#85 – A Dance with Dragons

Judul: A Dance with Dragons (A Song of Ice and Fire #5)
Penulis: George R. R. Martin
Penerbit: Bantam Books
Halaman: 1125
eISBN: 978-0-553-90565-6
Rating: 5 dari 5 ⭐ – it was amazing

Setelah cukup kecewa dengan A Feast for Crows, kekecewaan itu terobati dengan A Dance with Dragons. Tokoh kesayangan kita semua — Tyrion Lannister, tentu saja — bersama dengan tokoh-tokoh utama lainnya, seperti Jon Snow dan Daenerys, datang kembali. Kehadiran mereka dengan cerita yang terus berkembang membuat buku ini semakin menarik.

Kita juga bertemu kembali dengan Theon Greyjoy, setelah di dua buku sebelumnya tidak ada dia sama sekali. Di sini dia menjadi Reek, yang sudah disiksa habis-habisan oleh Ramsay Bolton.

Jika di buku sebelumnya cerita berfokus di tiga tempat, yaitu King’s Landing, Dorne, dan The Iron Lands, maka di sini fokus ceritanya berpindah ke Wall, Winterfell, dan Meereen, meski sesekali tetap ke Braavos dan King’s Landing.

1. The Wall

Berkat plot yang dilakukan Sam, Jon Snow menjadi Commander Night’s Watch. Banyak keputusan kontroversial yang diambil, seperti mengizinkan wildlings masuk ke Wall dan memberi mereka makan juga tempat tinggal. Hal tersebut belum pernah terjadi sebelumnya. Meski terjadi penolakan dari black brothers lainnya, Jon Snow tidak bergeming. Dia tetap bersikukuh pada keputusannya. Menurutnya, musuh sebenarnya adalah The Others alias white walkers, bukan wildlingsWildlings juga manusia yang harus dilindungi. Tidak heran Jon Snow memiliki banyak musuh dan itu tidak disadarinya. Nyawanya terancam, seperti yang sudah diperingatkan berkali-kali oleh Melisandre.

Lebih jauh ke utara, kita akan mengikuti perjalanan Bran menuju three-eyed-crow atau The Greenseer. Perjalanan mereka dikawal Coldhands, seorang ranger misterius. Wajahnya pucat, tetapi tangannya hitam dan keras seperti besi, juga dingin. Dia selalu menutupi bagian bawah wajahnya dengan syal. Tidak ada yang tahu siapa Coldhands ini sebenarnya, tetapi saya curiga dia adalah Benjen Stark.

Perjalanan mereka menuju The Greenseer terakhir tidaklah mudah. Hodor yang memiliki badan besar dan tenaga kuat saja sudah mulai melemah. Jojen juga melemah. Bran iba melihat Jojen, “He looks so small. He looks smaller than me now, and weaker too, and I’m the cripple.” Dengan susah payah akhirnya mereka tiba juga di tempat The Greenseer. Dipandu oleh The Greenseer, Bran memulai latihannya untuk bisa terbang.

2. Winterfell

Jeyne Poole didandani untuk menyamar menjadi Arya Stark dan dia dinikahkan dengan Ramsay Bolton, orang yang luar biasa gila kejamnya. Sepertinya, dari semua tokoh jahat yang pernah saya kenal, Ramsay Bolton ini paling juara dalam perihal kekejaman. Karena deskripsi yang begitu detil dan terasa nyata, saya bisa membayangkan ketakutan Theon. Setiap Theon bernarasi, saya menghitung jari-jari tangan dan kaki saya sendiri. Masih lengkap. Tidak seperti Theon yang harus kehilangan tujuh jarinya — tangan dan kaki — yang membuatnya limbung jika berjalan. Theon juga kehilangan giginya dan dia seperti kakek-kakek tua. Siksaan yang harus dialaminya sangat menimbulkan pengalaman traumatis buat Theon.

Pernikahan antara “Arya” dan Ramsay diadakan di Winterfell. House Bolton bersama dengan beberapa House lainnya sengaja mengadakan pernikahan di sana sekaligus menunggu kedatangan Stannis Baratheon yang nekad datang dari Deepwood Motte. Stannis — self-proclaimed Raja — sengaja ingin merebut Winterfell agar mendapatkan dukungan dari Northmen demi mengukuhkan tahtanya dan merebut Iron Throne.

Namun, marching dari Deepwood Motte ke Winterfell tidaklah mudah. Musuh mereka adalah salju dingin yang ekstrem. Berangkat dari Deepwood Motte dengan semangat membara, di tengah-tengah perjalanan mereka sudah mulai ragu dan kondisi fisik semakin melemah.

Lalu, Arya Stark yang asli di mana? Masih di Braavos menimba ilmu di kuil House of Black and White. Dia belajar banyak hal di sana. Dan sedikit demi sedikit mulai mendapatkan kepercayaan dari The Kindly Man.

3. Meereen

Daenerys mulai kelimpungan menjadi ratu di Meereen. Keputusannya untuk membebaskan perbudakan menciptakan musuh yang tidak sedikit. Para masters dan pedagang budak merasa terganggu bisnisnya.

Kekacauan mulai terjadi di Meereen. Banyak terjadi pembunuhan. Meereen juga harus bersiap-siap akan diserang oleh Yunkai. Daenerys butuh Hand yang dapat diandalkan. Ia tidak dapat mempercayai para penasihatnya sepenuhnya. Oleh karena itulah, Tyrion berusaha datang menuju Meereen dan menemui Daenerys. Dia ingin menawarkan otaknya yang cerdas.

Perjalanan Tyrion menuju Daenerys tidak mudah. Bukan George R. R. Martin namanya kalau membuat segala sesuatunya begitu gampang. Tadinya dia akan datang ke sana bersama — jreng jreng — Prince Aegon, alias anaknya Rhaegar. Ternyata Aegon masih hidup! Tetapi, seperti biasa, aral dan rintangan menyulitkan niat Tyrion. Dia bahkan sempat menjadi budak. Bisa dibayangkan seorang highborn, seorang Lannister, menjadi seorang budak?

Sementara itu di King’s Landing, Cersei Lannister menjalani hukuman yang saya sebut dengan walk of shame. Dia harus menebus kesalahan yang dituduhkan kepadanya, yaitu perzinaan, pembunuhan raja, dan inses. Hukumannya adalah berjalan dalam keadaan telanjang dari kuil menuju istananya.

Menurut saya, A Dance with Dragons adalah yang terbaik sejauh ini dari seri A Song of Ice and Fire. Ceritanya semakin seru dengan tokoh-tokoh yang berkembang pesat. Jon Snow berubah total sejak menjadi Commander. Dia menuruti nasihat Maester Aemon, “Kill the boy and let the man be born.” Jon Snow menjadi tegas dan berani mengambil keputusan yang tidak populer selama itu dirasanya benar. Bagian favorit saya ketika dia memberikan perintah ke Janos Slynt, tetapi Slynt membangkang.

“You are refusing to obey my order?”
“You can stick your order up your bastard’s arse,” said Slynt, his jowls quivering.
“As you will.” Jon nodded to Iron Emmett. “Please take Lord Janos to the Wall and hang him,” Jon finished.

Tapi, Slynt tidak jadi digantung kok, melainkan dipenggal oleh Jon Snow sendiri. Ah, saya mulai jatuh hati dengan dia.

Sementara itu, pergulatan hati Daenerys juga menarik untuk disimak. Bukan, bukan soal urusan hatinya yang tertambat ke seorang pria. Yah, biar bagaimanapun dia masih muda dan tetap butuh kehangatan. Tetapi, bukan itu yang menarik. Buat saya, kebingungan dia menjadi seorang ratu dan memimpin sebuah kerajaan itulah yang menarik. Dia merasa dia telah melakukan kebaikan dengan membebaskan satu negara (atau kerajaan, or whatever you wanna call it) dari perbudakan, lalu meninggalkannya begitu saja dan ternyata keputusannya itu malah balik menyerangnya. Negara itu jadi porak-poranda, lawless, dan timbul kekacauan. Itulah yang membuatnya bertahan di Meereen, sebelum ke Westeros. Karena dia tidak mau membuat kesalahan yang sama.

Namun, ternyata menjadi ratu itu tidak gampang. Ada satu kegundahan hati Daenerys yang membuat saya terenyuh.

“I was tired, Jorah. I was weary of war. I wanted to rest, to laugh, to plant trees and see them grow. I am only a young girl.”

Seperti yang sudah saya bilang sebelumnya, biar bagaimanapun Daenerys masih muda. Masih enam belas tahun, tapi sudah dipaksa untuk menjadi dewasa. Tapi, tenang. Meski saya terenyuh, Daenerys tetap bukan tokoh favorit saya. Setidaknya sampai saat ini.

Oh iya, bagian favorit saya yang lain adalah ketika Tyrion memberikan nasihat ke Prince Aegon. Nasihatnya panjang lebar, tetapi saya singkat saja. Dia bilang daripada capek-capek Prince Aegon ke Daenerys dan memintanya untuk menikah dengan dia, kenapa bukannya Prince Aegon membangun tentara sendiri dan menyerang King’s Landing karena King’s Landing sedang tidak dalam kondisi terbaik. Ketika Daenerys mendengar anak kakaknya ternyata masih hidup pasti Daenerys akan datang membawa bala bantuan.

Kutipan favorit saya dari buku ini adalah dari Jojen, yaitu:

“A reader lives a thousand lives before he dies. The man who never reads lives only one.”

Jadi, ayo banyak membaca. Mari kita turuti nasihat Jojen.

A Dance with Dragons sudah sangat berbeda dengan di serial televisinya. Saya tidak akan membahas satu per satu karena akan sangat panjang, tetapi satu yang paling mencolok adalah wanita yang menikah dengan Ramsay Bolton. Saya bernapas lega begitu tahu di bukunya bahwa bukan Sansa yang menjadi istri Ramsay. Bukan berarti saya senang juga Jeyne Poole disiksa. Maksud saya, sebagai seseorang yang termasuk tokoh penting dalam cerita dan sudah menderita banyak, tidak tega juga rasanya kalau harus melihat Sansa menjadi istri Ramsay.

Meski A Dance with Dragons tebalnya masih lebih dari 1000 halaman dengan paragraf panjang dan detil, saya bisa membuat diri saya untuk fokus membaca novel ini, tanpa banyak melakukan skimming. Hasilnya saya menjadi sangat menikmati ceritanya dan mendaulatnya menjadi buku favorit saya. Nilai 5 dari 5 ⭐ sangat layak untuk diberikan pada A Dance with Dragons.

Saya berharap buku keenam dan ketujuh segera keluar. Sudah sembilan tahun sejak A Dance with Dragons dan belum ada tanda-tanda buku keenam akan terbit. Saya berdoa dengan sangat tulus untuk George R. R. Martin. Semoga beliau selalu sehat dan panjang umur sehingga bisa selesai menuliskan cerita A Song of Ice and Fire.

Baca juga resensi:
1. A Game of Thrones
2. A Clash of Kings
3. A Storm of Swords
4. A Feast for Crows

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: