#81 – A Storm of Swords

Judul: A Storm of Swords (A Song of Ice and Fire #3)
Penulis: George R. R. Martin
Penerbit: Bantam Spectra
Halaman: 973
Rating: 5 dari 5 ⭐ – it was amazing

Setelah buku kedua, A Clash of Kings, yang diakhiri dengan Winterfell yang hangus dibakar; Bran beserta Hodor, Jojen, dan Meera harus berpisah dengan Rickon dan Osha. Mereka menuju dua tempat yang berbeda. Bran dan rombongan akan mencari The Third-Eye Raven, sementara Rickon dan Osha barangkali ke White Harbor, The Umbers, atau entah ke mana, yang terpenting adalah Bran dan Rickon jangan jalan bersama.

Buku ketiga dari seri A Song of Ice and Fire ini dimulai dengan pelarian Jaime Lannister. Dia dibebaskan oleh Catelyn Stark dengan syarat Sansa dan Arya harus dikembalikan ke ibunya. Untuk menjamin keselamatan Jaime dan supaya Lannister tidak ingkar janji, Catelyn mengutus Brienne of Tarth. Jaime harus tiba di King’s Landing dengan selamat.

Catelyn harus membayar mahal perbuatannya tersebut. Salah satu bannerman Stark yang setia, melepaskan diri dari Stark. Robb mulai kehilangan kekuatan pasukannya. Dia memang mungkin memenangkan semua pertarungannya, tetapi sebenarnya Robb mulai kalah. Buat apa dia bisa memenangi semua pertempurannya, tetapi harus kehilangan adik-adiknya dan Winterfell? Nantinya Robb bakal benar-benar kalah setelah dia tidak menepati janjinya untuk menikahi salah satu putri Lord Walder Frey. Bersiap-siaplah kalian nanti di bagian Red Wedding.

Sementara itu, Stannis Baratheon harus menelan pil pahit, yaitu kekalahan telak di pertempuran Blackwater. Namun, kekalahan tersebut tidak membuatnya menyerah. Berkat bujuk rayu Melisandre of Asshai — pendeta dari R’hllor, God of Light — Stannis masih berambisi ingin duduk di Iron Throne. Bahkan, dia sudah terpikir untuk rela mengorbankan nyawa anak haram kakaknya sendiri demi merebut tahta hanya karena Melisandre memintanya demikian.

Lannister masih menguasai King’s Landing. Joffrey memang menjadi raja, tetapi tentu saja dia masih disetir oleh kakeknya dan ibunya. Tyrion dan Cersei tentu masih adu urat. Kedua kakak beradik itu tidak pernah akur. Bahkan di sini, Cersei menuntut kepala Tyrion untuk dipenggal karena dia dituduh meracuni Joffrey.

Ketika semua raja-raja di Selatan sibuk berperang merebut kekuasaan, ada satu ancaman di Utara yang diabaikan. Ancaman dari wildlings alias manusia liar dan dari mayat hidup.

Saya tergoda sekali ingin menceritakan semua isi A Storm of Swords karena plotnya sangat seru, tetapi saya tahu itu bukanlah ide yang bagus. Namun, ada beberapa hal yang tidak boleh saya lupakan untuk dibahas di resensi kali ini.

Pertama, dengan Martin menambahkan sudut pandang Jaime saya tidak bisa untuk tidak bersimpati dengan dia. Jaime tidak sejahat yang saya (atau kita) kira selama ini. Ada suatu masa ketika dia berada di depan Brienne dia menjadi rapuh dan menceritakan alasan kenapa dia membunuh Raja Aerys, The Mad King. Aerys meminta Jaime untuk membakar King’s Landing. Namun, ketika Jaime menolak, Aerys malah meminta Jaime untuk membawa kepala Tywin, yang notabene adalah ayahnya.

Di buku ini, karakter Jaime berkembang. Dia diberi kesempatan oleh Martin untuk bersinar agar memperoleh simpati dari kita semua. Awalnya dia memang menjengkelkan. Apalagi gayanya yang sombong sekali ketika bersama Brienne. Namun, setelah mereka melalui perjalanan bersama-sama, Jaime jadi berubah menghargai Brienne dan bahkan menyelamatkannya ketika nyawa Brienne terancam. Dan setelah Jaime terpaksa kehilangan tangan kanannya, dia menjadi sosok yang sama sekali berubah. Kesalahan Jaime barangkali hanya ketika dia mendorong jatuh Bran dari menara dan cinta terlarangnya dengan Cersei. Tapi, yah, dia dan Cersei sama-sama dewasa. Mereka bebas mau jatuh cinta atau tidak. Mungkin saja saya tidak rela Jaime harus cinta mati dengan Cersei.

Di buku satu dan dua tentu saja Jaime bukan karakter favorit saya. Namun, setelah membaca buku ini, Jaime saya masukkan ke dalam karakter favorit.

Kedua, di sini Tyrion semakin menunjukkan sisinya yang rapuh. Dia memang berhasil menang di Pertempuran Blackwater. Pertempuran itu membuat mukanya yang sudah jelek semakin jelek. Namun, bukannya mendapatkan penghargaan, dia dicopot dari jabatan Hand dan menjadi semacam menteri keuangan. Tywin tidak pernah mengakui keberhasilan Tyrion. Bahkan, dia tidak mau mengakui Tyrion sebagai anaknya.

Ketika dia menikah dengan Sansa, kita bisa melihat betapa sebenarnya Tyrion ingin dicintai oleh istrinya sendiri. Sayangnya Sansa begitu kaku dan dingin, bahkan dia selalu tampak takut jika melihat wajah Tyrion. Sebagai seorang suami, sebenarnya Tyrion bisa memaksa Sansa untuk melayaninya, tetapi Tyrion tidak mau. Tyrion ingin Sansa dengan sendirinya, penuh kesadaran, memang ingin melayani Tyrion dengan perasaan sayang dan peduli. Dan itu membuat saya semakin menghormati Tyrion.

“On my honor as a Lannister,” the Imp said, “I will not touch you until you want me to.”

Dan ketika Sansa bilang seandainya kalau Sansa tidak akan pernah mau, bagaimana? Saya bisa merasakan hati Tyrion yang hancur ketika dia menjawab:

“Why,” he said, “that is why the gods made whores for imps like me.” He closed his short blunt fingers into a fist, and climbed down off the bed.

Sisi rapuhnya yang lain ditunjukkan ketika dia dituduh di membunuh Joffrey. Di persidangannya dia bilang:

“Of Joffrey’s death I am innocent. I am guilty of a more monstrous crime. I was born. I lived. I am guilty of being a dwarf, I confess it. And no matter how many times my good father forgave me, I have persisted in my infamy.”

Semakin menyedihkan ketika dia tahu Shae, pelacur kesayangannya, justru bersaksi memberatkan dia. Dia semakin merasa tersakiti ketika dia melihat sendiri Shae ternyata tidur di kamar ayahnya. So he killed them both. Ini menunjukkan bahwa semua manusia memiliki kemampuan untuk berbuat jahat, termasuk Tyrion yang ternyata mampu membunuh.

Ketiga, jika di buku satu dan dua saya merasakan Jon tidak terlalu banyak perannya, di sini Jon mulai lebih dikasih peran. Jon ikut serta ekspedisi ke luar dari Wall dan dia diberi tugas oleh Qhorin Halfhand untuk menyusup ke dalam kelompok wildlings. Jon harus mengenal mereka, mengikuti cara hidup mereka, untuk mencari tahu apa rencana mereka. Di sinilah dia dekat dengan Ygritte dan jatuh cinta untuk pertama kalinya. Saya jadi bisa lebih mengenal Jon. Dari perang melawan wildlings, well, ternyata Jon punya bakat pemimpin.

Keempat, ada hal-hal yang bikin saya sebal juga. Saya suka dengan Arya, tetapi di sini perasaan saya bercampur antara suka, tapi ya kesal juga dengan sikap Arya yang terlalu keras kepala dan sok pintar. Saya masih sebal dengan Sansa dan belum bisa untuk menyukai dia. Dia masih terlalu cari aman dan lugu, tapi dia jahat ke Tyrion. Padahal Tyrion sudah berusaha meluluhkan hati Sansa, tetapi Sansa tidak bergeming. Dia masih berangan-angan dijodohkan dengan Wilas Tyrell.

Kelima, saya sudah tidak sabar untuk terus mengikuti kisah perjalanan Bran ke Utara. Di sini sudah mulai terasa aura mistisnya. Apalagi ketika untuk pertama kalinya kita diperkenalkan dengan Night’s King lewat Bran. Saya merinding sewaktu Bran mengenang cerita Old Nan.

He had been the thirteenth man to lead the Night’s Watch, she said; a warrior who knew no fear. “And that was the fault in him,” she would add, “for all men must know fear.” A woman was his downfall; a woman glimpsed from atop the Wall, with skin as white as the moon and eyes like blue stars. Fearing nothing, he chased her and caught her and loved her, though her skin was cold as ice, and when he gave his seed to her he gave his soul as well.

Dan kalian mau tahu Night’s King ini sebenarnya siapa? Old Nan bilang dia bukan dari keluarga Bolton, Magnar out of Skagos, Umber, Flint, atau Norrey. Bukan pula seorang Woodfoot. Lalu, siapa?

“He was a Stark, the brother of the man who brought him down. He was a Stark of Winterfell, and who can say?”

Keenam, kalau ada satu bagian yang bisa saya ubah, saya akan mengubah ketika Jaime bertanya ke Tyrion apakah benar dia membunuh Joffrey dan Tyrion bilang, “Yes, I killed your vile son.” Saya ingin sekali mengubah bagian tersebut.

Jaime turned without a word and walked away. Tyrion watched him go, striding on his long strong legs, and part of him wanted to call out, to tell him that it wasn’t true, to beg for his forgiveness. “Jaime! I didn’t kill Joffrey. I swear to the old gods and the new.”

Bagian yang saya tebalkan adalah bagian yang saya tambahkan karena di ceritanya Tyrion membiarkan Jaime pergi tanpa tahu kebenarannya bahwa Tyrion tidak membunuh Joffrey. Ah, tetapi semoga saja di buku berikutnya Jaime tahu siapa pembunuh Joffrey sebenarnya.

Saya ingin mengubah bagian tersebut karena buat saya bagian tersebut sangat sentimentil. Barangkali hubungan Jaime dan Tyrion digambarkan paling dekat, selayaknya kakak-adik yang dekat, yang paling vulnerable, ada di bagian itu.

A Storm of Swords mulai berbeda ceritanya dengan di serial televisi. Saya tidak akan membocorkan bagian mana saja yang berbeda. Lebih baik kalian baca sendiri saja ya. Saya jamin bukunya bagus dan seru banget.

2 tanggapan untuk “#81 – A Storm of Swords”

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: