini, di Bandung, tanggal 22 Desember 1990, Dilan dan Milea, dengan penuh perasaan, telah resmi berpacaran.
Hal-hal mengenai penyempurnaan dan kemesraan akan diselenggarakan dalam tempo yang selama-lamanya. (hal. 341 – 342)

Dan ada materainya! Milea dan Dilan tanda tangan di atas materai tersebut. Di bawah tanda tangannya, Dilan menulis: “Angin, untuk meniup rambutmu. Aku, untuk mencintaimu.” Aw, sungguh romantis!

Meski saya suka novel ini, tapi ada dua hal yang membuat saya bertanya-tanya. Pertama, secantik apakah Milea ini hingga membuat hampir semua laki-laki jatuh hati padanya? Pertanyaan ini mungkin agak susah dijawab karena novel ini kan bercerita dari sudut pandang Milea. Kalau dia terang-terangan menulis dan memuji dirinya cantik nanti kesannya Milea ini orangnya PD sekali dan narsis. Saya tahu Milea cantik hanya dari ceritanya yang menyampaikan kembali omongan orang-orang yang bilang dia cantik. Cantiknya seperti apa saya tidak tahu. Penting? Tidak sih, hanya penasaran saja.

Kedua, menurut saya hubungan Milea dengan Bunda Dilan terlalu cepat untuk akrab. Milea dan Dilan baru sebentar berpacaran, tapi Milea dan Bunda Dilan sudah bisa berpelukan dan Milea sudah bisa menangis bahagia di pelukan Bunda Dilan? Lalu, begitu mobil Bunda bergerak menjauh, Milea bisa teriak, “Bundaaa, dadah! Salam ke Dilan, Bundaaaaaa!!!”? (hal.198) Entahlah. Menurut saya itu terlalu cepat bagi Milea dan Bunda yang baru bertemu untuk pertama kali.

Secara keseluruhan saya suka novel ini. Bagi teman-teman yang butuh bacaan ringan dan menghibur untuk menghabiskan waktu, atau untuk nostalgia jaman SMA, atau butuh panduan bagaimana cara-cara tidak biasa PDKT ke cewek, maka Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990 wajib untuk kalian baca.

Sebelum mengakhiri tulisan ini ijinkan saya mengutip puisi Dilan untuk Milea:

Bolehkah aku punya pendapat?
Ini tentang dia yang ada di bumi
Ketika Tuhan menciptakan dirinya
Kukira Dia ada maksud mau pamer

*gambar dari Goodreads

2 tanggapan untuk “#35 – Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990”

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: