Judul: The Age of Empathy: Nature’s Lessons for a Kinder Society
Penulis: Frans de Waal
Rating: 5 dari 5 ⭐ – it was amazing
Bagaimana selama ini kalian memandang manusia secara umum? Apakah kalian termasuk golongan optimis (bahwa manusia ini sebenarnya makhluk baik) atau golongan skeptis (bahwa semua manusia itu jahat)? Saya pernah berada di keduanya. Dulu sekali (sewaktu masih naif dan polos) saya percaya bahwa semua manusia itu baik. Belakangan saya memegang teguh prinsip all humans are evil until proven otherwise. Semua manusia itu jahat sampai terbukti sebaliknya. Prinsip yang saya pegang erat sejak melihat begitu besarnya kemampuan manusia dalam berbuat jahat.
Frans de Waal, seorang ahli primata ternama, mempertanyakan kenapa sih manusia itu dianggap secara natural — biologis — jahat? Maka ditulislah buku ini oleh beliau untuk menjelaskan kepada kita — orang awam — bahwa manusia itu gabungan antara kebaikan dan kejahatan. Beliau membandingkan perilaku hewan mamalia dan primata, mulai dari tikus, paus, gajah, monyet, simpanse, hingga manusia. Berbagai hasil penelitian dijabarkan, tentu saja menggunakan bahasa yang mudah dipahami.
Bukunya sangat thought provoking. Saya mengalami sedikit disonansi kognitif setelah membacanya. Pikiran saya menjadi lebih optimis dan bisa lebih memahami manusia. Batas toleransi saya pun sedikit meningkat pada manusia. Semoga ini bisa bertahan seterusnya.
Well, anyway, akan saya rangkum tiap bab dari buku ini.
1. Biology, Left, and Right
Seperti yang sudah saya singgung sedikit di paragraf kedua, de Waal bertanya-tanya kenapa asumsi kita, jika kita melihat manusia dari sisi biologis, selalu jahat? Padahal manusia memiliki “inner ape” yang tidak sesombong dan sejahat yang digembor-gemborkan dan percaya atau tidak empati itu sebenarnya secara natural ada di spesies kita.
De Waal memberi contoh sewaktu badai Katrina terjadi di US. Kerusakan yang ditimbulkan akibat badai begitu berat dan korban begitu banyak. Karena kelambanan respon pemerintahnya para korban mengeluh, “Kenapa kami diabaikan seperti binatang?” Padahal binatang tidak melulu cuek atau jahat terhadap sesamanya. Jika hewan ingin bertahan hidup justru harus melalui kerja sama dan berbagi, sama seperti nenek moyang manusia. Homo sapiens bisa survive karena mereka mau bekerja sama. Tidak seperti Neanderthal yang konon katanya punah karena mereka terlalu penyendiri.
Di ilmu sosial, tabiat alami manusia dapat digambarkan melalui pepatah Homo Homini Lupus, manusia itu serigala bagi sesamanya. Namun, apakah benar begitu adanya? Para ahli Biologi memiliki ketertarikan untuk menjawab pertanyaan apa saja tabiat alami manusia dan dari mana asalnya. Setelah banyak penelitian dilakukan dapat disimpulkan bahwasanya spesies kita memiliki sisi sosial dan sisi egois.
Darimana moral muncul? Dalam bukunya The Descent of Man, Charles Darwin melihat moralitas manusia sebagai turunan dari animal sociality. Dia menulis:
Any animal whatever, endowed with well-marked social instincts … would inevitably acquire a moral sense or conscience, as soon as its intellectual powers had become as well developed, or nearly as well developed, as in man.
Kita adalah makhluk sosial. Tubuh dan pikiran kita didesain untuk bersosialisasi. Tanpa ada kehidupan sosial, kita bisa jadi depresi. De Waal menulis bonding sangat baik untuk manusia. De Waal menambahkan cara bonding yang paling dapat diandalkan untuk memperpanjang harapan hidup manusia adalah dengan menikah dan tetap menikah. Well, ini sangat dapat diperdebatkan, but that’s just another story. Lanjutnya, bonding sangat penting bagi spesies kita, memiliki incredible survival value untuk kita, dan bonding membuat kita sangat bahagia.
Bab 1 ditutup dengan satu kalimat yang sangat layak untuk dikutip:
“… even though we live in cities and are surrounded by cars and computers, we remain essentially the same animals with the same psychological wants and needs.”
Bab 2: The Other Darwinism
Herbert Spencer adalah orang yang menciptakan frasa terkenal “survival of the fittest“. Yang entah bagaimana ceritanya (saya lupa. Barangkali teman-teman mau menambahkan) setelah frase ini muncul lahirlah Social Darwinism.
Petr Kropotkin meyakini kelompok hewan (atau manusia) yang bekerja sama akan mengalahkan kelompok yang kurang bekerja sama. Dengan kata lain, kemampuan kita untuk berfungsi atau bermanfaat di dalam sebuah grup dan membangun jaringan dukungan adalah keahlian yang sangat penting jika ingin bertahan hidup. Tidak heran manusia juga dikenal dengan group animal atau manusia berkelompok. Manusia memiliki insting bergerombol (herd instinct).
Meski manusia senang berkelompok, lalu membentuk society, tetap pada akhirnya kita akan selalu mendahulukan kepentingan pribadi daripada kepentingan kelompok (atau masyarakat). Namun, bukan berarti kita murni egois juga. Ada yang namanya “enlightened self-interest“. Apa itu maksudnya?
A society operates like a contract: Those who gain from it are expected to contribute, and conversely, those who contribute feel entitled to get something out of it. We enter this contract automatically while growing up in a society, and felt outrage when violated.
Contoh mudahnya barangkali begini. Kita ingin lingkungan rumah kita aman supaya keluarga kita bisa tidur nyenyak dan santai beraktivitas tanpa harus takut ada rampok. Untuk mendapatkan keamanan tersebut, kita diharuskan ikut ronda siskamling oleh kepala RT. Tidak masalah toh kita ikut ronda asal kebutuhan rasa aman kita terpenuhi. Mudah-mudahan contoh yang saya berikan mudah dipahami ya.
Sekarang pertanyaan paling fundamental adalah kenapa seleksi alam mendesain otak manusia agar selaras (tune in) dengan manusia lain, kita ikut merasakan stres, sedih, dan bahagianya mereka?
Poin bab ini adalah manusia itu tidak murni egois maupun murni altruistik. Semuanya adalah tentang keseimbangan. De Waal mengakui manusia termasuk golongan primata yang sangat agresif, tapi manusia punya kontrol untuk menahan diri.
Kutipan penutup dari bab dua:
Ideologies come and go, but human nature is here to stay.
Bab 3: Bodies to Bodies
Manusia melihat kawannya menguap, tertawa, menangis, maka dia juga akan ikut menguap, tertawa, menangis. This is precisely where empathy and sympathy start.
Mimicry happens across species. Not only do we mimic those with whom we identify, but mimicry in turn strengthens the bond.
Saya tidak banyak mencatat di bab 3 karena drafts di Twitter saya terhapus. Sayang sih karena cukup banyak yang saya catat, tapi ya sudahlah.
Bab 4: Someone Else’s Shoes
Apes memiliki simpati, bahkan mereka yang masih muda. Mereka menghibur keluarga atau temannya yang sakit atau kecelakaan. Anak-anak usia satu tahun sudah mulai bisa menenangkan anggota keluarga mereka yang menangis.
Menghibur atau menenangkan dengan menggunakan kontak tubuh (misalnya pelukan) adalah bagian dari biologisnya mamalia. Hal ini terbawa dari insting ibu yang merawat dan menggendong bayinya, dan itulah mengapa kita mencari dan memberikan sebuah pelukan ketika kita sedang stres.
Apa sih motivasi kita menghibur orang lain? Jawabannya bisa saja sebenarnya kita ingin menghibur orang lain karena kita tidak tahan melihat orang lain yang sedang bersedih. Oleh karena itulah kita menghibur mereka karena untuk menenangkan diri kita juga.
Apes juga menunjukkan perilaku prososial, seperti membantu, berbagi, bekerja sama. Sekadar info:
Capuchin monkeys have the largest brain relative to body size of all monkeys. They are extremely smart, share food, and cooperate easily with one another as well as with humans.
capuchin
babon
macaque
Kata kunci bab ini adalah emotional contagion, mirror self-recognition, perspective-taking, consolation.
Bab 6: Fair is Fair
Kepercayaan itu sangat penting untuk menjalankan society. Kita menggunakan pengalaman kita di masa lalu untuk menentukan siapa yang dapat kita percaya dan terkadang kita menggunakan pengalaman anggota masyarakat yang lain. Misalnya, kita bisa menanyakan kepada saudara kita atau tetangga kita tentang rekam jejak si A. Apakah dia dapat dipercaya? Apakah dia orang baik?
Dari kepercayaan itu kita kemudian bisa bekerja sama. Dengan bekerja sama bisa memberikan hasil yang lebih banyak ketimbang bekerja sendiri, contohnya dua orang berburu bisa dapat hasil buruan lebih banyak. Namun, kerja sama bisa memunculkan free-riders alias orang-orang yang hanya mau enak saja mengambil keuntungan, tetapi tidak mau bekerja.
Simpanse mengekspresikan rasa terima kasih mereka dan mereka reciprocate. Jika yang lain mengganggu atau menunjukkan sikap permusuhan, mereka akan membalas. Jika yang lain berbuat baik, mereka juga akan membalas. Mereka memberikan balasan pada saat itu juga.
Membaca The Age of Empathy semakin meneguhkan keyakinan saya bahwasanya manusia dan simpanse itu memang sepupuan. Kita punya perilaku yang mirip dengan mereka. Misalnya simpanse yang mau jadi pemimpin harus punya teman sebanyak mungkin. Si jantan calon pemimpin tersebut mendekati para betina, grooming, dan bermain dengan anak-anak mereka. Biasanya simpanse jantan mana peduli dengan anak-anak simpanse, tetapi kepedulian ini penting. Karena mereka akan diamati oleh para betina yang ada. Seolah-olah para betina ini ingin tahu, “Bagaimana sih cara elo memperlakukan mereka yang lemah dan rentan?”
Ini biasa kita lihat pas kampanye. Benar tidak? De Waal menjelaskan begini:
Simpanse paham konsep adil. Jika ada satu simpanse menerima makanan lebih banyak atau lebih enak ketimbang yang lain, maka dia akan menunjukan perilaku tantrum, seperti mengamuk atau ngambek. Bahkan ada yang sampai menyerang manusia, seperti yang dialami St. James Davis.
Bab 7: Crooked Timber
Manusia itu bipolar apes. Kita berada di tengah-tengah seksi bonobo dan simpanse yang dominan. Maksudnya, kita tidak seperti simpanse yang sangat agresif, tetapi tidak juga seperti bonobo yang sangat pecinta damai. Manusia memiliki keduanya dan keduanya sama penting bagi kebertahanan hidup manusia.
Ada pertanyaan menarik. Laki-laki bersikap kuat itu apakah budaya atau memang sudah secara genetis? Bisa saja kan manusia harus selalu menunjukkan sikap kuat karena mereka dikelilingi oleh orang-orang yang berharap mereka untuk jatuh. Lihat saja babon dan simpanse. Ketika seekor babon ditembak obat penenang, begitu para rivalnya melihat ini mereka langsung datang menghampiri dan menganggap ini sebagai sebuah kesempatan untuk menghajar babon tersebut. Simpanse ketika sakit atau terluka, lalu rival utamanya datang simpanse yang sedang sakit (atau terluka) tersebut langsung berdiri dan menunjukkan intimidasi. Mereka pamer otot, pamer suara. Mereka tidak mau menunjukkan kelemahan mereka di hadapan rivalnya. Itulah kenapa mereka menyembunyikan kelemahan mereka.
Akhirul kalam, dengan mengetahui perilaku empati manusia dan hewan lain semoga kita bisa banyak belajar dan mengambil hikmahnya. Semoga kita menjadi manusia yang terus membumi dan tetap rendah hati.