#100 – The Time Paradox

Judul: The Time Paradox (Artemis Fowl #6)
Penulis: Eoin Colfer
Penerbit: Hyperion Books (2008)
Halaman: 391
Rating: 3 dari 5 ⭐ – liked it

Angeline Fowl, ibu dari Artemis Fowl II, sedang sakit. Sakitnya misterius. Kondisinya semakin parah hanya dalam hitungan hari. Ternyata Angeline terkena Spelltropy, sebuah penyakit peri yang menular dari penggunaan sihir. Spelltropy sempat menjadi wabah di dunia peri sebelum akhirnya berhasil ditemukan obatnya dan sekarang dunia peri dinyatakan bebas dari Spelltropy.

Fowl meminta Holly untuk menyembuhkan ibunya. Sayangnya, satu-satunya obat yang dapat menyembuhkan Angeline adalah cairan dari otak lemur, sementara lemur sendiri sudah punah hampir delapan tahun yang lalu.

Fowl menjadi lesu. Dia tahu lemur sudah punah karena dia turut andil dalam punahnya lemur. Secara tidak langsung Fowl membunuh lemur terakhir yang ada di Bumi. Usianya masih 10 tahun kala itu. Dia masih menjadi Artemis Fowl II yang cerdik, licik, dan egois.

Fowl menyadari satu hal. Untuk bisa menyelamatkan ibunya, dia harus kembali ke masa lalu, tepatnya ke waktu Fowl kecil akan menjual lemur terakhir tersebut seharga lima puluh ribu euro ke Damon Kronski, pemimpin dari organisasi nyeleneh, Extinctionists. Fowl tahu misi kali ini tidak akan mudah karena musuh yang dihadapinya adalah dirinya sendiri.

Saya tahu kalau cerita dengan tema time travel itu sulit untuk ditulis dan dipahami. Sulit untuk ditulis karena time travel itu adalah tema yang rumit. Seorang penulis harus pandai mencari cara bagaimana agar cerita yang ditulisnya mudah dipahami dan tidak menimbulkan banyak pertanyaan bagi pembacanya.

Saya sendiri sudah berjanji bahwasanya saya tidak akan terlalu kritis dengan The Time Paradox. Saya akan menikmati bukunya  tanpa harus banyak bertanya. Sama seperti halnya sewaktu saya nonton Avengers: Endgame. Saya buang jauh-jauh pertanyaan semacam kok begini dan kok begitu. Tujuan saya datang ke bioskop untuk duduk manis sambil menikmati pop corn, juga menikmati filmnya. Unfortunately, I just couldn’t help it. I asked too many questions. Pas nonton kedua kali saya baru berhenti bertanya dan memutuskan untuk menikmati Endgame.

Dalam kasus The Time Paradox, misalnya saya bertanya-tanya bagaimana bisa Opal Koboi dari masa lampau bisa ikut menyeberangi time stream dan pergi ke masa sekarang. Meski ini bisa saya dapatkan dari sedikit googling, but still. Atau, dari mana Mulch Diggums mendapatkan sebuah catatan untuk menyelamatkan Fowl dan Holly yang terkurung di bagasi mobil.

Itu baru satu hal kurangnya The Time Paradox. Hal itu patut diakui membuat buku keenam dari seri Artemis Fowl ini terasa kurang menarik jika dibandingkan dengan buku-buku sebelumnya.

Memang The Time Paradox masih ada aksi lapangan yang menegangkan, seperti usaha penyelamatan lemur di kebun binatang, transaksi lemur di pasar yang bau, usaha menyelamatkan Holly yang tertangkap, dan Fowl menerbangkan Cessna untuk menarik perhatian Opal Koboi, tetapi rasanya novel ini kehilangan satu elemen yang membuat sebuah novel tetap terjaga keseruannya. Sayangnya, usaha Eoin Colfer dengan menulis Holly mencium Artemis itu tidak membantu. Malah membuat saya mengangkat alis dan, “WHAAAT? HELL NO!” Sudah paling benar hubungan Artemis dan Holly itu seperti anjing dan kucing, tapi saling menghormati satu sama lain. Jangan ditambah dengan bumbu percintaan, please.

Sejak dari buku pertama karakter Angeline Fowl bukan karakter favorit saya. Di buku ini semakin menguatkan penilaian saya terhadap dia kalau Angeline itu memang karakter yang menyebalkan. Untung saja Colfer tidak banyak memasukkan Angeline ke dalam cerita. Kalau iya, saya tidak tahu deh bakal seantipati apa saya sama dia. Mau semanis dan sebaik apapun Angeline digambarkan, tetap tidak dapat menghapus penilaian awal saya. Angeline itu tipikal orang yang kita cukup tahu dan tidak ada niat dari kita ingin mengenal lebih jauh karena dia menyebalkan.

Bagaimana tidak menyebalkan coba melihat seorang ibu yang melepaskan tanggung jawabnya ke bocah berusia 10 tahun sewaktu suaminya menghilang? Iya, saya paham kalau Angeline sedang dalam fase kacau balau karena suaminya hilang, tapi menaruh beban berat ke pundak Artemis Fowl II yang baru sepuluh tahun, seperti bukannya Angeline yang mengurus kerajaan bisnis Fowl dan urusan rumah tangga, tetapi Artemis. Seriously? Lucunya, Fowl senior juga malah lebih percaya pada anaknya daripada istrinya. Ini yang membuat saya semakin, wow, oke, Angeline, ada apa dengan dirimu sebenarnya sampai-sampai suamimu sendiri lebih percaya pada anakmu ketimbang dirimu?

Kemudian, dengan organisasi yang bernama Extinctionists ini bikin saya garuk-garuk kepala sendiri. Ini organisasi yang isinya orang-orang yang memiliki waham kebesaran dan narsis ya? Saya tidak paham ada orang-orang yang begitu bencinya dengan hewan sehingga dengan sengaja ingin membuat punah semua hewan. Mereka merasa kalau mereka lebih baik dari hewan. Pemimpinnya, si Damon Kronski, sangat self-centered sebagai manusia. Ini terlihat dari apa yang dia bilang:

Man is king, and animals survive only so long as they contribute to the comfort of their masters. An animal without use is wasting precious air and should be wiped out.

Dan sewaktu dia bilang:

“People say that we Extinctionists hate animals,” began Kronski. “But this is not the case. We do not hate poor dumb animals; rather, we love humans. We love humans and will do whatever it takes to ensure that we, as a race, survive for as long as possible. This planet has limited resources, and I, for one, say we should hoard them for ourselves. Why should humans starve when dumb animals grow fat? Why should humans freeze when beasts lie toasty warm in their coats of fur?”

Ini kan goblog. Apakah Kronski tidak tahu kalau manusia itu hewan? Wk. Well, Mr. Kronski, you know what, I hate most human.

Dari sini saja saya ingin protes ke Colfer. Satu, argumen dari Kronski itu bodoh banget. Kedua, Colfer jadi semacam mengajarkan kepada pembacanya bahwa manusia itu bukan hewan. Atau, dia memang tidak memberitahu karena tidak ada penjelasan lebih lanjut. Sebagai seorang pengikut Darwinisme, saya mengecam keras ini. Halah, lebay. Hihihi. Intinya demikian lah.

Ada lagi yang menjadi pertanyaan saya. Ada di satu bagian di mana Kronski teriak-teriak ke anak buahnya untuk menangkap Fowl. Bagi siapapun yang berhasil akan diberi imbalan sepuluh ribu dolar. Sampai di sini tidak masalah karena siapa juga yang tidak tergiur dengan uang sepuluh ribu dolar kan? Akan tetapi, begitu dibilang ten thousand dollars was two years’ wages to these men, saya melongok tidak percaya. Berarti gaji para pengawal bayaran Kronski ini murah banget dong? Sepuluh ribu dolar dibagi 24 bulan itu tidak sampai 417 dolar yang diterima oleh anak buahnya Kronski setiap bulannya. Like, really, gaji mereka cuma segitu?

Kesimpulannya, dari tujuh buku seri Artemis Fowl yang sudah saya baca, lima buku pertama itu bagus. Dua buku terakhir kualitasnya sedikit menurun. Yah, setidaknya dari The Time Paradox saya jadi tahu bagaimana asal mula skema jahat Artemis Fowl muncul untuk mendapatkan emas peri (cerita di buku pertama). Harapan saya semoga dua buku terakhir dari seri Artemis Fowl ceritanya menjadi lebih baik.

Baca juga resensi:
1. Artemis Fowl
2. The Seventh Dwarf
3. The Arctic Incident
4. The Eternity Code
5. The Opal Deception
6. The Lost Colony

2 tanggapan untuk “#100 – The Time Paradox”

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: