#41 – Midah

midahJudul: Midah Simanis Bergigi Emas
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantara (cetakan IX, Desember 2015)
Halaman: 140
ISBN-13: 978-979-97312-7-2
Harga: Rp 55.000,-
Rating: 5/5

Midah adalah anak yang manis dan montok. Kulitnya kuning. Suaranya merdu. Hatinya kuat. Ia anak kesayangan Hadji Abdul. Orangtuanya memanjakannya. Ia seringkali dipangku-pangku bapaknya sambil mendengarkan alunan suara Umi Kalsum. Hidup Midah penuh kebahagiaan sampai akhirnya adik-adiknya lahir.

Midah menjadi kakak pada usia 9 tahun. Ia merasa tersaingi dengan adiknya yang baru lahir dan yang belakangan terus lahir. Dulu ia begitu dimanja sekarang ia seperti tak diacuhkan. Bapaknya tidak lagi memangkunya dan mengajaknya mendengarkan lagu-lagu Umi Kalsum bersama-sama. Ibunya repot mengurus adik-adiknya. Midah pun mencari kebahagiaan di luar rumah. Ia semakin sering bermain sendiri di jalanan.

Di luar ia melihat pengamen keroncong keliling dan ia tertarik. Jenis musik yang tidak pernah ia dengar sebelumnya dan ia terpikat. Ia membawa pulang piringan hitam musik keroncong untuk diputar di rumah. Ia bernyanyi bahagia mengikuti lagu yang dimainkan sampai akhirnya ayahnya pulang dan murka mendengar musik haram itu.

Hadji Abdul naik pitam. “Haram! Haram! Siapa memutar lagu itu di rumah?” Begitu dilihatnya Midah asyik bernyanyi, ditamparnya anak sulungnya itu. Midah terjatuh di lantai. Ia ketakutan dan lari dari ayahnya yang berubah menjadi monster. Ayahnya mengejar. Piringan hitam dihancurkannya. Hati Midah hancur bersama piringan hitam kesayangannya.

Beberapa tahun kemudian Midah dikawinkan dengan Hadji Terbus dari Cibatok.

Dia seorang yang berperawakan gagah, tegap, berkumis lebat, dan bermata tajam. Perutnya yang menonjol ke depan dan langkahnya yang tidak pernah berisi kebimbangan, menandakan ia seorang lelaki yang mahir dalam memerintah, dan biasa hidup dalam kekayaan. (hal. 20)

Midah lari dari suaminya begitu tahu suaminya bukan bujang. Istrinya tersebar di seluruh Cibatok. Ketika ia kabur dari suaminya, Midah sedang hamil tiga bulan.

Midah kabur ke Jakarta, tapi bukan ke rumah orangtuanya. Ia memilih hidup di jalanan dan ikut kelompok pengamen jalanan. Menawarkan suaranya yang merdu dari satu restoran ke restoran lain, dari satu rumah ke rumah lain, membawa perutnya yang semakin lama semakin membesar dan membuatnya kepayahan.

Saya kagum pada sosok Midah. Meski sejak lahir ia hidup berkecukupan dan dimanja, ia tidak tumbuh menjadi wanita yang lemah hatinya. Malah ia menjadi sesosok wanita yang berpendirian. Kita bisa melihatnya dari pemberontakan Midah pada ayahnya (ia senang mendengarkan lagu keroncong sementara ayahnya beranggapan itu lagu haram). Midah kabur dari suaminya yang ternyata beristri banyak juga sebuah pemberontakan. Midah tidak rela dimadu meski Haji Terbus kaya raya dan taat agama. Apalagi cara Haji Terbus memperlakukan Midah.

Di tangan lelaki ini Midah tak ubahnya dengan sejumput tembakau. Ia bisa dipilin pendek dipilin panjang–dipilin dalam berbagai bentuk. (hal. 20 – 21)

Multi tafsir memang. Saya serahkan kepada teman-teman semua bagaimana menafsirkan dua kalimat tersebut.

Perjuangan Midah yang harus membesarkan kehamilannya seorang diri sungguh membuat saya kagum. Apalagi ia harus berjuang hidup di jalanan. Teman-temannya dalam kelompok yang menggodanya dan berusaha melecehkannya, pandangan orang-orang yang merendahkan, tapi ia tetap teguh. Ia tidak tergoda bujuk rayu pria hidung belang. Ia melawan begitu dilecehkan. Nilai-nilai moral dan agama yang diajarkan ayahnya masih ia anut. Sampai akhirnya dia bertemu dengan pria yang menghancurkan tembok pertahanannya dan hatinya.

Midah Simanis Bergigi Besar merupakan novel ringan lainnya dari Pramoedya Ananta Toer. Novel ini ingin memperlihatkan kepada kita ketegangan antara jiwa seorang humanis dan moralis, seperti yang disampaikan Penerbit di kata pengantarnya.

Di satu sisi Pram ingin menegaskan kekuatan seorang perempuan berjiwa dan berpribadi kuat melawan ganasnya kehidupan. Seorang perempuan yang tak mudah ditaklukkan oleh apa pun. Tapi di sisi lain ingin memperlihatkan kebusukan kaum moralis — lewat tokoh Hadji Trebus, juga Hadji Abdul — yang hanya rajin zikir tapi miskin citarasa kemanusiaan. Dan juga serakah. (hal. 7)

Semoga kita semua bukan termasuk orang-orang sok bermoral tapi busuk hatinya dan penuh kemunafikan.

2 tanggapan untuk “#41 – Midah”

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: