Judul: Just Babies: The Origins of Good and Evil
Penulis: Paul Bloom
Penerbit: Crown Publisher (2013)
Halaman: 273
ISBN13: 9780307886842
Rating: 5 dari 5 ⭐ – it was amazing
Saya tahu buku ini dari kelas yang sedang saya ikuti sekarang di Coursera, yaitu Moralities of Everyday Life, dengan pengajarnya adalah Paul Bloom juga. Beliau adalah profesor di Yale University, seorang psikolog perkembangan juga yang fokus risetnya di topik moral, agama, fiksi, dan seni.
Mulai dari Adam Smith hingga Sigmund Freud, banyak tokoh filsuf dan psikolog yang menganggap bahwa manusia terlahir bagaikan papan tulis kosong, atau menggunakan istilah dari Adam Smith, tabula rasa. Bayi tidak punya pengetahuan apa-apa dan tugas manusia dewasa dan lingkungan lah untuk mengajarinya banyak hal, termasuk moral.
Pernyataan tersebut sudah banyak dibantah. Di dalam buku ini, Bloom memaparkan berbagai penelitian yang dilakukan oleh para psikolog, yang dapat kita simpulkan bayi berusia satu tahun pun sudah memiliki moral.
Saya sudah mencatat hal-hal apa saja yang penting dari buku ini. Saya akan menuliskannya kembali di sini sebagai pengingat seandainya nanti saya lupa (ini pasti!) dan untuk teman-teman semua jika berminat untuk membacanya.
Mari kita langsung saja ke catatan saya.
Chapter 1: The Moral Life of Babies
Kita memiliki moral yang dapat kita gunakan untuk menilai orang lain dan membimbing kita. Secara alamiah, kita ini baik terhadap orang lain, yah, setidaknya di beberapa waktu. Akan tetapi, kita juga memiliki insting jahat yang dapat bermanifestasi menjadi perbuatan yang mengerikan.
Paul Bloom tidak akan membahas bayi di bawah usia tiga bulan karena tidak banyak data yang diketahui, karena sulit melakukan eksperimen pada bayi di usia segitu. Adapun yang Bloom coba sampaikan adalah beberapa moral dasar tertentu tidak didapat melalui proses pembelajaran, melainkan memang sudah terberi, sebagai produk dari evolusi biologis.
Perbuatan immoral tidak hanya terbatas pada perbuatan langsung, seperti mencuri dan membunuh, tetapi tidak melakukan apapun di saat kita tahu ada orang lain yang terancam juga dapat dikatakan sebagai perbuatan immoral. Misalnya, kasus Jeremy Strohmeyer and David Cash Jr. di Nevada pada tahun 1988. Strohmeyer mengikuti gadis kecil berusia tujuh tahun ke toilet perempuan, melakukan pelecehan, dan membunuhnya. Cash Jr. mengetahui perbuatan Strohmeyer, tetapi dia diam saja. Dia tidak melakukan apapun untuk mencegah Strohmeyer, malahan dia pergi meninggalkan Strohmeyer dan gadis kecil itu.
Moral tidak melulu berhubungan dengan perbuatan yang salah. Ia juga mencakup perbuatan yang selayaknya dilakukan. Contohnya, perilaku menolong secara spontan yang ditunjukkan oleh balita. Penelitian ini dilakukan oleh Felix Warneken dan Michael Tomasello. Pada salah satu pengkondisian eksperimen tersebut, balita sedang bersama ibunya di dalam sebuah ruangan. Orang dewasa masuk ke ruangan dengan membawa banyak buku dan ingin membuka lemari, tetapi dia tidak bisa karena tangannya penuh dengan buku. Tidak ada yang melihat balita tersebut, tidak ada yang menyuruh dia untuk menolong membuka lemari, dan orang dewasa tersebut juga tidak meminta tolong. Setengah dari partisipan balita akan secara spontan bangun dari tempat duduknya, berjalan terhuyung-huyung, dan membukakan lemari untuk orang dewasa tersebut.
Chapter 2: Empathy and Compassion
Manusia tidak bisa menjadi manusia bermoral jika tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Psikopat “tahu” kalau menolong anak kecil yang tenggelam itu perbuatan “baik” dan membunuh itu perbuatan “jahat”, tetapi ini sama seperti orang buta yang bisa bilang langit itu “biru” dan rumput itu “hijau”. Secara fakta benar, tetapi mereka tidak ada pengalaman langsung untuk dapat melihat.
Kita bisa menyampaikan berbagai argumen filsafat dari teori consequalism maupun deontology ke psikopat. Kita juga dapat mencoba memberi mereka pemahaman seandainya perbuatan jahat yang mereka lakukan itu menimpa mereka, bagaimana coba rasanya. Mereka bisa tahu segala macam teori (kebanyakan psikopat itu pintar-pintar), mereka tidak suka jika ada orang berbuat jahat ke mereka, tetapi mereka tetap tidak peduli. Mereka tetap berbuat jahat karena mereka tidak bisa memposisikan diri mereka di posisi orang lain. Mereka tidak memiliki empati dan compassion.
Ada satu penelitian yang dilakukan oleh Abigail Marsh dengan psikopat sebagai partisipan. Dia memberikan serangkaian foto individu dengan beragam ekspresi dan dia meminta kepada psikopat untuk mendeskripsikan emosi pada setiap foto. Psikopat dapat mengenali semua ekspresi, kecuali satu ekspresi, yaitu ekspresi takut. Namun, ada satu psikopat yang bisa menjawab dengan benar. Ketika ditanya apakah dia mengenali ekspresi tersebut, dia menjawab, “Saya tidak tahu itu ekspresi apa. Tetapi, itu ekspresi yang sama pada korban yang saya tusuk.”
Empati dan compassion sekilas mungkin terlihat sama, tetapi sebenarnya berbeda. Beda empati dan compassion: caring about a person (compassion) and putting yourself in the person’s shoes (empathy). Lengkapnya perbedaan empati dan compassion:
1. Meski empati terjadi secara otomatis dan tidak sadar, tetapi kita bisa memilih untuk berempati atau tidak. Misalnya, melihat tawanan yang disiksa, kita bisa memutuskan untuk membayangkan bagaimana rasanya menjadi dia. Atau, ketika melihat aktris yang menang penghargaan Oscar, kita bisa memilih untuk merasakan rasa gugup dan rasa bangganya. Dengan demikian, empati adalah produk dari pilihan moral, bukan penyebab.
2. Empati tidak diperlukan untuk timbulnya compassion. Misalnya, jika kita melihat anak kecil tenggelam di kolam renang dan kita tidak melihat ada orangtuanya. Reaksi kita pasti kita akan loncat dan menyelamatkannya. Kita tidak akan menunggu untuk merasakan bagaimana rasanya tenggelam untuk menolong anak kecil tersebut.
3. Sama halnya dengan kita tidak perlu empati untuk compassion, maka kita juga bisa empati tanpa diikuti compassion. Misalnya, melihat anak tenggelam tadi, kita bisa berempati dengan dia, tapi kita bisa pergi meninggalkan kolam renang tanpa menyelamatkan anak tersebut.
Makhluk hidup akan berempati dan memiliki compassion dengan makhluk hidup lain yang mengalami kesulitan, jika mereka satu spesies. Bayi merespon bayi lain yang menangis dengan menangis lebih kencang. Bayi tidak akan menangis jika didengarkan suara dari komputer, atau suara bayi simpanse yang menangis. Monyet rhesus yang lapar tidak akan memencet tuas untuk mengambil makanan jika hal tersebut dapat membuat monyet rhesus lainnya sakit karena kesetrum listrik.
Penelitian lain dari Alia Martin dan Kristina Olson: Mereka meminta tolong kepada balita, “Bisa minta tolong gak untuk mengambilkanku gelas buat menuangkan air minum dari teko ini?” Si anak balita akan langsung mengambilkan gelas. Seandainya ada dua gelas, yang satu gelasnya retak, dan satu bagus, maka dia akan memberikan gelas yang bagus ke peneliti. Ini menunjukkan bahwa dia tidak hanya asal patuh pada permintaan peneliti, tapi dia memang ingin membantu peneliti.
Berbagi adalah manifestasi berikutnya dari compassion dan altruisme. Anak-anak mulai belajar berbagi di usia enam bulan ke atas, dan semakin sering berbagi setahun setelahnya. Mereka berbagi dengan keluarga dan teman-teman, jarang berbagi dengan orang asing.
Kita merasa bangga jika kita berbuat baik, tetapi kita merasa bersalah jika kita berbuat buruk. Dan perasaan ini dapat kita gunakan untuk membantu memutuskan apa yang akan kita lakukan dan tidak lakukan di masa yang akan datang. Ini dinamakan self-evaluation. Cukup sulit meneliti self-evaluation pada bayi, tetapi bukan berarti tidak bisa dilakukan. Misalnya, ada rasa bangga pada William Darwin (anak dari Charles Darwin) ketika memberikan roti jahe untuk adiknya. Saat itu usianya dua tahun tiga bulan. Kemudian ada perasaan bersalah. Bayi di usia tahun pertama kehidupan menunjukkan rasa stres ketika menyakiti orang lain, dan ini semakin sering terjadi di saat mereka bertambah umur.
Penelitian yang dilakukan oleh Charlot Buhler di tahun 1935: satu orang dewasa dan satu orang anak kecil berada di dalam ruangan yang sama. Orang dewasa tersebut melarang anak kecil itu untuk menyentuh mainan yang ada. Kemudian, orang dewasa keluar dari ruangan. Pada anak-anak usia satu dan dua tahun begitu orang dewasa tersebut keluar dari ruangan, mereka menganggap larangan itu tidak berlaku lagi dan mereka bermain dengan mainan tersebut. Akan tetapi, begitu orang dewasa tersebut kembali, 60% 16 bulan bayi dan 100% 18 bulan bayi menunjukkan perasaan yang sangat malu, pipi merah, dan kembali ke orang dewasa dengan perasaan takut. Sementara pada anak usia 21 bulan mengembalikan mainan tersebut kembali ke tempatnya. Ini contoh lain dari self-evaluation.
Chapter 3: Fairness, Status, and Punishment
Psikolog William Damon mewawancarai anak-anak untuk mengetahui konsep equality dan fairness mereka.
Experimenter: Do you think anyone should get more than anyone else?
Anita (seven years, four months): No, because it’s not fair. Somebody has thirty-five cents and somebody has one penny. That’s not fair.
Experimenter: Clara said she made more things than everybody else and she should get more money.
Anita: No. She shouldn’t because it’s not fair for her to get more money, like a dollar, and they get only about one cent.
Experimenter: Should she get a little more?
Anita: No. People should get the same amount of money because it’s not fair.
Kristina Olson dan Alex Shaw melakukan eksperimen pada anak-anak usia enam dan delapan tahun. Mereka bercerita ke anak-anak tentang Mark dan Dan yang membersihkan kamar mereka dan mereka ingin memberikan hadiah penghapus kepada Mark dan Dan. “Aku nggak tahu harus kasih berapa penghapus ke mereka. Kamu bisa bantu aku? Bisa ya. Aku punya lima penghapus nih. Satu dikasih ke Mark, satu dikasih ke Dan, satu dikasih ke Mark lagi, dan satu dikasih ke Dan lagi. Oh, masih ada sisa satu lagi nih. Kita kasih ke siapa ya? Kasih ke Mark atau kasih ke Dan? Atau kita buang saja penghapusnya?” Hampir selalu anak-anak tersebut menjawab sisa satu penghapus itu dibuang saja. Akan tetapi, ketika cerita Mark dan Dan ini ditambah dengan, “Dan kerjanya lebih rajin daripada Mark,” maka hampir semua anak mengubah jawaban mereka. Mereka memilih untuk memberikan sisa penghapus kepada Dan.
Homo sapiens adalah spesies yang hierarkis. Manusia sudah dari sononya ada yang mendominasi ingin memimpin, sementara yang lain submisif. Di masa sekarang ini barangkali yang paling dekat dengan pola kehidupan manusia purba adalah masyarakat tradisional yang masih berburu dan mengumpulkan makanan.
Tahun 1999, Christopher Boehm menulis buku Hierarchy in the Forest membahas isu ini. Dia mereview pola hidup kelompok masyarakat dalam jumlah kecil, yaitu suku-suku yang masih berburu dan mengumpulkan makanan. Dia menemukan bahwa masyarakat ini hidup secara egaliter. Kesenjangan materi diusahakan tidak terlalu mencolok, barang-barang didistribusikan ke semuanya. Orang tua dan orang yang sakit dirawat. Ada pemimpin, tapi tidak bisa semena-mena, dan struktur sosialnya fleksibel. Pemimpinnya dapat diganti sewaktu-waktu.
Mereka mungkin egaliter, tetapi mereka hanya egaliter terhadap sesama pria dewasa. Pada hubungan lain, mereka hierarkis: orangtua yang mengatur anak-anaknya, suami yang mengontrol istrinya. Egaliter bukan berarti mereka pecinta damai. Masyarakat berburu dan mengumpulkan makanan ini sangat bengis: melakukan kekerasan terhadap wanita, kekerasan yang terjadi antar pria yang memperebutkan wanita, dan kekerasan pada kelompok lawan.
Fairness salah satu sisi positif dari moralitas. Ada sisi gelap dari moralitas, yaitu hukuman dan pembalasan dendam. Robert Ardrey bilang, “We are born of risen apes, not fallen angels.” Sebagian dari kita memang mudah tergoda untuk menipu, membunuh, dan menyerah pada impuls negatif lainnya, sementara sebagian yang lain berusaha untuk menghindar dari orang-orang ini.
Ketika ada orang yang berbuat jahat kepada kita, reaksi pertama kita adalah marah. Lalu, kita ingin membalas dendam. Misalnya, Tony membunuh ayah dari Rio. Rio marah dan ingin membalas dendam dengan membunuh Tony. Di masa sekarang kita tidak perlu membalas membunuh karena sudah ada hukum yang mengatur. Akan tetapi, rasa amarah itu penting. Bahkan menurut filsuf Jesse Prinz, rasa amarah lebih penting daripada empati dan compassion.
Ada kalanya juga kita memberikan hukuman pada orang-orang yang tidak berbuat jahat kepada kita. Misalnya, penjahat kelamin, penipu, dan lain-lain. Atau, pada contoh di atas kasus David Cash, Jr. Di era internet seperti sekarang sangat mudah untuk melacak seseorang kemudian menyebarkan data pribadi seseorang untuk kemudian beramai-ramai diserang sehingga orang tersebut dipecat, tidak dapat pekerjaan lagi, pindah kota, tidak nyaman, dan lain sebagainya.
Chapter 4: Others
Pada suku-suku yang masih primitif, jika bertemu dengan individu dari suku rival, hal yang dilakukan adalah membunuhnya, ini kata Margaret Mead. Reaksi ini mungkin ekstrem, tetapi memang jika bertemu dengan orang asing, biasanya reaksi kita bukan compassion.
Dalam hal ini, kita mirip simpanse. Jane Goodall dalam bukunya The Chimpanzees of Gombe mendeskripsikan sebuah peristiwa yang terjadi di salah satu kelompok simpanse ketika mereka bertemu dengan kelompok simpanse lain yang lebih sedikit jumlahnya. Jika ada bayi, maka mereka akan memakan bayi tersebut. Jika ada betina, mereka akan kawin dengan betina tersebut. Jika ada jantan, maka mereka akan menyerang beramai-ramai, merobek dagingnya, menggigit jari-jari kakinya dan testikelnya, kemudian meninggalkannya untuk mati.
Keadaan memang sudah berubah. Di masa modern sekarang jarang kita jumpai tindakan ekstrem seperti itu, tetapi kita tetap antipati pada orang asing. Pada bayi, mereka langsung dapat membedakan antara orang-orang yang familiar dan orang asing. Bayi akan lebih memilih untuk memilihat wajah ibunya, mencium bau tubuh ibunya, dan mendengarkan suara ibunya.
Pada penelitian selanjutnya yang dibahas, hasilnya senada: anak-anak cenderung untuk memilih orang-orang yang familiar buat mereka, baik dari segi ras, bahasa, maupun logat bicara. Kita cenderung untuk membantu atau mendukung orang-orang yang tidak kita kenal asalkan kita memiliki kesamaan dengan mereka, misalnya: menyumbang dana untuk kaum muslim yang tertindas di Palestina, mendukung calon pemimpin yang satu suku dengan kita, dan lain-lain.
Chapter 5: Bodies
Rasa jijik merupakan faktor kuat untuk berbuat jahat. Kalau kamu ingin menghancurkan atau memarginalkan sebuah kelompok, munculkan emosi ini. Primo Levi, seorang ahli Kimia dan penulis, menceritakan Nazi yang menolak memberikan akses toilet ke orang Yahudi, dan apa efek yang ditimbulkan: “Tentara SS ini terlihat senang bagaimana pria dan perempuan Yahudi terpaksa jongkok di mana saja untuk membuang hajat, orang-orang Jerman yang melihatnya menunjukkan ekspresi jijik dan merasa orang-orang Yahudi ini pantas untuk dihancurkan karena perilaku mereka yang seperti binatang.”
Jika empati bisa meningkatkan perilaku compassion dan altruisme kita, maka rasa jijik bisa membuat kita tidak peduli dengan penderitaan orang lain dan dapat membuat kita memiliki kekuatan untuk berperilaku jahat dan merendahkan. Di mana-mana, secara universal, manusia memiliki rasa jijik pada darah, muntahan, tinja, urin, dan daging busuk.
Bayi pada awalnya tidak memiliki rasa jijik ini. Jika tidak diawasi, anak kecil akan menyentuh dan memakan apapun yang ada di dalam kategori menjijikkan tersebut. Penelitian yang dilakukan Rozin et al. : mereka memberikan makanan pada anak-anak di bawah usia tujuh tahun yang dijelaskan pada mereka bahwa itu kotoran anjing (aslinya ini selai kacang dan keju yang baunya menyengat). Sebagian besar dari mereka memakannya. Sebagian besar juga makan ikan kering dan sepertiganya makan belakang. Kemudian, usia mereka bertambah dan mereka jadi tahu apa itu rasa jijik.
Jika bayi tidak memiliki rasa jijik, kenapa orang dewasa punya? Teori yang masuk akal, rasa jijik itu memiliki tujuan adaptif. Rasa jijik tidak dipelajari, melainkan muncul secara natural ketika bayi mencapai titik tertentu di dalam perkembangannya. Rasa jijik membuat kita beradaptasi untuk menjauhi makanan yang buruk. Teori ini mendapat dukungan:
1. Darwin mengobservasi ekspresi wajah pada orang menunjukkan ekspresi jijik: tidak mau mencium bau (menutup hidung), menutup mulut, dan menggunakan lidah untuk memuntahkan kembali apa yang sudah masuk ke dalam mulut.
2. Perasaan mual yang diasosiasikan dengan jijik membuat kita tidak mau makan.
3. Reaksi jijik kita bisa dipicu dari imajinasi kita membayangkan makanan yang salah.
4. Wanita hamil sangat sensitif, mudah mual, karena fetus sangat sensitif pada racun.
5. the anterior insular cortex, which is implicated in smell and taste, becomes active when people are shown disgusting pictures.
Praktek seksual juga termasuk yang dipelajari dalam moral. Ketika seseorang ditanya bagaimana pendapatnya tentang anak yang melakukan hubungan seksual dengan orangtuanya atau laki-laki dewasa usia 30 tahun yang bercinta dengan perempuan usia 80 tahun maka reaksinya kemungkinan besar akan menunjukkan perasaan jijik dan melihat perbuatan tersebut sebagai perbuatan immoral.
Hubungan homoseksual dilarang di sebagian besar wilayah di Bumi dan terkadang pelakunya dapat dihukum mati. Inses juga contoh perilaku seksual lain yang dilarang di semua budaya. Ketika Margaret Mead bertanya pada suku Arapesh apa yang dia pikirkan tentang seorang pria yang menikahi saudara perempuannya, dia menjelaskan menikah dengan seseorang di luar keluarga bisa memperluas jaringan dan membangun aliansi. Dengan memiliki keluarga baru, saudara baru (ipar), itu berarti bisa berburu bareng, berkebun bareng, dan bisa saling mengunjungi. Sementara dengan pertanyaan yang sama jika ditanyakan pada masyarakat modern maka jawabannya akan berkisar pada consent, psychological harm, dan anak yang kemungkinan lahir cacat.
Wah, perasaan jijik ini bisa berkembang ya dari perasaan jijik terhadap bangkai, darah, tinja, dan yang lainnya menjadi perasaan jijik terhadap sesama manusia.
Cukup berbahaya jika menggunakan perasaan jijik ini sebagai landasan untuk menilai orang lain. “Perilaku homoseksual? Menjijikkan! Inses? Menjijikkan! Orang negro? Menjijikkan!” Jangan sampai kita seperti itu. Karena, menurut Paul Bloom:
I think that the intuitions associated with disgust are at best unnecessary and at worst harmful in that they motivate irrational policies and license savage behavior.
Chapter 6: Family Matters
Dalam Psikologi Moral, topik yang banyak dibahas adalah bagaimana individu membentuk opini, menilai, merespon tindakan dari orang asing. Di sini masih sedikit yang membahas bagaimana interaksi antara orangtua dan anak, saudara kandung, dan hubungan personal antarindividu. Seharusnya, jika ingin memahami moral manusia, kita harus mulai dari hubungan terdekat terlebih dahulu.
Psikologi Moral berangkat dari Filsafat Moral. Seandainya berlandaskan evolusi, maka teorinya akan sama sekali berbeda. Karena evolusi, akan memulai dari orang terdekat.
Dua teori filsafat yang berpengaruh dalam Psikologi Moral:
1. Consequentialism, mengedepankan hasil akhir yang baik. contoh: tidak apa-apa membunuh bayi jika dari membunuh bayi tersebut bisa membuat dunia menjadi lebih baik dan bahagia.
2. Deontology, mengedepankan aturan/nilai meski hasil akhirnya buruk. contoh: tentara Nazi mengetuk pintu rumah kita dan menanyakan apakah ada orang Yahudi yang bersembunyi, karena menurut pandangan deontology ini kalau berbohong itu buruk meski tujuannya untuk melindungi orang Yahudi tersebut, maka kita akan memberitahu tentara Nazi tersebut.
Ada yang namanya Doctrine of Double Effect atau DDE, yaitu terdapat perbedaan antara membunuh atau melukai seseorang sebagai akibat dari konsekuensi yang tidak diharapkan demi tercapai tujuan yang lebih besar, dengan memang sengaja membunuh atau melukai seseorang demi mencapai tujuan yang lebih besar. Misalnya, tidak apa-apa mengebom pangkalan militer musuh meski itu berarti akan menimbulkan korban dari masyarakat sipil yang ada di sekitar pangkalan, karena itu dapat perang dapat selesai dengan cepat dan menyelamatkan jutaan nyawa. Korban masyarakat sipil yang tewas itu adalah collateral damage. Akan tetapi, jika dengan sengaja mengebom untuk membunuh masyarakat sipil dan mengintimidasi musuh agar menyerah, menurut DDE ini sangat tidak bermoral, meski hasil akhirnya sama-sama perang cepat selesai dan jutaan nyawa terselamatkan.
Menurut Bloom, kategori yang penting dalam hidup manusia, sesuai dengan urutan: pertama, kinship atau orang yang memiliki tali kekerabatan dengan kita, termasuk keluarga inti dan keluarga besar. Kedua, kelompok. Ketiga, orang asing.
Chapter 7: How to be Good
Di bab terakhir ini terangkum dengan baik di satu paragraf terakhir:
It turns out instead that the right theory of our moral lives has two parts. It starts with what we are born with, and this is surprisingly rich: babies are moral animals, equipped by evolution with empathy and compassion, the capacity to judge the actions of others, and even some rudimentary understanding of justice and fairness. But we are more than just babies. A critical part of our morality—so much of what makes us human—emerges over the course of human history and individual development. It is the product of our compassion, our imagination, and our magnificent capacity for reason.
Mohon maaf jika catatan rangkuman ini terlampau panjang ya. Semoga teman-teman betah membacanya sampai habis. Juga semoga teman-teman menjadi tertarik untuk membaca langsung bukunya dan bisa kita diskusikan bareng-bareng. 😀
Hola kak Kimi.. kunjungan pertamaku kesini. Aku langsung tertarik sama postingan ini karena dari judul dan berhubungan sama ilmu Psikologi. Betul, ternyata dari pembahasan diatas, buku ini cukup padat menjelaskan perkembangan manusia dari bayi. Walaupun aku baru baca separoh tulisan kak Kimi, tapi buku ini menarik sekali. Kayaknya aku akan baca kalo udah ada terjemahan bahasa indonesianya.
Thank you untuk ulasannya kak Kimi. Salam kenal ya kak!! 😄
Halo, Reka… Terima kasih sudah mampir. Semoga berkenan dengan blogku. Sering-sering mampir ya! 😀