Judul: A Primate’s Memoir: A Neuroscientist’s Unconventional Life Among the Baboons
Penulis: Robert M. Sapolsky
Penerbit: Scribner (2001)
Halaman: 344
ISBN13: 9780743202411
Rating: 5 dari 5 ⭐ – it was amazing
Sapolsky membuka bab pertama dengan menceritakan kecintaannya pada dunia primata.
I had never planned to become a savanna baboon when I grew up; instead, I had always assumed I would become a mountain gorilla. (hal. 16)
Sewaktu masih kecil dan tinggal di New York, Sapolsky sering merengek pada ibunya untuk diantar ke Museum of Natural History. Dia dapat menghabiskan waktu berjam-jam menatap diorama Afrika dan membayangkan bagaimana rasanya hidup di sana.
Selama berputar-putar di area Afrika di museum tersebut, Sapolsky selalu kembali pada diorama gorila gunung. Ada sesuatu di dalam diri gorila yang membuatnya memutuskan untuk memakai gorila sebagai figur pengganti kakeknya yang sudah lama meninggal dan tidak sempat dia kenal.
Amid this grandfatherly vacuum, I decided that a real-life version of the massive, sheltering silverback male gorilla stuffed in the glass case would be a good substitute. (hal. 16)
Pada usia 12, dia menulis surat ke primatolog. Di usia 14, dia membaca buku-buku terkait primatologi. Di masa SMA, dia mendapat pekerjaan di lab primata dan menjadi relawan di area primata di museum. Dia bahkan memaksa kepala departemen bahasa di sekolahnya untuk mencarikannya kursus bahasa Swahili, sebagai persiapan untuk kerja lapangan di Afrika. Akhirnya, kuliah pun dia mengambil jurusan sesuai dengan minatnya, yaitu primatologi. Namun, saat kuliah, minatnya berubah. Dia memutuskan untuk beralih subjek karena meneliti gorila tidak akan mampu memberikannya jawaban akan pertanyaan saintifik yang dimilikinya. Sapolsky harus meneliti spesies yang tinggal di padang rumput, memiliki struktur organisasi sosial yang berbeda dibandingkan gorila, dan spesies yang tidak terancam punah. Jadi, Sapolsky memutuskan untuk meneliti babon.
You make compromises in life; not every kid can grow up to become president or a baseball star or a mountain gorilla. So I made plans to join the baboon troop. (hal. 17)
Sapolsky pun meneliti babon di Kenya selama 21 tahun. Buku ini adalah sebuah catatan atau sebuah kenang-kenangan beliau selama masa 21 tahun tersebut. Seperti judulnya, buku ini adalah sebuah memoar.
Sapolsky tidak hanya menulis pengalamannya dengan babon-babonnya, tetapi juga menulis pengalaman hidupnya di Kenya. Kita bisa membaca cerita hari pertama Sapolsky di negara yang terletak di Afrika Timur tersebut. Kita jadi tahu dulu dia menjadi korban penipuan di hari pertamanya di Kenya, tetapi mau tidak mau dia menjadi seorang penipu juga agar bisa bertahan hidup.
Kalau ada yang bisa saya tangkap dari cerita Sapolsky, saya bisa menyimpulkan hidup di Kenya membuat nilai moral Sapolsky menjadi lebih fluid. Seperti yang sudah saya bahas di paragraf sebelumnya Sapolsky terpaksa menjadi seorang penipu karena uang penelitiannya telat dikirim oleh profesornya. Dia yang tadinya kesal sudah ditipu, demi bertahan hidup dia pun terpaksa menipu. Contoh lainnya, Sapolsky terpaksa memaklumi seorang jagawana yang membunuh seekor hewan untuk dimakan karena bosnya memotong gajinya.
Interaksinya dengan penduduk setempat, terutama suku asli seperti Masai, sangat menarik untuk diikuti. Dari interaksinya ini, di mata saya, Sapolsky merupakan sosok yang humble. Dia mau untuk belajar budaya setempat dan berbaur.
Saya juga melihat Sapolsky di masa mudanya adalah seorang pemuda yang berjiwa petualang. Dengan berani dia jalan-jalan ke Uganda saat rejim Idi Amin runtuh, kembali ke Kenya di saat ada percobaan kudeta, dan melakukan perjalanan berbahaya ke Sudan, juga ke Rwanda untuk menapak tilas perjalanan Dian Fossey.
Ketika Sapolsky menceritakan kisah perjalanannya ini membuat saya teringat akan Agustinus Wibowo. Somehow gayanya bercerita membuat nama Agustinus Wibowo muncul di dalam benak. Keduanya sama-sama melakukan backpacking yang tidak biasa, ke daerah-daerah yang tidak biasa pula. Keduanya juga bercerita dengan gaya khas yang mirip: bagaimana mereka terfokus akan pengalaman perjalanan itu sendiri, bagaimana kelima inderanya merasakan perjalanan, bagaimana ketegangan dan ketakutan menyeruak ketika berhadapan dengan bahaya.
A Primate’s Memoir juga memuat rasa frustrasi Sapolsky ketika harus berhadapan dengan pemerintah yang korup. Berkali-kali dia mengalaminya, tetapi yang paling menyedihkan adalah saat di mana wabah TBC merebak di koloni babon. Saya bisa merasakan betapa stresnya dia, betapa helpless dan powerless-nya dia, ketika tidak bisa melakukan apa-apa untuk menyelamatkan kelompok babon yang sudah menjadi objek penelitiannya selama puluhan tahun yang diakibatkan wabah TBC.
Bagi Sapolsky, babon-babon itu bukan hanya sebagai objek penelitiannya, melainkan lebih dari itu. Di dalam diri Sapolsky timbul rasa kemelekatan, rasa dekat, terhadap mereka. Masing-masing diberinya nama dari Kitab Perjanjian Lama. Dan beberapa dari mereka ada yang menjadi babon favorit Sapolsky. Jadi, ketika Sapolsky harus melihat satu per satu babonnya mati, dia merasa marah dan kecewa.
Sungguh, sangat menyenangkan membaca A Primate’s Memoir. Setiap babnya berisi cerita seru yang tidak mau saya lewatkan. Secara keseluruhan, Sapolsky merupakan penulis yang baik. He’s eloquent. Ada kalanya Sapolsky menulis dengan gaya jenaka, terkadang mengeluarkan humor sarkas. Namun, ada kalanya Sapolsky menulis dengan pedih.
Ada dua bagian favorit saya dalam buku ini. Pertama, di bab 21, yaitu di mana Sapolsky harus mengubur salah satu babon kesayangannya. Tanpa disengaja, Sapolsky membunuh babonnya. Sapolsky panik dan berusaha dengan segala cara untuk membuat babonnya bernapas kembali, tetapi gagal. Dengan perasaan sedih, dia menggali sendiri kuburan di dekat pohon favoritnya.
The hole was done. I cradled him and placed him in. I arranged a circle of olives and figs, his main foods, around him, and thought, This is not because I believe in an afterlife, this is to confuse any paleontologists who dig him up. Then I sang Russian folksongs from my youth and Mahler’s Kindertotenlieder, and covered him with dirt and covered the mound with acacia thorns to deter the hyenas, and I went and slept in my tent until the next day. (hal. 248)
Kedua, di bab 29 — bab terakhir — dan paragraf terakhir. Sapolsky harus membius Joshua, salah satu babon di koloni awal penelitian Sapolsky yang masih tersisa. Ketika Joshua sudah siuman dan kandangnya dibuka, Joshua bersikap lain dari biasanya. Biasanya, setelah babon dibius dan sadar, lalu kandang dibuka, mereka akan histeris. Tapi, tidak kali ini. Joshua lebih tenang. Dia keluar dari kandang dan duduk di dekat Sapolsky.
Lisa and I did something rather unprofessional, but we didn’t care. We sat down next to Joshua and fed him some cookies. English digestive biscuits. We ate some too. He went about it slowly, grasping the end of each delicately with his broken old fingers, chewing with small, fussy toothless bites, continuing to fart occasionally. We all sat in the sun, warming ourselves, eating cookies, watching the giraffes and the clouds. (hal. 341)
Itu adalah sebuah paragraf penutup yang manis sekali.
Satu komentar pada “#106 – A Primate’s Memoir”