#40 – Bukan Pasar Malam

bukan-pasar-malamJudul: Bukan Pasar Malam
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantara (cetakan IX, Desember 2015)
Halaman: 112
ISBN-13: 978-979-3820-03-3
Harga: Rp 49.500,-
Rating: 4/5

Tokoh “Aku” dalam cerita ini mendapat surat dari pamannya di Blora. Pamannya mengabarkan ayah “Aku” sakit TBC dan memintanya untuk segera pulang. “Aku” langsung merasa sesak, lalu perasaan gugup menyusul. Dia cemas akan keadaan ayahnya. Dia juga cemas darimana dia bisa mendapat uang untuk ongkos pulang?

“Aku” berkeliling Jakarta mengunjungi teman-temannya. Dia mengharapkan belas kasihan mereka untuk memberikannya pinjaman. Dalam perjalanan pulang setelah mendapat hutang, dia berkeluh kesah. Dikritiknya Presiden yang hidupnya tampak praktis. Mau jalan ke mana saja sudah tersedia, ya pesawat udaranya, mobilnya, rokoknya, dan uangnya. Sementara dirinya harus mengedari Jakarta untuk mendapat hutang.

“Aku” juga mengkritik demokrasi yang menurutnya tidak berkeadilan.

… Di negara demokrasi engkau boleh membeli barang yang engkau sukai. Tapi kalau engkau tak punya uang engkau hanya boleh menonton barang yang engkau ingini itu. (hal. 10)

Keesokan hari “Aku” bersama istrinya berangkat ke Blora naik kereta api. Sepanjang perjalanan angannya melayang ke ingatan masa kecilnya, pengalamannya ikut perang, dan pada bapaknya.

“Aku”, yang merupakan mantan perwira, adalah seorang idealis dan memiliki hati baja. Namun, begitu dia pulang melihat kondisi bapaknya yang tergolek lemah tak berdaya karena TBC, kondisi rumahnya yang sudah kelewat tua, dan adiknya yang juga sakit parah, hatinya melembut. Dia tak sampai hati untuk meninggalkan bapaknya dan dia juga berjanji akan memperbaiki rumahnya.

Saya sengaja memilih Bukan Pasar Malam untuk dibaca karena melihat bukunya yang tipis. Terbukti saya tidak butuh waktu lama untuk menyelesaikannya. Hanya dalam beberapa jam saja.

Ceritanya jauh sederhana jika dibandingkan Tetralogi Buru yang tebal-tebal itu. Meski begitu, bukan berarti roman ini kualitasnya jauh di bawah buku Pram yang sangat termahsyur tersebut. Romo Y. B. Mangunwidjaya malah menyematkan Bukan Pasar Malam sebagai karya Pramoedya yang paling disukainya.

Saya suka bagaimana Pramoedya menceritakan kronologis ayah “Aku” yang sakit TBC. Sejak pertama “Aku” datang menjenguk ayahnya ke rumah sakit dan melihat kondisi ayahnya sudah tidak baik hingga akhirnya ayahnya meminta pulang karena merasa pengobatan sudah tidak ada gunanya. Kronologisnya menceritakan kondisi ayahnya yang semakin memburuk, napasnya yang semakin berat, lingkaran matanya semakin menghitam, hingga ayahnya sampai berhalusinasi. Ini benar-benar seperti realita. Tidak dibuat-buat.

Bukan Pasar Malam juga menceritakan hubungan ayah dan anak. “Aku” yang lama meninggalkan rumah dan seringkali “pedas” terhadap ayahnya sendiri, sementara ayahnya tetap lembut menghadapi anak sulungnya tersebut. Sekeras-kerasnya “Aku” pada ayahnya, dia tetap menyayangi ayahnya. Begitu tahu ayahnya sakit, dia langsung pulang ke Blora. Begitu merasa harapan sudah tidak ada lagi untuk ayahnya, “Aku”–melawan akal sehatnya–tetap berusaha mencari pengobatan untuk ayahnya sampai ke dukun.

Tentu saja Bukan Pasar Malam juga berisi kritikan pada pemerintah. Di halaman awal saja Pramoedya sudah mengkritik gaya hidup istana yang menurutnya kelewat praktis. Mau apa-apa sudah tersedia. Sementara rakyat jelata harus banting tulang untuk hidup.

Semakin lanjut ke dalam cerita akan semakin terasa kritikannya. Pramoedya menyampaikan kritikannya lewat ayah “Aku”. Ayahnya kecewa melihat para jenderal yang dulu bergerilya melawan penjajah, setelah kemerdekaan diraih mereka berebutan kekuasaan juga. Dia menolak menjadi pembesar atau politisi meski ditawarkan. Dia lebih memilih menjadi guru.

“… Benar, ayah Tuan gugur di lapangan politik. Ayah Tuan mengundurkan diri dari partai dan segala tetek-bengek agar bisa menghindari manusia-manusia badut pencari untung itu. …” (hal. 103)

Menariknya lagi ada pandangan tentang kehidupan dan kematian di sini.

“Ya, mengapa kita ini harus mati seorang? Lahir seorang diri pula? Dan mengapa kita ini harus hidup di satu dunia yang banyak manusianya? … Mengapa orang ini tak ramai-ramai lahir dan ramai-ramai mati? Aku ingin dunia ini seperti Pasarmalam.” (hal. 95)

Pada akhirnya, tokoh “Aku” menyadari bahwa dunia ini bukan pasar malam.

Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang. Seorang-seorang mereka datang. Seorang-seorang mereka pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah ke mana… (hal. 104)

 

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: