Judul: Filosofi Teras
Penulis: Henry Manampiring
Penerbit: Penerbit Buku Kompas (cetakan I, 2019)
Halaman: xxiv + 320
eISBN: 978-602-412-519-6
Rating: 4 dari 5 ⭐ – really liked it
Melihat Filosofi Teras yang selalu berada di beranda Gramedia Digital mau tak mau membuat saya tergoda untuk membacanya. Meski awalnya saya skeptis karena tidak yakin filsafat bisa ditulis dengan baik untuk umum, toh akhirnya saya baca juga sampai habis dan menyukai bukunya.
Jadi, Filosofi Teras mengenalkan kepada kita stoicism, yaitu sebuah school of thought yang didirikan oleh Zeno di Athena sekitar awal abad ke-3 sebelum Masehi. Zeno adalah seorang pedagang kaya, tetapi sayang dia harus kehilangan segalanya ketika kapal yang membawa barang dagangannya karam. Dia mampir ke toko buku, baca-baca buku di sana, lalu tertarik dengan ajaran Socrates. Rasa minatnya membawanya langsung datang kepada para filsuf ternama di Athena dan belajar kepada mereka.
Adapun filsuf Stoa ternama di antaranya adalah Epictetus, Seneca, dan Marcus Aurelius. Iya, Marcus Aurelius yang kaisar Romawi di film Gladiator itu, yang menurut Wikipedia beliau adalah kaisar terakhir dari Five Good Emperors dan Pax Romana–Romawi di masa-masa damai dan stabil.
Konsep ajaran dari Zeno ada di nilai-nilai kebajikan, toleransi, dan kontrol diri. Stoicism percaya bahwa semua yang terjadi dalam hidup ini saling terkait (interconnectedness), termasuk peristiwa yang terjadi di dalam hidup kita. Ia bekerja berdasarkan sebab-akibat. Istilah kerennya butterfly effect. Kepakan sayap kupu-kupu di suatu tempat bisa menyebabkan badai di tempat lain.
Filosofi Teras (stoicism) melihat semua peristiwa hidup sebagai sebuah keteraturan kosmos dari peristiwa-peristiwa terkait yang mengikuti aturan alam. (hal. 42)
Manampiring menulis jika ingin hidup yang baik maka manusia harus hidup selaras dengan Alam, artinya kita harus hidup dengan sebaik-baiknya menggunakan nalar, akal sehat, dan rasio karena itulah yang membedakan kita dengan binatang.
Dalam hidup ini ada hal-hal yang dapat kita kendalikan dan ada hal-hal yang di luar kendali kita. Janganlah kita terfokus pada hal-hal di luar kuasa kita, misalnya kondisi fisik, masa lalu, dan perlakuan juga penilaian orang lain terhadap kita. Menggerutu di depan cermin karena wajah kita tidak menarik tidak akan mengubah apapun. Atau, menangisi pasangan yang berselingkuh dan meninggalkan kita demi orang lain tidak akan membawanya kembali. Atau berandai-andai, “Kenapa saya terlahir sebagai Kimi dan bukannya sebagai Sophie Turner?” Semua itu sia-sia. Namun, kita bisa mengontrol sikap dan tindakan kita sendiri pada apapun yang terjadi di kehidupan kita.
Menurut ajaran stoicism, semua peristiwa yang terjadi di dalam hidup manusia adalah netral, juga tidak ada sesuatu hal yang baru. Manusia itu sendirilah yang memberi nilai positif atau negatif pada peristiwa yang dialaminya. Putus cinta dialami oleh semua orang, tetapi bisa saja dimaknai berbeda antar satu individu dengan individu yang lain. Saya bisa saja memaknai putus cinta sebagai akhir dunia, tetapi teman saya bisa saja bahagia ketika putus cinta karena berarti dia bisa mencari pacar baru. Terkadang kita khawatir berlebihan. Kalau kata Seneca, “We suffer more in imagination than in reality.”
Ada konsep menarik di stoicism, yaitu premeditato malorum. Apa itu premeditato malorum? Ia adalah teknik memperkuat mental dengan membayangkan semua kejadian buruk yang mungkin terjadi di hidup kita di hari ini dan ke depannya. Ini berbeda dengan kekhawatiran tidak beralasan.
Pada premeditato malorum kita bisa mengenali peristiwa-peristiwa di luar kendali kita dan memilih untuk bersikap rasional. Sehingga jika peristiwa tersebut benar terjadi, kita tidak kaget lagi dan sudah tahu bagaimana harus bersikap. Kalau dalam contoh kasus personal, saya sering membayangkan kemungkinan saya akan sakit. Khawatir, iya. Takut, iya. Namun, saya menanggapinya dengan memberi tubuh saya makanan dan minuman yang sehat, juga berolahraga, dan dalam waktu dekat berencana membeli asuransi kesehatan (karena hanya punya kartu Jaminan Kesehatan Nasional sepertinya tidak cukup). Kalaupun nanti sakit juga, ah ya sudahlah terima saja. Mau diapakan lagi. Paling yang bisa saya lakukan hanyalah berobat dan amor fati alias mencintai nasib apapun yang telah terjadi dan yang sedang terjadi.
Beberapa konsep stoicism terasa familiar. Setelah saya ingat-ingat lagi konsepnya mirip dengan self-compassion. Keduanya memang sangat dapat diterapkan di dalam kehidupan sehari-hari. Jika kita terus-menerus melatih “otot-otot” mental kita dengan stoicism (maupun self-compassion), maka kita akan memiliki mental tangguh dalam kehidupan modern sekarang ini. Setidaknya itu yang saya lihat dari tujuan Manampiring menulis Filosofi Teras. Dia mengenalkan stoicism kepada kita, berharap kita tertarik untuk mempelajari stoicism lebih lanjut, untuk kemudian mempraktekkannya. Untuk itu, saya mengucapkan terima kasih kepada Henry Manampiring.
Buku ini memang bukan seperti buku-buku filsafat yang sudah pernah saya baca sebelumnya. Buku-buku itu dengan bahasa njelimet membuat saya mundur teratur dari niat mulia ingin belajar filsafat secara mandiri. Filosofi Teras seperti buku saku, buku how-to, tips, atau panduan singkat menjalani hidup dengan menggunakan stoicism. Bahasanya sangat ringan dan mudah dicerna, yang somehow bisa langsung mengena di saya. Saya masih berjuang atas beberapa peristiwa terakhir yang tidak mengenakkan dan Filosofi Teras ternyata cukup bisa membantu saya melatih diri bagaimana harus merespon atas semua peristiwa tersebut. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih kepada Om Henry.
Ada beberapa hal yang saya suka dari Filosofi Teras. Pertama, di setiap akhir bab diberikan intisari. Membuat ingatan tersegar kembali dari satu bab yang baru selesai dibaca beberapa menit yang lalu (yah, harap maklum saya orangnya cepat lupa).
Kedua, wawancara yang ada dengan psikiater, aktivis, dan psikolog semakin membuat konsep stoicism dekat dengan kehidupan. Bahwa sebenarnya stoicism itu gampang lho dipraktekkan.
Ketiga, berbagai referensi yang diberikan di akhir buku membuat saya jadi tergoda (kalau sedang tidak malas) ingin mempelajari stoicism lebih lanjut dan cheat sheet untuk melihat kembali konsep utama yang sudah dibahas di buku. Jadi, kita tidak usah capek-capek buka buku dari awal kalau hanya sekadar butuh pengingat. Sekali lagi, terima kasih, Om Henry.
Oke, sudah tiga kali saya mengucapkan terima kasih. Semoga beliau (seandainya beliau membaca tulisan ini) dan kalian tidak bosan.
Kalaupun ada yang mengganjal, mungkin lelucon-lelucon yang ditulis terasa garing. Pertanyaan pertama saya begitu membuka ebook ini di Gramedia Digital adalah buku ini ditulis dengan gaya serius atau bagaimana? Di benak saya sudah terbiasa dengan buku filsafat ditulis dengan serius, termasuk dengan buku-buku fiksi filsafat. Maklum, saya punya banyak pengalaman dengan Jostein Gaarder.
Namun, saya bisa mengerti kalau buku ini ditulis untuk orang awam yang barangkali mendengar stoicism saja belum pernah. Nanti kalau ditulis dengan gaya serius boro-boro mau mengajak orang belajar stoicism, yang ada malah pada langsung menutup bukunya karena bosan dan tidak tertarik. Ya sudah, tidak apa-apa. Ini hanya masalah selera.
Resensi ini akan saya tutup dengan mengutip dari kata pengantar yang ditulis oleh A. Setyo Wibowo:
Filsafat Stoa adalah yang pertama mengusung konsep kosmopolis (negara seluas kosmos). Bukan hanya di Nusantara ini kita bersaudara. Kita adalah warga negara dunia, semua manusia satu kerabat karena berpartisipasi pada logos (rasio) semesta yang sama. (hal. xviii)
bagus artikelnya
terima kasih. 🙂