Judul: The Yellow Wallpaper and Other Stories
Penulis: Charlotte Perkins Gilman
Penerbit: Dover Publications, Inc. (Dover Thrift Editions, 1997)
Format: Ebook
Harga: Bisa dibaca di Bookmate dengan berlangganan premium
Rating: 5 dari 5 ⭐ – it was amazing
The Yellow Wallpaper and Other Stories berisi tujuh cerita pendek yang semuanya sama bagusnya.
1. The Yellow Wallpaper
Narator menceritakan kisahnya yang mengalami postpartum psychosis. Treatment yang diberikan kepadanya, yaitu rest cure, justru membuatnya semakin menjadi depresi, halusinasi, dan paranoia. Dia tidak diizinkan melakukan aktivitas yang memberinya kesenangan, seperti menulis atau melukis. Instruksi yang sama diterima oleh Gilman sewaktu dia menderita penyakit yang sama dengan narator cerita ini.
“Live as domestic a life as possible. Have your child with you all the time… Lie down an hour after each meal. Have but two hours’ intellectual life a day. And never touch pen, brush or pencil as long as you live.”
Ya, The Yellow Wallpaper merupakan sebuah cerita semi otobiografi Gilman sewaktu dia mengalami postpartum psychosis. Tidak lama setelah Gilman melahirkan putrinya, Katharine, dia terkena penyakit tersebut.
Mari kita lanjut ke cerita.
Semakin lama Narator semakin terpuruk dengan penyakitnya. Dia merasa terkungkung dan terpenjara di dalam pernikahannya dan rumahnya sendiri. Dia menjadi terobsesi dengan wallpaper warna kuning yang menghiasi kamarnya. Dia sangat membenci wallpaper tersebut. Dia juga merasa tidak nyaman dengan kamarnya.
Suaminya, yang juga seorang dokter, tidak mau mendengar keluhan dan protes dari Narator karena treatment yang diberikan justru menghancurkan Narator. Suaminya berkilah justru itu adalah treatment yang terbaik untuknya.
Narator sebagai istri yang baik tentu saja tidak berani membantah suaminya. Dia menuruti apa kata suaminya. Dia berpikir positif bahwa suaminya memang sayang padanya, sangat perhatian, dan sangat mengerti akan penyakit ini. Dia pun mencoba berdamai dengan keadaan. Justru makin lama penyakitnya semakin parah dan membuatnya hampir gila.
2. Three Thanksgivings
Mrs. Morrison hanya tinggal berdua bersama asistennya di rumahnya yang besar sejak suaminya meninggal. Kedua anaknya sudah meminta dia untuk tinggal bersama mereka dan rumah itu sebaiknya dijual saja. Tetapi, Mrs. Morrison bersikukuh mempertahankan rumah tersebut meski biaya perawatan cukup besar dan dia tidak memiliki penghasilan. Terlalu banyak kenangan di dalamnya.
Mrs. Morrison pun nekad mengambil pinjaman pada Mr. Butts. Tenggat yang diberikan dua tahun dan harus dibayar beserta bunga. Namun, Mr. Butts mau mengikhlaskan utang Mrs. Morrison asalkan dia mau menikahi Mr. Butts. Sebuah tawaran yang tentu saja ditolak mentah-mentah oleh Mrs. Morrison.
Mrs. Morrison mencari cara mencari uang untuk membayar utangnya. Dia menyewakan rumahnya sebagai tempat untuk kumpul-kumpul berbagai klub. Biaya sewa ditarik dari per kepala yang hadir dalam acara klub tersebut. Mrs. Morrison juga menyediakan kudapan untuk setiap pertemuan. Buku-buku juga disediakan jika ada yang ingin meminjam.
Lambat-laun rumahnya semakin ramai dengan anggota-anggota berbagai klub. Uang pun mengalir ke kantong Mrs. Morrison. Sampai tenggat waktu yang diberikan Mrs. Morrison bisa membayar utang dan bunganya kepada Mr. Butts.
3. The Cottagette
Malda menyukai Ford Mathews. Lois, sahabat baik Malda, memberikan saran padanya agar Malda lebih fokus dalam mengurus urusan domestik rumah tangga. Atas sarannya tersebut, Malda jadi lebih rajin masak dan beberes. Dia tidak berkeberatan karena toh dia juga memang menyukainya dan sudah terbiasa sejak kecil. Malda selalu masak tiap kali Ford datang ke rumahnya. Sampai suatu ketika, Ford datang mengajak Malda piknik. Dia membawa bekal makan siang. Pada saat piknik itu Ford melamar Malda untuk menjadi istrinya. Kalau Malda mau menikahinya ada syarat yang diajukan oleh Ford:
“You musn’t cook! You must give it up for my sake.”
Ford meminta Malda untuk tidak melepaskan jiwa seninya jika nanti mereka menikah.
“Your work is quite too good to lose; it’s a beautiful and distinctive art, and I don’t want you to let it go.”
“I want to marry you, Malda — because I love you — because you are young and strong and beautiful — because you are wild and sweet and — fragrant, and — elusive, like the wild flowers you love. Because you are so truly an artist in your special way, seeing beauty and giving it to others. I love you because of all this, because you are rational and highminded and capable of friendship — and in spite of your cooking!”
Ehm… Jarang-jarang kan bisa ketemu pria seperti Ford Matthews ini…
4. Turned
Biasanya seorang istri begitu tahu suaminya selingkuh dengan wanita lain, dia akan melabrak wanita tersebut dan mempermalukannya di muka umum. Umumnya wanita menyalahkan wanita lain yang dianggapnya telah merebut suaminya. Namun, Mrs. Marroner tidak. Begitu dia tahu suaminya telah menghamili Gerta — gadis muda yang tinggal di rumah mereka — dia tidak mempermalukannya. Malah Mrs. Marroner dapat berpikir jernih bahwa Gerta masih sangat muda dan belum mengerti apa-apa. Justru suaminya lah yang memanipulasi kepolosan Gerta. Ingat relasi kuasa, teman-teman? Di sini Gerta adalah korban.
Jadi, Mrs. Marroner pergi dari rumah membawa Gerta. Dia mengajukan cerai kepada suaminya. Dia memutuskan untuk merawat Gerta dan bayinya.
5. Making a Change
Kisah lain tentang ibu yang baru melahirkan dan mengalami postpartum depression. Tuntutan dari suami dan keluarga bahwa ibu baru harusnya begini begitu membuat Julia depresi dan terpikir untuk bunuh diri. Syukurlah ibu mertuanya berhasil menggagalkan rencananya tersebut. Mereka berdua pun membuat kesepakatan dan menghilangkan ketegangan di antara mereka yang sebelumnya terjadi karena perbedaan dalam merawat bayi.
Kesepakatannya adalah dari pagi hingga sore Julia akan memberi les musik di luar, sementara di rumah ibu mertuanya membuka tempat penitipan anak. Karena ibu mertuanya memang sangat menyukai bayi dan anak kecil, dan dia sangat ahli dalam hal itu. Ibu mertuanya mempekerjakan seorang wanita untuk membantunya menjaga bayi-bayi tersebut dan seorang dokter untuk berjaga-jaga jika ada apa-apa dengan mereka.
Kesepakatan tersebut membuat Julia kembali bersemangat dan sembuh dari postpartum depression.
6. If I were a Man
Mollie Mathewson sering berandai-andai jika dia seorang pria setiap dia bertengkar dengan pasangannya. Hingga suatu ketika dia benar-benar menjadi seorang pria. Dia bisa mengerti bagaimana cara pandang pria terhadap wanita.
7. Mr. Peeble’s Heart
Mr. Peeble adalah pria yang bertanggung jawab. Dia menjalankan tugasnya sebagai anak merawat ibunya sampai meninggal, lalu menikah dan menjalankan perannya sebagai suami dan ayah. Semakin tua Mrs. Peeble semakin tidak peka, tidak peduli dengan suaminya dan semakin galak saja. Namun, Mr. Peeble tidak protes. Dia tetap menjalankan perannya sebagaimana mestinya.
Dr. Joan — adik dari Mrs. Peeble — sedang datang berkunjung ke rumah kakaknya dan melihat Mr. Peeble sakit. Mrs. Peeble sendiri tidak tahu bahwa suaminya sakit. Dr. Joan merasa iba dengan kondisi kakak iparnya. Dia berusaha agar kakak iparnya itu kembali sehat dan ceria. Dia beli gramofon dan sengaja menyetelnya untuk didengar Mr. Peeble. Dia juga menyuruh kakak iparnya untuk jalan-jalan ke Eropa selama dua tahun. Dia meminta Mr. Peeble tidak usah pusing dengan tokonya dan menyarankannya untuk dijual saja ke Dr. Joan.
Diberi usul begitu, Mr. Peeble ragu dan hanya bisa berkomentar, “But, Emma…” Joan meminta Mr. Peeble tidak usah memusingkan istrinya itu. Istrinya akan baik-baik saja. Sekarang sudah saatnya Mr. Peeble mengurus dirinya sendiri dan membahagiakan dirinya sendiri. Mr. Peeble menuruti nasihat adik iparnya itu.
Dua tahun berlalu Mr. Peeble pun pulang dari perjalanannya.
He returned younger, stronger, thinner, an alert vigorous man, with a mind enlarged, refreshed, and stimulated. He had found himself.
Mrs. Peeble juga berubah dalam dua tahun tersebut menjadi pribadi yang lebih baik dan menyenangkan. Hubungan mereka pun kembali mesra.
REVIEW
Semua cerita Gilman di sini memiliki satu kesamaan tema: GIRL POWER! Dia menuliskan suara-suara wanita di sini. Dia ingin memberitahu kita bahwa wanita depresi setelah melahirkan itu sungguhan ada dan harusnya kita memberikan dukungan kepada ibu yang baru melahirkan. Kita dengarkan keluh kesah mereka, bukannya sibuk menghakimi.
Gilman juga menyampaikan pesan betapa pendingnya kemandirian finansial bagi wanita. Biar bagaimanapun wanita tetap harus berdikari. Wanita harus punya penghasilan sendiri dan tetap berkarya. Tokoh-tokoh wanita di sini dideskripsikan sebagai wanita yang mandiri, punya pekerjaan, atau jiwa seni yang memiliki karya.
Tokoh-tokoh di dalam cerpennya juga digambarkan sebagai orang yang berpikiran terbuka. Coba lihat Mrs. Marroner yang alih-alih mengusir dan mencaci maki Gerta, dia malah merawatnya dan bayinya, dan dia meninggalkan suaminya. Juga Ford Matthews, yang untuk ukuran pria pada jaman itu tentu sangat berpikiran maju. Dia tidak mau Malda tunduk pada tuntutan sosial bagaimana wanita seharusnya berperilaku. Ford tidak mau Malda meninggalkan jiwa seninya begitu saja dan hanya mengerjakan tugas domestik ketika nanti mereka menikah.
Kita bisa mendengar suara feminisme dalam cerita-cerita Gilman karena dia sendiri memang seorang feminis. Dia juga seorang sosiolog, aktivis, dan dosen. Keberaniannya dalam berpendirian, sosoknya yang mandiri, dan ide-idenya yang dituangkan dalam karyanya dapat memberikan gambaran bahwa dia adalah sebuah sosok yang pantas untuk diidolakan. Ketika dia didiagnosa kanker payudara, dia mengambil sebuah keputusan berani untuk melakukan euthanasia. Dia memilih kloroform (ketimbang menyerah pada kanker) untuk mengakhiri hidupnya.
Karena semua cerita di sini sangat berkesan buat saya dan membuat saya terinspirasi dengan tokoh-tokoh yang ada (dan tentu saja saya terinspirasi dengan Gilman), sudah sepantasnya lah 5 ⭐ diberikan untuk The Yellow Wallpaper and Other Stories.
Referensi tambahan
Silakan teman-teman nonton video Crash Course Literature di bawah ini untuk resensi The Yellow Wallpaper yang lebih mendalam.
Satu komentar pada “#64 – The Yellow Wallpaper and Other Stories”