Judul: A Feminist Manifesto: Kita Semua Harus Menjadi Feminis
Penulis: Chimamanda Ngozi Adichie
Penerjemah: Winda A
Penerbit: Odyssee Publishing (cetakan I, Agustus 2019)
Halaman: viii + 79
Harga: Rp45.000,-
ISBN-13: 978-0-7334-2609-4
Rating: 3 dari 5 ⭐ – liked it
A Feminist Manifesto adalah kumpulan dua esai dari Adichie. Esai yang pertama, Kita Semua Harus Menjadi Feminis, merupakan pengembangan dari kuliah yang ia sampaikan pada Desember 2012 di TedxEuston. Sementara esai yang kedua, Teruntuk Ijeawele: Manifesto Feminis dalam Lima Belas Anjuran, merupakan surat yang ditujukan kepada teman masa kecilnya yang meminta saran bagaimana membesarkan anak menjadi feminis.
Esai Pertama
Di esai yang pertama, Adichie menulis pengalaman pribadinya sebagai perempuan yang mengalami ketidakadilan. Misalnya, sewaktu Adichie kecil dia tidak menjadi pengawas kelas padahal nilainya tertinggi hanya karena dia perempuan. Juga, setiap kali Adichie ke restoran di Nigeria bersama seorang pria, para pelayan biasanya menyambut prianya dan mengabaikan Adichie.
Karena Adichie sudah dikenal sebagai feminis di negaranya, sering terdapat himbauan pada wanita agar berhati-hati dengan Adichie. Mereka dihimbau supaya tidak mendengarkan ceramah feminisnya karena nanti bisa menghancurkan pernikahan mereka. Kenapa hanya wanita yang harus diwanti-wanti terkait ancaman hancurnya pernikahan padahal pria juga memegang peranan yang penting? Adichie bilang gender penting di mana saja di dunia ini. Dia bermimpi dan merencanakan dunia yang berbeda dimulai dengan membesarkan anak perempuan dengan cara yang berbeda. Juga membesarkan anak laki-laki dengan cara berbeda.
Menurut Adichie, cara kita membesarkan anak laki-laki dengan maskulinitas adalah keliru.
Cara kita membesarkan putra-putra kita, justru sangat merugikan bagi mereka. Kita melumpuhkan kemanusiaan yang mereka miliki. Kita mendefinisikan maskulinitas dengan cara yang sangat sempit. Maskulinitas adalah kandang yang begitu keras dan sempit, dan kita menempatkan anak laki-laki kita di kandang itu. (hal. 13)
Sementara itu, kita mengajari anak gadis kita untuk menjadi “kecil”. Kita mengajarkan kepada mereka boleh mempunyai ambisi, tapi jangan terlalu tinggi. “Jangan sekolah tinggi-tinggi, jangan kelewat pintar, jangan terlalu sukses, nanti lelaki merasa terancam dengan keberadaanmu.” Karena perempuan diharapkan untuk menikah. Jika perempuan terlalu tinggi pencapaiannya, ditakutkan nanti tidak ada pria yang mau menikahi karena terintimidasi. Mengapa sejak kecil perempuan ditanamkan untuk mengutamakan pernikahan, sementara anak laki-laki tidak diajari hal yang sama?
Kita mengajari gadis-gadis kita untuk menjadi malu. Tutupi kakimu. Tutupi tubuhmu. Kita membuat mereka merasa seolah-olah dilahirkan sebagai perempuan itu sendiri sudah merupakan kesalahan. (hal. 18)
Membicarakan gender tidaklah mudah. Ada orang-orang yang sudah antipati duluan. Mereka sudah terpaku bahwa masing-masing gender sudah punya perannya dan tidak dapat diubah. Jika membicarakan gender tidak mudah, apalagi jika mendengar kata feminisme. Adichie pernah ditanya kenapa melabeli diri sebagai feminisme? Kenapa tidak bilang saja bahwa dia mengimani hak asasi manusia? Karena, menurut Adichie, itu berarti sebuah penyangkalan bahwa berabad-abad perempuan telah dianaktirikan. Bahwa telah terjadi ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan.
Bahwa masalahnya bukan soal menjadi manusia, tetapi soal menjadi manusia perempuan. Selama berabad-abad, dunia membagi manusia menjadi dua kelompok dan kemudian menganaktirikan dan menindas salah satunya. Kita harus mengakui hal itu. (hal. 24)
Oleh karena itulah mengapa kita semua harus menjadi feminis. Untuk dapat melawan ketidakadilan tersebut.
Esai Kedua
Di esai kedua ini, saya akan merangkum lima belas poin yang dianjurkan Adichie untuk temannya jika ingin membesarkan anak menjadi feminis.
- Jadilah manusia sepenuhnya. Jangan membatasi diri dengan mendefinisikan pada salah satu tugas saja, misalnya menjadi ibu.
- Bersama-sama dengan suami merawat anak. Saling bekerja sama dengan suami dalam urusan rumah tangga.
- Ajari anakmu bahwa peran gender itu omong kosong. Jangan mengatakan ia tidak boleh begini atau begitu hanya karena dia perempuan atau laki-laki.
- Waspadai bahaya Feminism Lite. “Ini adalah gagasan tentang kesetaraan perempuan bersyarat.” (hal. 46) Dia menggunakan bahasa “mengizinkan” atau “membiarkan”. Misalnya, sebuah berita di koran Inggris menulis, “Philip May dikenal dalam politik sebagai seorang pria yang rela duduk dikursi belakang dan mengizinkan istrinya, Theresa, untuk bersinar.”
- Ajari anakmu membaca dan mencintai buku. Apa saja.
- Ajari anakmu untuk mempertanyakan bahasa. Bahasa adalah gudang prasangka kita, keyakinan kita, dan asumsi kita.
- Jangan mengatakan padanya bahwa pernikahan adalah sebuah pencapaian.
- Ajari dia untuk menolak “disukai”. Anakmu harus menjadi dirinya sendiri karena dia ingin, bukan agar dia disukai oleh orang lain.
- Berikan anakmu rasa identitas.
- Berhati-hatilah tentang bagaimana kau terlibat dengan anakmu dan cara ia berpenampilan. Ajak berolahraga. Ajak berias jika dia suka riasan.
- Ajari dia untuk mempertanyakan penggunaan biologi selektif budaya kita yang dijadikan “alasan” untuk norma-norma sosial. Misalnya, memberikan nama pada anak berdasarkan nama keluarga pria.
- Bicaralah dengannya tentang seks, dan mulailah sedini mungkin.
- Percintaan akan terjadi, ikutilah prosesnya. Anakmu akan jatuh cinta dan berpacaran, temani ia.
- Ketika mengajarinya tentang penindasan, berhati-hatilah agar orang yang tertindas tidak menjadi orang suci. Kesalehan bukan prasyarat untuk martabat. Orang-orang yang tidak baik dan tidak jujur tetap manusia dan masih layak mendapatkan martabat. Wah, jadi ingat Mahabharata.
- Ajari anakmu soal perbedaan.
Meski buku ini berlatar Nigeria, tetapi isinya tetap universal. Dan meski hanya 79 halaman tetap dapat menjalankan tugasnya untuk “merayu” kita agar menjadi feminis.