#86 – Perempuan di Titik Nol

Judul: Perempuan di Titik Nol
Judul Asli: Women at Point Zero
Penulis: Nawal el-Saadawi
Penerjemah: Amir Sutaarga
Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia (cetakan XI, April 2014)
Halaman: xxiv + 176
ISBN13: 978-979-461-867-7
Harga: Rp32.536,- (beli di Google Play Books)
Rating: 5 dari 5 ⭐ – it was amazing

Menjadi perempuan di budaya patriarki yang masih kental itu tidak mudah. Perempuan dijadikan objek yang bisa diperlakukan semau hati. Disiksa fisik dan mental, disuruh melayani pria, tidak boleh berpendapat, tidak boleh sekolah tinggi-tinggi. Di budaya ini peran wanita hanya ada di kasur, sumur, dan dapur.

Adalah Firdaus, tokoh protagonis Perempuan di Titik Nol, seorang narapidana yang mendapat hukuman mati karena telah membunuh seorang pria. Dia menolak untuk mendapatkan pengampunan dan lebih memilih untuk mati di tiang gantungan.

El-Saadawi tertarik untuk mewawancarainya, tetapi selalu ditolak oleh Firdaus. Sampai pada akhirnya beberapa jam sebelum dia akan dijemput maut, Firdaus akhirnya mau untuk diwawancarai.

Firdaus pun mulai menuturkan kisahnya.

Hidup Firdaus selalu malang sejak kecil. Firdaus kecil harus melihat ayahnya yang menyiksa ibunya, diperdaya oleh temannya sendiri agar mau berhubungan seks, dan pamannya juga mencabulinya.

Kemudian orangtuanya meninggal. Firdaus ikut dengan pamannya ke Kairo untuk sekolah. Sejak tinggal bersama pamannya, Firdaus memaklumi semua perbuatan pamannya ke dia. Dia mulai mencintai pamannya. Cinta di sini maksudnya cinta antara laki-laki dan perempuan, bukan cinta antara keponakan dengan paman. Firdaus masih terlalu kecil, polos, dan lugu untuk menyadari bahwa ada relasi kuasa di hubungan itu. Bahwa seharusnya dia bisa sadar untuk tidak menerima perlakuan pamannya. Firdaus pikir itu adalah hal yang lumrah.

Firdaus sejak awal cerita sudah mengkritik patriarki. Dia menyindir ayahnya. Jika di rumah, ayahnya selalu menyiksa ibunya. Namun, setiap Jumat ayahnya mengenakan galabeya yang bersih, menuju masjid, dan mendengarkan khotbah Sang Imam dengan khusyuk. Bagaimana bisa pria-pria itu mendengarkan Sang Imam dengan kagum dan mengangguk-angguk setuju bahwa mencuri itu buruk, membunuh itu perbuatan jahat, dan memukul manusia lain itu juga jahat, tetapi mereka melakukan itu semua?

Firdaus juga memprotes pamannya tidak menyekolahkan dia hingga ke universitas padahal Firdaus senang belajar. Dia murid yang brilian. Ketika lulusan sekolah, dia mendapat peringkat 2 tertinggi di sekolahnya dan peringkat 7 di kotanya. Pamannya — seorang patriarki tulen — merasa jijik jika perempuan harus belajar sampai kuliah. Menurutnya, universitas itu isinya hanya untuk para pria. Dan dia lebih memilih untuk mengawinkan Firdaus dengan laki-laki tua, pelit, suka menyiksa, dan memiliki bisul yang bau di dagunya. Paman Firdaus meminta mahar yang mahal, tetapi tidak memberikannya ke Firdaus.

Firdaus kabur dari rumah suaminya. Dia bertemu dengan Bayoumi yang dia kira baik ternyata brengsek juga. Firdaus dipaksa untuk melayani Bayoumi dan teman-temannya. Dia kembali kabur. Nasibnya tidak menjadi lebih baik karena dia bertemu dengan Shafira yang ternyata adalah seorang mucikari. Kembali Firdaus terpedaya. Dengan Shafira, dia mulai menjadi pelacur.

Dia sempat berhenti menjadi pelacur dan bekerja di kantor. Di kantor dia sempat jatuh cinta untuk kemudian sakit hati. Dan dia pun kembali menjadi pelacur. Di titik ini dia sudah tahu harus menghargai dirinya sendiri. Dia menjadi pelacur berkelas. Dia bekerja sendiri tanpa mucikari sampai akhirnya datang Marzouk. Firdaus tetap ingin bekerja sendiri. Diapun mendapat ancaman dari Marzouk, tetapi Firdaus tidak gentar. Firdaus membunuh Marzouk.

Saya sepakat dengan Mochtar Lubis di Kata Pengantar-nya yang menulis Perempuan di Titik Nol ini adalah buku yang keras dan pedas. Halaman demi halaman saya sangat bisa merasakan kemarahan seorang wanita yang selalu diperlakukan tidak adil oleh pria. Letupan emosinya meledak-ledak. Penuh kebencian juga.

Buku ini memang tipis, tetapi isinya sangat padat. Meski hanya 176 halaman, tetapi dia sudah dapat menggambarkan kisah Firdaus tanpa kehilangan makna dan esensinya.

Di bawah ini adalah kutipan yang sangat menohok buat saya:

Tidak sesaatpun saya ragu-ragu mengenai integritas dan kehormatan diri sendiri sebagai wanita. Saya tahu bahwa profesi saya telah diciptakan oleh lelaki, dan bahwa lelaki menguasai dua dunia kita, yang di bumi ini dan yang di alam baka. Bahwa lelaki memaksa perempuan menjual tubuh mereka dengan harga tertentu, dan bahwa tubuh yang paling murah dibayar adalah tubuh sang isteri. Semua perempuan adalah pelacur dalam satu atau lain bentuk. Karena saya seorang yang cerdas, saya lebih menyukai menjadi seorang pelacur yang bebas daripada menjadi seorang isteri yang diperbudak. (hal. 151)

Kalian tentu saja boleh untuk tidak sepakat dengan Firdaus. Namun, mengingat pengalaman hidup Firdaus, saya bisa memahami kenapa Firdaus bisa berkata seperti itu.

Akhirul kalam, buku ini hanya dalam 176 halaman sudah mengajarkan banyak hal ke saya tentang wanita dan patriarki. Seperti kalimat pertama di tulisan ini, menjadi perempuan di budaya patriarki yang masih kental itu tidak mudah. Heck, menjadi perempuan itu sendiri pun tidak mudah.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: