#80 – A Clash of Kings

Judul: A Clash of Kings (A Song of Ice and Fire #2)
Penulis: George R. R. Martin
Penerbit: Bantam Spectra (September 2000)
Halaman: 969
Rating: 5 dari 5 ⭐ – it was amazing

Robert Baratheon dan Eddard Stark mati. Seharusnya yang melanjutkan tahta kerajaan adalah Joffrey, tetapi Robb Stark, Stanis Baratheon, dan Renly Baratheon masing-masing mengklaim mereka adalah raja. Jangan lupa ada nama Daenerys Targaryen yang juga berambisi ingin merebut kembali tahta milik keluarganya.

Sesuai judulnya A Clash of Kings berpusar pada raja-raja yang bertempur demi Iron Throne di King’s Landing. Itu garis besar ceritanya. Pertempuran demi pertempuran terjadi melanjutkan pertempuran sebelumnya di A Game of Thrones. Robb Stark sepertinya akan memenangi pertempuran melawan Lannisters dan Renly membawa pasukannya dalam jumlah besar ke King’s Landing. Terdengar sangat menjanjikan, seperti ada secercah cahaya bahwa Lannisters akan kalah di tangan Starks dan King’s Landing akan jatuh ke tangan Renly.

Namun, jangan tersenyum bahagia dulu karena di luar dugaan Stanis menghadang Renly. Malah dia menantang Renly untuk bertempur. Seperti sudah siap berpesta, tetapi sayangnya pesta harus dibatalkan. Sungguh disesalkan, bukannya mereka bertiga menggabungkan kekuatan untuk menghancurkan Lannisters, malah mereka sibuk berkelahi sendiri mempertahankan ego masing-masing.

Di buku kedua ini ceritanya semakin gelap, tegang, seru, dan menarik. Semakin banyak intrik dan adu strategi juga adu licik. You have to outwit your opponents if you want to survive. Seperti bermain catur, pikirkan dengan baik-baik langkah yang akan kamu ambil. Jangan sampai salah langkah. Dan pemain favorit saya tentu saja Tyrion Lannister.

Saya bisa menulis panjang lebar membahas Tyrion Lannister, tapi nantinya tulisan ini bukan tentang A Clash of Kings. Nanti saja, di lain kesempatan, saya akan mendedikasikan satu tulisan khusus untuk membahas Tyrion.

Mari kita kembali ke A Clash of Kings.

Di buku ini kita akan menyelami pemikiran sepuluh tokoh. Delapan masih sama seperti yang di A Game of Thrones dengan dua tambahan sudut pandang baru, yaitu dari Theon Greyjoy dan Davos.

Membaca halaman demi halaman A Clash of Kings seperti memasuki terowongan gelap yang tidak berujung. Martin menulis deskripsinya terlalu detil dan mengerikan sehingga terkadang membuat saya merasa sesak, tapi penasaran. Namun, tidak jarang juga detilnya terlampau panjang dan membosankan.

Tyrion tetap memberikan nafas segar, meski hanya untuk sementara. Mulutnya yang tajam, otaknya yang cerdas, dan humornya membuat saya terhibur. Bagian favorit saya ketika dia beradu argumen dengan Cersei. Saya tersenyum puas ketika dia bisa membuat Cersei kalah telak dan terpojok melalui perkataannya maupun manuver dari Tyrion yang berani dan tidak terduga. Contohnya ketika Cersei mengira dia telah menahan pelacur kesayangan Tyrion:

He pushed himself to his feet. “Keep her then, but keep her safe. If these animals think they can use her . . . well, sweet sister, let me point out that a scale tips two ways.” His tone was calm, flat, uncaring; he’d reached for his father’s voice, and found it. “Whatever happens to her happens to Tommen as well, and that includes the beatings and rapes.” If she thinks me such a monster, I’ll play the part for her. … “I have never liked you, Cersei, but you were my own sister, so I never did you harm. You’ve ended that. I will hurt you for this. I don’t know how yet, but give me time. A day will come when you think yourself safe and happy, and suddenly your joy will turn to ashes in your mouth, and you’ll know the debt is paid.”

You see, cara Tyrion membela dirinya sendiri dengan segala kekurangannya membuat saya sangat menghormati dia.

Di buku kedua dari seri A Song of Ice and Fire ini kita bisa merasakan tokoh-tokoh pentingnya berkembang. Bran sudah mulai bisa menerima takdirnya menjadi cacat, Arya menjadi semakin tough dan pemberani karena hidup di jalanan mendidiknya demikian (dia bertemu dengan Jaqen H’ghar di buku ini), Sansa semakin pandai memainkan perannya untuk bisa bertahan hidup, sementara Catelyn berubah menjadi sedikit melunak. Oh iya, di buku ini juga kita diperkenalkan dengan sedikit ilmu sihir.

Ini yang saya suka dari Martin. Dia dengan caranya membangun karakter-karakter tersebut secara perlahan dan membuat mereka memiliki suaranya sendiri, tanpa bercampur baur. Seandainya itu berarti harus membuat Martin kejam agar emosi dari tokoh-tokohnya keluar, so be it. Martin tidak akan segan-segan untuk mematikan maupun membuat tokohnya menderita. Untuk itu, sepertinya memang nyaris seribu halaman dibutuhkan agar kita dapat memahami setiap tokoh.

Akibatnya, terasa di awal-awal cerita berjalan lambat. Membangun plot cerita dan tokoh yang kompleks memang perlu waktu. Pelan-pelan kita bisa mengikuti ritmenya. Lama-kelamaan jalan cerita semakin cepat dan kita terus dibawa ke puncak konflik entah sampai kapan, yang kalau boleh saya simpulkan ibarat kurva parabola, kurva konflik baru sedikit melandai di bab terakhir.

Saya memberikan nilai 5 ⭐ untuk A Clash of Kings karena buat saya ceritanya lebih seru dan, surprisesurprise, saya sudah mulai bisa lepas dari godaan untuk membanding-bandingkannya dengan di serial televisinya. Maksud saya, cerita di serial tv-nya memang masih dalam satu koridor dengan cerita di novel, hanya ada sedikit perubahan, tetapi saya bisa menikmatinya secara terpisah.

3 tanggapan untuk “#80 – A Clash of Kings”

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: