Judul: Good Natured: The Origins of Right and Wrong in Humans and Other Animals
Penulis: Frans de Waal
Penerbit: Harvard University Press (cetakan VII, 2003)
Halaman: 368
ISBN: 0-674-35661-6
Rating: 5 dari 5 ⭐ – it was amazing
Pernahkah kalian bertanya-tanya dari mana asal-muasal moral? Apakah hanya manusia yang memiliki simpati dan empati? Apakah hewan-hewan lain tidak memilikinya? Jika hewan lain tidak memilikinya, lalu kenapa hewan seperti simpanse bisa sedih jika ada temannya yang mati? Kenapa mereka juga mau berbagi makanan dengan gerombolan kawanan mereka? Nah, de Waal mencoba menjelaskannya melalui buku ini.
Dengan pengalamannya yang sudah puluhan tahun sebagai primatolog dan etolog — yang pekerjaannya sudah pasti mengamati perilaku hewan — de Waal menyajikan bukti-bukti bahwa perilaku moral juga bisa diamati di hewan, tidak hanya primata, tetapi juga anjing, gajah, lumba-lumba, dan lainnya. Intinya adalah bahwasanya moralitas itu universal di animal kingdom.
Jadi, jika kita berpikir bahwa agama, budaya, atau hukum mengatur moral kita, tidak ada salahnya untuk berpikir ulang. Kita adalah manusia modern merupakan produk evolusi. Otak kita berkembang dari yang berpikir sederhana hingga bisa berpikir kompleks dan abstrak, seperti yang de Waal bilang:
The human brain is a product of evolution. Despite its larger volume and greater complexity, it is fundamentally similar to the central nervous system of other mammals.
Seperti yang sudah saya tulis di atas, hewan-hewan lain juga bisa dikatakan memiliki moral, meskipun terbatas pada sangat dasar dan sederhana, tetapi hanya manusia lah yang dapat mengartikulasikannya dan menerapkannya dengan lebih baik.
Mari kita merangkum babnya satu per satu.
Prologue
De Waal membuka prolog dengan membahas Thomas Henry Huxley. Menurut Huxley, nature itu kejam dan cuek. Dia menggambarkan moralitas itu seperti pedang yang ditempa oleh Homo sapiens untuk membunuh naga. Naga di sini diperumpamakan sebagai sifat kasar hominid. Huxley melihat moralitas itu sebagai antitesis dari sifat asli manusia.
George Williams, seorang evolutionary biologist bilang:
“I account for morality as an accidental capability produced, in its boundless stupidity, by a biological process that is normally opposed to the expression of such a capability.”
Maksudnya, dalam pandangan ini adalah human kindness itu tidak termasuk skema besar dari alam. Antara ia merupakan produk budaya sebagai perlawanan atau sebuah kesalahan dari Alam. Saya melihatnya pandangan ini menganggap moralitas semacam “faktor kecelakaan”. Menurut pandangan ini moralitas itu bukan faktor innate atau terberi, bahwa sesungguhnya manusia itu aslinya kejam dan tidak bermoral. Sungguh sebuah pandangan yang sangat pesimistis, bukan?
Bab 1: Darwinian Dillemas
Terkait evolusi kita selalu mendengar frasa survival of the fittest. Frasa tersebut pertama kali dicetuskan oleh Herbert Spencer sebagai istilah teknis dari natural selection atau seleksi alam yang disampaikan oleh Charles Darwin dalam teori evolusinya. Maksudnya adalah hanya yang bisa beradaptasi dengan alam yang bisa bertahan dan meneruskan gennya ke generasi berikutnya. Jika suatu organisme tidak dapat beradaptasi, maka dia akan punah.
Benarkah demikian?
De Waal menulis sebuah terminologi lain, yaitu survival of the unfittest. Dia memberi contoh macaque di Jigokudani Park, Jepang. Namanya Mozu dan dia cacat, tetapi dia bisa bertahan hidup dan dia masih menjadi bagian dari kawanan macaque di sana. De Waal juga memberi contoh-contoh lain di mana apes yang terlahir cacat, tetapi mereka tidak dikucilkan oleh kawanannya malah mereka dijaga dan diperhatikan.
Kemudian, ada nama-nama seperti Shanidar I, Romito 2, the Windover Boy, dan the Old Man of La Chapelle-Aux-Saints. Mereka ini adalah nama-nama dari fosil manusia purba yang cacat dan seharusnya dianggap memberatkan kelompok, tetapi mereka tetap dirawat. Ini merupakan contoh pertama dari sudut evolusi bahwa di jaman manusia purba dulu mereka sudah mengenal compassion dan moral decency.
Saya jadi teringat sebuah video terkait yang sudah saya tonton sebelumnya di kanal PBS Eons di YouTube.
Contoh dari de Waal dan video dari PBS Eons tersebut bertentangan dengan selama ini yang saya ketahui. Setahu saya jika di dalam sebuah kawanan (manusia atau hewan) ada individu atau seekor binatang yang dianggap menyusahkan, misalnya sakit atau cacat, maka mereka akan ditinggalkan begitu saja untuk mati sendirian. Well, another new thing has been learnt.
Namun, ada pandangan kontra dari K. A. Dettwyler, seorang antropolog. Menurutnya, ada kemungkinan kawanan manusia purba tersebut tinggal di lingkungan yang kaya akan sumber daya alam, sehingga satu atau dua orang yang cacat tidak akan terlalu menimbulkan masalah. Sebagai gantinya, individu yang cacat ini akan melakukan kegiatan lain untuk berkontribusi, seperti mengumpulkan kayu bakar, menjaga bayi, atau memasak.
Menurut psikolog anak, moral reasoning itu dikonstruksi dari pondasi sederhana, yaitu takut akan hukuman dan keinginan untuk conform. Secara umum, perkembangan moral manusia bergerak dari sosial ke personal, dari kepedulian posisi di mana seseorang berdiri di dalam kelompok untuk kemudian ke kesadaran otonom.
Kropotkin, dalam bukunya Mutual Aid, berargumen hewan harus bekerja sama jika ingin selamat dan bertahan hidup. Makanya di animal kingdom kerja sama itu penting.
Tidak cuma kerja sama, di dalam animal kingdom juga ada altruisme. Altruisme bukan produk monopoli manusia. Jadi, kalian sebagai manusia tidak usah GR. De Waal memberi contoh seekor burung yang memperingatkan kawanannya bahwa ada predator yang siap memangsa dan itu berarti dia harus siap-siap dimangsa karena berarti si predator menyadari keberadaan si burung. Serangga yang mencari makan untuk diserahkan ke ratunya atau mengorbankan diri mereka sendiri untuk mempertahankan koloni mereka.
Loh, altruisme kan membahayakan nyawa sendiri? Bagaimana mau bisa meneruskan gen ke keturunan berikutnya dong kalau kitanya tewas? Jawabannya begini:
1. Kin selection. Perilaku altruisme biasanya didahulukan untuk menolong yang masih berhubungan darah dengan individu tersebut karena itu berarti meningkatkan kemungkinan untuk bertahan hidup dan meneruskan keturunan.
2. Reciprocal altruism. Menolong individu lain yang tidak berhubungan darah dengan kita dengan harapan di masa yang akan datang si penerima bantuan akan membalas pertolongan kita.
Dari jawaban di atas kesimpulannya adalah semua perilaku individu itu egois. Titik.
Reciprocal altruism memiliki tiga karakteristik:
1. The exchanged acts, while beneficial to the recipient, are costly to the performer.
2. There is a time lag between giving and receiving.
3. Giving is contingent on receiving.
Dan, biasanya, ketika pertama kali melakukan tindakan altruisme itu individu tersebut semacam berjudi karena dia tidak tahu di masa depan apakah individu yang ditolongnya itu akan membalas kebaikannya atau tidak.
Reciprocal altruism berbeda dengan bekerja sama. Dalam kerja sama penuh dengan risiko, sangat bergantung pada kepercayaan, dan membutuhkan individu-individu yang berkontribusi karena jika tidak berkontribusi maka akan hancur.
Ketika sudah berada dalam sebuah komunitas ada yang namanya community concern, yaitu:
Inasmuch as every member benefits from a unified, cooperative group, one expects them to care about the society they live in and make an effort to improve and strengthen it.
Konflik itu memang pasti terjadi dan perlu terjadi, tetapi kalau konflik terus-terusan, apalagi konflik terjadi di level atas, bisa merugikan kepentingan semua pihak. Makanya perlu menjaga perdamaian dan ketenangan. Community concern merepresentasikan langkah pertama ke sistem human morality yang menandakan bahwa kepentingan komunitas di atas kepentingan pribadi.
Perbedaan antara benar dan salah dibuat oleh masyarakat. Moral reasoning is done by us, not by natural selection.
De Waal menutup bab satu dengan:
Evolution has produced the requisites for morality: a tendency to develop social norms and enforce them, the capacities of empathy and sympathy, mutual aid and a sense of fairness, the mechanisms of conflict resolution, and so on. Evolution also has produced the unalterable needs and desires of our species: the need of the young for care, a desire for high status, the need to belong to a group, and so forth.
Bab 2: Sympathy
Succorant behavior adalah perilaku menolong, pengasuhan, peduli, atau menghibur individu yang sedang stres, menderita, terluka, atau dalam bahaya, kepada individu yang tidak memiliki hubungan darah dengan individu tersebut. Misalnya, seekor anjing yang menghibur pemiliknya yang sedang bersedih.
Menurut Lauren Wispe objek empati adalah pemahaman, sementara objek dari simpati adalah kesejahteraan orang lain (other person’s well-being). Pada hewan, perilaku succorant itu ekuivalen dengan simpati pada manusia. Perilaku succorant ini biasanya ditemukan pada spesies yang mengenal strong attachment, misal anjing dan simpanse.
Elemen-elemen penting dalam perilaku caring adalah attachment, emotional identification, dan innate responses, dikombinasikan dengan kemampuan belajar yang kuat. Misalnya, de Waal memiliki attachment yang kuat dengan salah satu simpansenya. Jarinya terluka dan dia merasakan kesakitan. Simpanse yang melihatnya mengenali emosi de Waal yang kesakitan (emotional identification). Kemudian, dia menjilati jari de Waal yang terluka (innate response).
Bab 3: Rank and Order
Hanya hewan dan manusia yang memiliki prescriptive rules, yaitu aturan berdasarkan reward dan punishment. Menurut Lawrence Kohlberg tahapan pada perkembangan moral manusia dimulai dari rasa patuh dan keinginan untuk terhindar dari masalah, lalu kemudian diikuti dengan keinginan untuk mendapatkan approval dan untuk menyenangkan orang lain.
Kekuasaan itu candu. Ketika individu memiliki kekuasaan dia bisa memiliki kebebasan untuk melakukan apa saja, tetapi kekuasaan tersebut juga membawa kesombongan, gampang mood swings, dan kekhawatiran terus-menerus akan berapa lama dia bisa menikmati kekuasaannya. Kekuasaan itu bukan atribusi individu, dia merupakan sebuah relasi. Dari setiap orang yang berkuasa akan ada orang-orang lain yang mendukung superioritasnya, feeding that ego. Hasrat ingin menguasai orang lain itu sudah ada sejak dahulu kala, timeless, dan universal. Dia adalah bagian dari warisan biologis kita.
Meski apes, seperti simpanse, memiliki sistem ranking, order, dan aturan sendiri, tetapi hanya manusia yang bisa memiliki semuanya itu secara lengkap dan sempurna. Kita bisa membuat sanksi ringan hingga berat. Misalnya, hukum dan agama. Simpanse tidak punya itu.
Bab 4: Quid Pro Quo
Dalam perilaku altruistik dilakukan analisis cost-benefit. Dilakukan jika memang memberikan keuntungan, jikapun tidak segera mendapatkan balasan, paling tidak di masa depan bisa mendapatkan balasannya. Ataupun jika tidak untuk diri sendiri, manfaatnya bisa dirasakan untuk keturunannya.
From a genetic perspective, helping kin is helping oneself.
Di bab empat ini membahas tentang berbagi makanan pada apes:
In a straightforward rank order, in which dominants take food from subordinates, the food flow is unidirectional. In a sharing system, food flows in all directions, including downward. The result is the relatively equitable distribution of resources that our sense of justice and fairness requires.
Makanan yang dibagi biasanya memiliki traits sebagai berikut:
1. Highly valued, concentrated, but prone to decay.
2. Too much for a single individual to consume.
3. Unpredictably available.
4. Procured through skills and strengths that make certain classes of individuals dependent on others for access.
5. Most effectively procured through collaboration.
Bab 5: Getting Along
Di bab lima membahas tentang konflik dan resolusi konfliknya, baik di simpanse, monyet, macaques, dan lain-lain. Manfaat utama dari hidup berkelompok adalah bisa saling mengawasi jika ada predator. Semakin banyak ancaman predator, maka akan semakin banyak anggota monyet dalam kelompok. Sebaliknya, jika tidak ada ancaman dari predator, maka anggota kelompoknya maka akan semakin sedikit.
Contoh berdamai di primata:
Golden monkeys do it with mutual hand-holding, chimpanzees with a kiss on the mouth, bonobos with sex, and tonkeana macaques with clasping and lipsmacking.
Banyak contoh lainnya, tapi saya sudah malas mencatat. Ha, ha.
Bab 6: Conclusion
Jadi, pertanyaan apakah hewan memiliki moralitas, sama seperti pertanyaan apakah mereka memiliki budaya, politik, atau bahasa. Kalau menggunakan tolok ukur manusia, ya tentu saja mereka tidak punya. Tetapi, jika kita pecah menjadi komponen-komponen kecil, maka sebenarnya ternyata mereka punya kok. Contohnya:
1. Budaya
Satu komunitas simpanse bisa memiliki cara hidup yang berbeda dengan komunitas simpanse yang lain. Misalnya, di satu kawanan simpanse dewasa memecah kacang dengan batu, di kawanan lain cara seperti ini tidak ada.
2. Bahasa
Apes bisa diajari bahasa isyarat (American Sign Language) dan simbol komputer.
3. Politik
Simpanse itu berpolitik juga lho. Saya pernah menulis tentang intrik politik Yeroen, Nikkie, dan Luit di sini.
Saya akan menutup bab enam ini dengan mengutip sebuah penutup yang menohok dari de Waal:
We seem to be reaching a point at which science can wrest morality from the hands of philosophers. That this is already happening—albeit largely at a theoretical level—is evident from recent books by, among others, Richard Alexander, Robert Frank, James Q. Wilson, and Robert Wright. The occasional disagreements within this budding field are far outweighed by the shared belief that evolution needs to be part of any satisfactory explanation of morality.
Jadi, urusan moralitas ini sekarang bukan cuma ranah di filsafat saja, tetapi juga sudah masuk ranah sains. Buat yang belajar filsafat, mohon maaf ya kalian jangan tersinggung. Hihi.
Akhirul kalam, kesimpulan yang saya dapatkan setelah membaca Good Natured adalah tidak usah sombong jadi manusia karena perilaku kita itu juga ditemukan di hewan-hewan lain. Mwahahahaha.