Judul: Behave: The Biology of Humans at Our Best and Worst
Penulis: Robert M. Sapolsky
Penerbit: Penguin Press
Halaman: 790
ISBN13: 9781594205071
Rating: 5 dari 5 ⭐ – it was amazing
Memahami biologi dari perilaku manusia itu penting, meski sangat rumit. Mempelajari perilaku manusia merupakan sebuah subjek yang melibatkan proses kimiawi di otak, hormon, sensory cues, keadaan lingkungan sewaktu masih dalam janin, pengalaman hidup di tahun-tahun awal kehidupan, gen, evolusi biologis dan evolusi budaya, dan tekanan ekologis, termasuk beberapa di antaranya. Buku ini mencoba untuk mencegah kita berpikir secara kategori dalam menjelaskan perilaku manusia.
Bab 1: The Behavior
Pada bab satu intinya hanya bilang satu perilaku bisa dapat dijelaskan dari berbagai sisi. Misalnya, perilaku agresi. Agresi sendiri bermacam-macam. Ada agresi antar anggota sesama spesies, ada juga perilaku agresi untuk melawan predator. Sementara, kriminolog dapat menjelaskan ada perilaku agresi impulsif dan perilaku agresi yang sudah direncanakan.
Bab 2: One Second Before
Saatnya kita membahas bagian-bagian otak.
Setelah cortex, kita lanjut membahas amygdala.
letak amygdala
gambar dari sini
Amygdala sangat penting untuk mengetahui perilaku agresi. Kalau melukai daerah amygdala pada hewan, maka perilaku agresinya menurun. Efek serupa akan muncul jika bagian amygdala disuntik dengan Novocain (obat anestesi lokal). Sebaliknya, jika menanam elektroda yang menstimulasi neurons di daerah amygdala akan memicu perilaku agresi.
Amygdala juga dapat diteliti untuk melihat rasa takut dan kecemasan. Bagian otak yang memiliki keterlibatan dengan rasa takut dan cemas kemungkinan besar terlibat dalam menghasilkan perilaku agresi. Pada monyet resus jantan alfa, ketika dia tertarik dengan salah satu betina dan ingin kawin dengan betina tersebut, tetapi betina tersebut berada di satu ruangan dengan para pesaing si alfa, maka situasi tersebut mengaktivasi amygdala-nya. Dia tidak menunjukkan perilaku agresi dan membuat vokal suara menantang, atau meningkatnya produksi hormon testosteron, melainkan dia menunjukkan perilaku cemas, seperti gigi bergemeletuk atau menggaruk-garuk diri sendiri.
Kesimpulannya, rasa takut dan agresi tidak serta merta saling berhubungan. Tidak semua rasa takut menyebabkan agresi, dan tidak semua agresi berakar dari rasa takut. Biasanya rasa takut akan meningkatkan agresi pada orang-orang yang memang rentan dan tidak dapat mengekspresikan perilaku agresinya secara sehat. Contoh disosiasi rasa takut dan agresi ini adalah individu psikopat yang bengis. Amygdala mereka secara khusus tidak bereaksi terhadap stimulus rasa takut dan ukurannya lebih kecil dari ukuran amygdala normal. Mereka berperilaku agresif bukan dari rasa takut atau sebagai reaksi dari sebuah provokasi, melainkan karena mereka melakukannya memang untuk mencapai tujuan, tanpa melibatkan perasaan, tanpa ada rasa penyesalan.
Sekarang kita membahas the frontal cortex, juga disebut dengan frontal lobe.
letak frontal lobe
Tugas dari frontal cortex ini adalah working memory, executive function, gratification postponement, membuat rencana jangka panjang, mengatur emosi, and mengendalikan perilaku impulsif. Kalau dari buku beliau yang Why Zebras Don’t Get Ulcers (sudah saya buat rangkumannya di sini), saya ingin menambahkan tugas frontal cortex ini tempat berkembangnya atau tempat mempelajari moral, berpikir logis, dan menahan atau mengatur limbic system agar tidak lebay reaksinya. Yang termasuk limbic system adalah hippocampus, basal ganglia (area subcortical nuclei, termasuk di dalamnya ada amygdala), dan hypothalamus. Limbic system ini tugasnya terkait dengan perilaku dan respon emosi kita, terutama perilaku yang diperlukan untuk bertahan hidup, seperti makan, reproduksi dan merawat keturunan, dan fight-and-flight response.
struktur limbic system
gambar dari sini
Kalau boleh dibikin analogi biar mudah, menggunakan teori Sigmund Freud, frontal cortex itu superego dan limbic system itu id.
Beberapa fitur penting dari frontal cortex adalah:
- Frontal cortex adalah bagian dari otak yang paling belakangan berevolusi. Dia baru berkembang maksimal di saat munculnya primata.
- Frontal cortex pada manusia lebih kompleks dan lebih besar dibandingkan frontal cortex pada apes.
- Frontal cortex adalah bagian otak yang paling belakangan berkembang secara maksimal dan dia baru “teraktivasi” seutuhnya (secara penuh) di saat usia pertengahan dua puluh. Jadi, jangan heran kalau kelakuan remaja yang terkadang suka “ajaib” karena ternyata frontal cortex mereka belum berkembang sepenuhnya.
- Frontal cortex pada manusia memiliki tipe sel yang unik. Keunikannya adalah neuron pada manusia sangat, sangat banyak.
Contoh kasus terkenal dengan frontal cortex yang rusak adalah Phineas Gage tahun 1848 di Vermont. Dia mengalami kecelakaan batang besi yang menembus bagian kepalanya sebelah kiri. Ajaibnya, dia selamat dan bisa sembuh total. Namun, setelah kejadian tersebut kepribadian Gage berubah. Dia menjadi gelisah, tidak sopan, kasar, bersikap tidak senonoh, keras kepala, tidak bisa mengambil keputusan. Alhasil, dia dipecat dari pekerjaannya.
Perubahan sikap dan perilaku Gage ini disebabkan oleh rusaknya frontal cortex akibat dari batang besi yang menembus otak Gage. Ajaibnya lagi, beberapa tahun kemudian, perilaku Gage kembali baik. Dia kembali mendapat pekerjaan. Sepertinya, perilaku Gage yang membaik ini dikarenakan sisa dari frontal cortical tissue-nya yang di sebelah kanan “beradaptasi” dan kembali bisa berfungsi selayaknya bagaimana frontal cortex harus bekerja.
Contoh lain dari rusaknya frontal cortex adalah individu yang mengidap frontotemporal dementia (FTD), yang dimulai dari rusaknya frontal cortex. Pada pengidap FTD, mereka mengalami gangguan perilaku (behavioral disinhibition, seperti mencuri, agresif, hiperseksual, kompulsif, berjudi) dan menunjukkan perilaku sosial yang tidak pantas. Mereka juga menjadi apati (tidak acuh) dan tidak memiliki inisiatif. Perilaku serupa muncul juga pada penderita penyakit Huntington.
Ada situasi lain yang menunjukkan juga perilaku behavioral disinhibition ini, yaitu pada saat kita tidur dan bermimpi. Pada saat tidur di fase REM, yaitu fase di mana munculnya mimpi, frontal cortex menjadi tidak aktif sehingga tidak heran jika kita suka mimpi yang aneh dan tidak masuk akal, misalnya bisa terbang, bisa bernafas di dalam air, menembak orang-orang, membunuh, melampiaskan amarah pada seseorang, dan lain-lain. Situasi lain di mana frontal cortex menjadi tidak aktif, tapi tidak berbahaya, adalah di saat orgasme.
Baru baca sampai sini saja saya bisa ambil kesimpulan kalau emosi dan perasaan itu ya cuma dari reaksi-reaksi hormon di otak saja. Jadi, memang betul lah determinisme itu. Free will is just an illusion. Wkwkwk. *dihajar massa*
Jadi, mulai sekarang bisa berhenti ya buat bilang “Rasa itu dari hati”, “Hatiku rasanya sakit banget”, dan sejenisnya. Karena perasaan dan emosi itu prosesnya di otak, bukan di hati. Kalau hati, ya beda lagi tugas dan fungsinya.
Mari kita lanjut. Berikutnya membahas the mesolimbic/mesocortical dopamine system. Kita mempelajari sistem ini untuk dapat memahami reward, pleasure, dan happiness.
Dopaminergic system ini dari daerah di dekat batang otak yang disebut the ventral tegmental area (bisa disingkat tegmentum). Dopaminergic system berhubungan dengan reward. Berbagai rangsangan yang menyenangkan mengaktivasi neurons yang ada di tegmental sehingga memicu pelepasan hormon dopamine. Bukti yang mendukung, seperti: (1) narkoba, seperti heroin dan kokain, juga alkohol mengeluarkan dopamine di daerah accumbens; (2) jika proses pelepasan dopamin di tegmental terhalang maka stimulus yang tadinya menyenangkan bisa menjadi menyebalkan; (3) stres kronis atau sakit dapat menguras dopamine dan mengurangi sensitivitas neuron dopamine terhadap stimulasi, mengakibatkan anhedonia, salah satu simtom depresi, yaitu ketidakmampuan untuk merasakan kesenangan (pleasure).
Seks pada semua spesies menghasilkan dopamine. Pada manusia, hanya memikirkan tentang seks saja dapat memproduksi dopamine. Makanan dapat menghasilkan dopamine pada orang yang lapar. Mesolimbic dopamine system juga bereaksi terhadap estetika. Di salah satu studi, saat partisipan didengarkan sebuah lagu, semakin banyak accumbens yang aktif, semakin besar kemungkinan partisipan akan membeli lagu tersebut.
Sejak studi di tahun 1979, level serotonin yang rendah pada otak diasosiasikan dengan meningkatnya tingkat agresi pada manusia, mulai dari tingkatan hostility sampai ke overt violence. Hubungan serotonin dan agresi yang serupa ditunjukkan juga di mamalia lainnya, bahkan pada jangkrik, moluska, dan krustasea. Semakin banyak penelitian yang dilakukan diketahui bahwa level serotonin yang rendah tidak memprediksi perilaku kekerasan yang direncanakan dan instrumental violence, melainkan ia dapat memprediksi perilaku agresi yang impulsif, demikian juga cognitive impulsivity. Studi lain menunjukkan terdapat hubungan antara level serotonin yang rendah pada perilaku bunuh diri yang impulsif (impulsive suicide).
Bab 3: Seconds to Minute Before
Etologi adalah sebuah ilmu yang mempelajari perilaku hewan di kondisi naturalnya. Awalnya ilmu ini hadir sebagai sebuah respon terhadap salah satu cabang Psikologi, yaitu behaviorisme. Behaviorisme dimulai dari John Watson dan mencapai puncak ketenarannya di masa B. F. Skinner. Inti dari behaviorisme ada di reward dan punishment. Jika ingin memunculkan suatu perilaku, bisa diberi reward. Sebaliknya, jika ingin menghilangkan perilaku akan diberi punishment. Perilaku dapat dibentuk kurang lebih melalui operant conditioning, yaitu sebuah proses mengontrol rewards dan punishments di lingkungan organisme.
Etologi munculnya di Eropa. Kalau para behaviorist suka dengan keseragaman dan universal dari suatu perilaku, sebaliknya ethologist lebih suka dengan keberagaman perilaku. Mereka menekankan bahwa setiap spesies mengembangkan perilaku yang unik sebagai respon dari tuntutan lingkungan dan seharusnya kita berpikiran terbuka untuk mengobservasi spesies di lingkungan asli mereka untuk memahami mereka. “Mempelajari perilaku sosial tikus di dalam kandang (atau laboratorium) seperti mempelajari perilaku lumba-lumba di bak mandi” adalah semacam pedoman bagi para ethologist.
Subliminal cuing and unconscious priming influence numerous behaviors. Hanya dalam waktu beberapa detik sensory cues bisa membentuk perilaku tanpa kita sadari. Salah satu contohnya yang cukup mengganggu adalah ras. Otak kita sudah tertanam dengan warna kulit. Tunjukkan secara singkat (hanya dalam beberapa detik) foto wajah seseorang dan kemungkinan besar kita dapat menebak ras orang tersebut. Kita bisa mengklaim bahwa kita menilai seseorang dari karakter, bukan dari ras atau warna kulit. Kenyataannya, otak kita sangat cepat mendeteksi warna kulit, bukan karakter. Pada salah satu studi bias ras, pada saat menunjukkan foto wajah, semakin rasis seseorang maka semakin aktif amygdala-nya. Amygdala kita terlatih untuk mengasosiasikan hal negatif terhadap orang yang berbeda ras dari kita. Lebih lanjut, orang-orang akan menilai ekspresi netral dari wajah orang yang beda ras sebagai ekspresi marah ketimbang ekspresi netral dari wajah orang yang memiliki ras yang sama.
Selain ras, tipe lain dari subliminal cues adalah gender dan status sosial. Wajah dari gender diproses dalam 150 milidetik, begitu pula status sosial. Ekspresi dominasi sosial sama di berbagai budaya, seperti tatapan langsung dan postur tubuh terbuka, sementara ekspresi subordinasi, seperti tidak berani menatap langsung dan lengan melipat di depan dada.
Contoh lain dari subliminal cues adalah beauty. Sejak usia dini, baik laki-laki maupun perempuan di semua budaya, orang-orang yang menarik dinilai lebih baik, lebih pintar, dan lebih jujur. Kita cenderung untuk memilih dan mempekerjakan mereka, lebih kecil kemungkinan untuk menghukum mereka atas perbuatan kriminal, kalaupun dihukum, mereka cenderung untuk menerima hukuman yang ringan. Masih banyak contoh lainnya, seperti dari mata, suara, penciuman, dan lain-lain. Beberapa penelitian dipaparkan di buku, tetapi tidak saya bahas semua karena terlalu panjang.
Ada yang namanya interoceptive information. Contohnya, frontal cortex sangat berpengaruh pada willpower individu. Beri tugas kognitif yang berat pada seseorang, entah itu mengerjakan soal Matematika yang rumit atau apapun, kemudian setelahnya individu akan menjadi lebih agresif dan kurang simpatik, kurang dermawan, dan kurang jujur. Ini seolah-olah frontal cortex-nya ngomong, “Dah lah, bodo amat. Gue capek. Gue gak peduli sama manusia lain.”
Sepertinya hal ini berkaitan dengan biaya metabolisme yang terjadi pada frontal cortex ketika melakukan tugas kognitif yang berat. Pada saat melakukan tugas kognitif yang berat, level gula darah drop, dan frontal cortex akan jadi “on” lagi setelah diberi minuman manis. Lebih lanjut, orang lapar juga memiliki kecenderungan yang sama. Mereka menjadi lebih agresif dan kurang dermawan.
Bahasa juga memiliki pengaruh. Pastinya teman-teman pernah dengar Prisoner’s Dilemma, kan? Permainan ini untuk mengetahui apakah partisipan mau bekerja sama atau tidak dalam berbagai situasi. Nah, kalau judul permainannya diubah menjadi Wall Street Game, orang-orang menjadi kurang bekerja sama. Jika permainannya diberi nama Community Game, efeknya sebaliknya, yaitu orang-orang jadi pada mau bekerja sama. Jadi, berhati-hati dalam pemilihan kata-katamu ya. It may affect other people’s behavior for better or worse.
Penutup di bab tiga yang oke punya:
Ultimately, the most important point of this chapter is that in the moments just before we decide upon some of our most consequential acts, we are less rational and autonomous decision makers than we like to think.
Bab 4: Hours to Days Before
Selama ini kita tahunya hormon testosterone itu menyebabkan agresi. Perilaku male aggression lazim ditemui ketika kadar testosterone-nya sangat tinggi. Akan tetapi, sekalipun testosterone dan androgen dihilangkan sepenuhnya, perilaku agresi itu tetap ada. Sehingga, beberapa perilaku male aggression tidak disebabkan oleh testosterone. Contohnya, pemerkosa yang dihukum kebiri secara kimiawi. Kastrasi tidak menurunkan angka residivis. Salah satu hasil studi meta-analysis bilang, “Hostile rapists and those who commit sex crimes motivated by power or anger are not amenable to treatment with [the antiandrogenic drugs].” Dari sini kita jadi tahu semakin banyak pengalaman agresi seorang pria sebelum dikastrasi, semakin banyak perilaku agresi berlanjut bahkan setelah dikastrasi.
Mengutip John Archer, seorang ahli endokrin, di salah satu review:
“There is a weak and inconsistent association between testosterone levels and aggression in [human] adults, and . . . administration of testosterone to volunteers typically does not increase their aggression.”
Sapolsky menambahkan: The brain doesn’t pay attention to fluctuations of testosterone levels within the normal range.
Akan tetapi, menjadi beda persoalannya jika kadar testosterone dibikin “supraphysiological”, yaitu kadar berada jauh di atas level normal. Misalnya, atlet menggunakan steroid. Pada situasi tersebut, risiko agresi memang meningkat. Kesimpulannya, agresi itu lebih ke soal social learning ketimbang pengaruh testosterone, dan perbedaan kadar testosterone tidak dapat menjelaskan secara umum kenapa satu individu lebih agresif ketimbang individu lainnya. Testosterone dapat meningkatkan perilaku agresi pada individu yang memang sudah memiliki kecenderungan agresif.
Beberapa efek testosterone, yaitu mengurangi empathic mimicry, kurang bisa mengidentifikasi emosi orang lain, mengaktivasi amygdala untuk menilai wajah orang asing sebagai orang yang kurang dapat dipercaya dibandingkan dengan wajah familiar. Testosterone juga meningkatkan rasa kepercayaan diri dan optimisme, sementara mengurangi rasa takut dan cemas. Testosterone bisa membuat individu menjadi berlebihan rasa percaya diri dan optimisnya, sehingga memiliki konsekuensi negatif. Testosterone membuat individu menjadi sombong, egosentris, dan narsis. Testosterone meningkatkan perilaku impulsif dan perilaku risk taking.
Oxytocin dan vasopressin merupakan hormon yang serupa. Mereka diproduksi di hypothalamic neurons yang mengirimkan axons ke posterior pituitary. Dari sana mereka akan dilepas ke sirkulasi di dalam tubuh dan tidak berhubungan lagi dengan otak. Oxytocin menstimulasi kontraksi uretrine pada saat melahirkan dan memproduksi ASI. Sementara vasopressin (dikenal juga sebagai “antidiuretic hormone”) mengatur penyimpanan air pada ginjal.
Menjadi semakin menarik ketika para ahli menemukan hypothalamic neurons yang memproduksi oxytocin dan vasopressin ternyata melepaskannya ke otak juga, termasuk the dopamine-related ventral tegmentum and nucleus accumbens, hippocampus, amygdala, and frontal cortex, all regions with ample levels of receptors for the hormones. Ternyata oxytocin dan vasopressin juga diproduksi dan dikeluarkan dari area lain yang ada di otak, tidak hanya di hypothalamic neurons. Dua hormon ini memengaruhi fungsi otak dan perilaku. Mereka dikenal juga sebagai neuropeptides.
Oxytocin bertugas mempersiapkan tubuh mamalia betina untuk melahirkan dan menyusui, juga perilaku maternal. Masukkan oxytocin ke dalam otak tikus betina yang tidak hamil dan tidak punya anak, maka dia akan menunjukkan perilaku maternal, seperti retrieving, grooming, dan licking pups. Cobalah untuk menghambat oxytocin pada tikus betina yang punya anak, maka dia akan berhenti berperilaku maternal. Jika oxytocin berperan dalam perilaku maternal pada betina, maka vasopressin berperan dalam perilaku paternal pada jantan.
Pada montane voles dan prairie voles, oxytocin dan vasopressin memengaruhi perilaku monogami. Kalau kadar kedua hormon ini tinggi, mereka cenderung untuk monogami. Untuk meneliti neuropeptides ini pada manusia cukup sulit karena kita tidak bisa mengukur neuropeptides di bagian kecil otak manusia, sehingga yang diteliti adalah kadar neuropeptide pada sirkulasi di dalam tubuh, yang merupakan pengukuran tidak langsung. Meskipun demikian, neuropeptides ini memiliki peran dalam human pair-bonding. Neuropeptides tidak hanya memfasilitasi hubungan antara orangtua dan anak, melainkan juga hubungan antar pasangan.
Selaras efeknya pada bonding, oxytocin menghambat central amygdala, menekan rasa takut dan cemas, juga mengaktifkan parasympathetic nervous system yang tenang dan vegetative. Oxytocin mengurangi agresi pada rodents dan pada tikus yang dihapus gen oxytocin-nya menjadi sangat agresif. Studi lain menunjukkan ketika partisipan diberikan stimulus oxytocin mereka menjadi lebih mudah percaya pada orang lain. Efek lainnya, yaitu membuat individu menjadi lebih gampang mendeteksi wajah bahagia dibandingkan wajah marah, takut, atau netral dan gampang mendeteksi kata-kata yang berkonotasi positif; menjadi lebih dermawan; menjadi lebih responsif pada social reinforcement. Jadi, oxytocin menghasilkan perilaku prososial dan oxytocin juga dikeluarkan ketika kita mengalami perilaku prososial.
Sepertinya neuropeptides ini hormon yang “baik” ya. Nyatanya, dia juga memiliki sisi gelapnya. Vasopressin dapat meningkatkan agresi pada rodents jantan yang memang sudah memiliki kecenderungan agresif. Oxytocin memang dapat membuat individu berperilaku prososial, tetapi pada kelompoknya sendiri atau orang-orang yang sudah dikenal, tetapi bisa jadi berperilaku buruk pada orang di luar grupnya.
Ada yang namanya agresi maternal atau maternal aggression. Pada masa late pregnancy, progesteron dan estrogen meningkatkan agresi maternal dengan meningkatkan pelepasan oxytocin pada area tertentu di otak. Estrogen memang dapat meningkatkan agresi maternal, tetapi dia mengurangi agresi, meningkatkan empati dan mengenali emosi. Progesterone juga meningkatkan agresi maternal, tetapi dia mengurangi agresi dan kecemasan.
Salah kaprah yang lain: alkohol dapat meningkatkan perilaku agresi. Yang benar adalah alkohol dapat meningkatkan agresi pada: (a) individu yang memang sudah rentan terhadap agresi; (b) individu yang memang percaya alkohol dapat meningkatkan seseorang menjadi agresif, sekali lagi ini menunjukkan kekuatan social learning dalam membentuk biologi. Alkohol memiliki efek yang berbeda-beda pada setiap orang.
Bab 5: Days to Months Before
Bagaimana cara otak mengingat? Memori disimpan di neuron dan memori yang baru membutuhkan neuron yang baru pula sebagai tempat penyimpanannya. Pengetahuan pun berkembang, ide tentang memori ini pun dimodifikasi: sebuah memori baru memerlukan pembentukan sinapsis baru, koneksi baru antar axon terminal, dan a dendritic spine. Akan tetapi, spekulasi ini dibantah oleh Donald Hebb, seorang neurobiolog dari Kanada. Dalam bukunya yang berjudul The Organization of Behaviour, Hebb mengajukan sebuah ide bahwa pembentukan memori tidak membutuhkan sinapsis baru (apalagi neurons atau branch baru), melainkan yang dibutuhkan adalah menguatkan sinapsis yang sudah ada.
Apa yang dimaksud dengan “menguatkan” dalam konteks ini? Sapolsky menjelaskan begini:
Translated into cellular terms, “strengthening” means that the wave of excitation in a dendritic spine spreads farther, getting closer to the distant axon hillock.
macam-macam tipe dendritic spines
gambar dari sini
axon hillock
gambar dari sini
Cara menguatkan sinapsis ini dengan repeated firing across a synapse “strengthens” it, with a key role played by the neurotransmitter glutamate. Glutamate signalling ini esensial dalam proses belajar. Berikutnya di dalam buku terlalu banyak istilah teknis yang saya juga bingung jadi mari kita lewati saja bagian tersebut. Intinya, esensi dari pembelajaran adalah diulang secara terus-menerus. Pada synaptic level, ini juga berlaku. Axon terminal yang secara terus-menerus mengeluarkan glutamate sama seperti guru yang terus-menerus, berulang-ulang mengajarkan materi ke muridnya; sampai ketika ambang batas postsynaptic terlewati dan NMDA receptors teraktivasi adalah saat dendritic spine akhirnya menerima “informasi” dan membentuk memori baru.
Meski orang buta tidak bisa membaca selayaknya orang yang bisa melihat, tetapi sewaktu mereka membaca dengan huruf Brailler virtual cortex mereka aktif. Sama seperti orang tuli. Ketika mereka melihat orang lain berbicara menggunakan bahasa isyarat, auditory cortex mereka aktif.
Dulu memang dipercaya ketika sudah mencapai usia dewasa, otak tidak lagi tidak membuat neurons baru. Akan tetapi, sekarang hal tersebut sudah terbantahkan. Pembentukan neurons baru juga terjadi pada otak manusia dewasa.
Bab 6: Adolescence; or, Dude, Where’s My Frontal Cortex?
Pada usia remaja tidak jarang kita melihat perilaku labil, membangkang, nakal. Kalau kata Sapolsky, masa remaja hingga dewasa muda adalah masa-masa it’s the time of life of maximal risk taking, novelty seeking, and affiliation with peers. Penyebabnya dikarenakan frontal cortex yang belum berkembang sempurna.
Kenapa remaja kerap kesulitan mengatasi peer pressure? Kenapa bagi remaja peers punya kekuatan sosial yang sangat kuat? Karena remaja lebih bergaul dan hubungan sosialnya lebih kompleks dibandingkan anak-anak dan dewasa. Dunia sosial pada remaja memang sangat fokus melibatkan afek (affect) dan respon terhadap sinyal dari emosi. Rasa akan need to belong pada mereka memang besar. Penolakan sangat menyakitkan bagi remaja.
Ini menyebabkan kerentanan mereka terhadap tuntutan teman sebaya mereka. Sayangnya, tuntutan ini kebanyakan menyimpang atau bersifat negatif, seperti penyalahgunaan narkoba, seks bebas, melakukan tindakan kekerasan dan kriminal. Meski begitu, remaja memiliki empati yang sangat besar.
Puncak perilaku kekerasan remaja terjadi bukan karena hormon testosterone (kita sudah pernah bahas di bab 4). Kekerasan remaja terjadi karena remaja tidak memiliki self-regulation atau penilaian yang baik seperti pada orang dewasa. Hal ini dapat membuat kita menyimpulkan bahwa teenage offenders tidak dapat dikatakan bertanggung jawab penuh atas kejahatannya dibandingkan pelaku kriminal dewasa.
Terlambat berkembangnya frontal cortex ini barangkali yang menyebabkan manusia sebagai spesies dengan kehidupan sosial yang begitu kompleks jika dibandingkan spesies lain. Frontal cortex merupakan bagian otak yang least constrained oleh gen dan paling terpengaruh dari pengalaman yang terbentuk.
Bab 7: Back to the Crib, Back to the Womb
Tahapan perkembangan kognitif menurut Jean Piaget:
- Sensorimotor stage (0 – 24 bulan). Pikiran hanya terfokus pada apa yang bayi bisa rasakan oleh indranya dan eksplor.
- Preoperational stage (~2 – 7 tahun). Anak bisa membayangkan sebuah ide tanpa harus melihat contoh nyata di depannya. Berpikir secara simbolik, membayangkan permainan imajiner. Namun, masih berpikir intuitif, no no logic, no cause and effect.
- Concrete operational stage (~7 – 12 tahun). Anak-anak mulai dapat berpikir logis, tapi belum dapat berpikir abstrak.
- Formal operational stage (remaja dan seterusnya). Mulai dapat berpikir abstrak, bernalar, dan metakognisi.
Pada bab ini banyak membahas perkembangan moral pada anak-anak. Berhubung beberapa studi dan topik yang dibahas mirip-mirip dengan buku Just Babies dari Paul Bloom yang sudah saya tulis rangkumannya di sini, maka saya tidak akan menjelaskannya kembali di sini.
Peran ibu sangat penting bagi anaknya. Apa yang anak-anak butuhkan dari ibunya? Cinta, kehangatan, afeksi, ibu yang responsif/tanggap, stimulasi, konsistensi, dan dapat diandalkan. Apa yang akan terjadi jika anak-anak tidak mendapatkan semuanya? Kecemasan, depresi, dan poorly attached adults.
Berbagai musibah berat yang dialami di masa anak-anak (childhood adversity), seperti kekerasan fisik dan seksual, diabaikan orangtua, dan lainnya, ketika dia dewasa dapat meningkatkan kemungkinan: depresi; kecemasan dan/atau penyalahgunaan obat-obatan; rusaknya kontrol impuls dan regulasi emosi; perilaku antisosial, termasuk kekerasan; berada di dalam hubungan yang tidak sehat mengulang dari apa yang dia lihat sewaktu kecil, misalnya bertahan dengan pasangan yang kasar.
Segala musibah berat yang dialami tentunya dapat membuat stres dan dapat menyebabkan kelainan secara fisiologis, terutama di otak. Peristiwa penyebab stres dapat membuat anak-anak dan orang dewasa memiliki kadar glucocorticoid yang meningkat tajam (bersama dengan CRH and ACTH, the hypothalamic dan pituitary hormones yang mengatur pelepasan glucocorticoid) dan hiperaktifnya sympathetic nervous system. Michael Meaney dari McGill University telah menunjukkan peristiwa stres yang terjadi pada masa anak-anak dapat secara permanen menumpulkan kemampuan otak untuk mengendalikan sekresi glucocorticoid.
Berlebihnya glucocorticoids di otak, terutama di masa perkembangan, dapat berpengaruh buruk terhadap kognisi, kontrol impuls, empati, dan sebagainya. Hubungan antara musibah yang terjadi pada masa anak-anak dan kematangan frontocortical berhubungan dengan kemiskinan. Studi yang dilakukan oleh Martha Farah dari University of Pennsylvania, Tom Boyce dari UCSF, dan lainnya menunjukkan: pada usia lima tahun, semakin rendah status ekonomi sosial (SES) seorang anak, rata-rata:
1. memiliki kadar basal glucocorticoid yang lebih tinggi dan lebih reaktif terhadap respon stres
2. semakin tipis frontal cortex dan semakin rendah metabolismenya
3. semakin buruknya fungsi frontal yang terkait dengan memori, pengaturan emosi, mengontrol impuls, dan pengambilan keputusan.
Childhood adversity dapat menyebabkan berhentinya perkembangan dan menumpulkan fungsi dari hippocampus dan frontal cortex. Berkebalikan dengan amygdala. Justru semakin banyaknya musibah berat yang membuat stres, amygdala menjadi semakin lebih besar dan hiperreaktif. Hal ini dapat menyebabkan gangguan kecemasan; jika ditambahkan dengan terganggunya perkembangan frontocortical, dapat menyebabkan permasalahan emosi dan perilaku, terutama dalam mengontrol impuls.
Childhood adversity mempercepat kematangan amygdaloid. Dia dapat menghambat tugas dari frontal cortex. Childhood adversity juga dapat merusak sistem dopamine dengan dua cara. Pertama, rusaknya sistem dopamine ini dapat menyebabkan individu rentan kecanduan narkoba dan alkohol. Kedua, rusaknya sistem dopamine ini juga dapat menyebabkan seseorang menjadi depresi dengan anhedonia — ketidakmampuan untuk merasakan, mengantisipasi, atau mencari kesenangan — sebagai simtom utamanya. Stres kronik menguras dopamine yang ada di mesolimbic system sehingga menyebabkan anhedonia.
Pola asuh orangtua berpengaruh pada perkembangan anak. Empat tipe pola asuh, yaitu authoritative, authoritarian, permissive, dan neglectful. Budaya juga berpengaruh. Secara umum terdapat dua jenis budaya, yaitu budaya kolektivis dan budaya individualis. Saya pernah membahas sebuah jurnal terkait hal tersebut di sini. Karena sudah dibahas, saya tidak akan membahasnya lagi ya.
Perbedaan kelas juga berpengaruh dalam perkembangan anak. Di AS, yang budaya individualistik, pola asuh di perbedaan kelas ini dibedakan menjadi:
1. kelas SES tinggi memiliki pola authoritative atau permissive.
2. kelas SES rendah memiliki pola authoritarian.
Bab 8: Back to When You Were Just a Fertilized Egg
Di bab 8 ini membahas gen, DNA, RNA, dan sejenisnya, tapi terlalu teknik. Sayangnya, saya tidak paham satupun apa yang ditulis. 😦
Jadi, saya akan lewati bagian yang terlalu teknis dan langsung saja ke bagian kesimpulan ya dengan langsung mengutip dari bukunya.
Genes have plenty to do with behavior. Even more appropriately, all behavioral traits are affected to some degree by genetic variability. They have to be, given that they specify the structure of all the proteins pertinent to every neurotransmitter, hormone, receptor, etc. that there is. And they have plenty to do with individual differences in behavior, given the large percentage of genes that are polymorphic, coming in different flavors. But their effects are supremely context dependent. Ask not what a gene does. Ask what it does in a particular environment and when expressed in a particular network of other genes (i.e., gene/gene/gene/gene . . . /environment).
Thus, for our purposes, genes aren’t about inevitability. Instead they’re about context-dependent tendencies, propensities, potentials, and vulnerabilities. All embedded in the fabric of the other factors, biological and otherwise, that fill these pages.
Intinya, kita jangan terlalu berlebihan menggeneralisasi peran gen. Gen memang berpengaruh dalam perilaku kita, tetapi dia sifatnya context dependent, alias berinteraksi juga dengan lingkungan. Seseorang barangkali memang punya bakat untuk menjadi psikopat, entah itu pembunuh atau pemerkosa berantai, tetapi gen psikopatnya tersebut baru aktif jika dia sejak kecil mengalami penyiksaan dan/atau keadaan SES-nya memang tidak baik.
Bab 9: Centuries to Millennia Before
Kenapa di beberapa negara bisa memiliki budaya individualis sementara di negara lain memiliki budaya kolektivis? Mengambil contoh di AS, setidaknya terdapat dua alasan. Pertama, imigrasi. Penduduk asli AS, yaitu Native Indian, paling hanya 0.9%. Sisanya adalah imigran, anak dari imigran, dan keturunan dari imigran yang masuk ke AS dalam kurun waktu lima ratus tahun terakhir. Dan siapa saja para imigran ini?
Those in the settled world who were cranks, malcontents, restless, heretical, black sheep, hyperactive, hypomanic, misanthropic, itchy, unconventional, yearning to be free, yearning to be rich, yearning to be out of their damn boring repressive little hamlet, yearning. Couple that with the second reason—for the majority of its colonial and independent history, America has had a moving frontier luring those whose extreme prickly optimism made merely booking passage to the New World insufficiently novel—and you’ve got America the individualistic.
Asia Timur seringkali dijadikan contoh budaya kolektivis. Kenapa demikian? Kuncinya adalah budaya dibentuk oleh bagaimana masyarakatnya hidup, yang pada akhirnya dibentuk oleh ekologi. Nasi adalah makanan pokok orang-orang di Asia. Sebelum menjadi nasi, proses menanam padi, kemudian panen beras, adalah sebuah pekerjaan komunal. Masyarakatnya bekerja sama dalam menanam padi dan berbagi air untuk mengairi sawahnya.
Budaya juga bisa dibagi menjadi stratified dan egalitarian. Masyarakat hunter-gatherer biasanya lebih egaliter di sepanjang sejarah hominin. Ketimpangan dimulai sejak “barang” atau kepemilikan diciptakan, diikuti dengan animal domestication dan pertanian.
The more stuff, reflecting surplus, job specialization, and technological sophistication, the greater the potential inequality. Moreover, inequality expands enormously when cultures invent inheritance within families.
Kenapa stratified cultures dapat mendominasi dan bisa dibilang menyingkirkan budaya egaliter? Menurut Peter Turchin, stratified cultures itu cocok menjadi penakluk, budaya tersebut ada rantai komando. Pada lingkungan yang tidak stabil atau sumber daya terbatas, stratified cultures kemungkinan besar lebih sukses untuk bisa bertahan dibandingkan budaya egaliter karena pada stratified cultures tega untuk mengesampingkan nyawa mereka yang berada di kelas bawah.
In other words, when times are tough, the unequal access to wealth becomes the unequal distribution of misery and death.
Well, diskriminasi kelas itu memang nyata adanya dan sudah terjadi sejak jaman dahulu kala.
Bab 10: The Evolution of Behavior
Evolution rests on three steps:
(a) certain biological traits are inherited by genetic means;
(b) mutations and gene recombination produce variation in those traits;
(c) some of those variants confer more “fitness” than others.
Beberapa miskonsepsi terkait evolusi:
- Evolution favors survival of the fittest. Instead evolution is about reproduction, passing on copies of genes. An organism living centuries but not reproducing is evolutionarily invisible.
- Evolution can select for preadaptations—neutral traits that prove useful in the future.
- Living species are somehow better adapted than extinct species. Spesies-spesies yang punah ini beradaptasi juga, tetapi lingkungan berubah dengan sangat cepat dan merugikan mereka sehingga mereka “menyerah”. Ancaman yang sama juga berlaku buat kita. Contohnya: ancaman pemanasan global.
- Evolution directionally selects for greater complexity. Evolusi tidak selalu memilih organisme dengan multiseluler yang kompleks. Contohnya: wabah penyakit yang disebabkan oleh bakteri (karena bakterinya berevolusi).
- Evolution is “just a theory.” Evolusi ada buktinya. Kalau ada waktu luang, bolehlah mencari sendiri apa saja bukti evolusi. Hehe.
Evolusi juga bisa memengaruhi perilaku. Sosiobiologi adalah cabang ilmu dari biologi yang berfokus pada evolusi dari perilaku sosial. Sosiobiologi berkembang di tahun 1970an dan melahirkan cabang ilmu lain, yaitu Psikologi Evolusi. Psikologi Evolusi adalah sebuah studi yang mempelajari peran evolusi dalam pembentukan sifat (traits) psikologis.
Tiga pondasi dasar dalam evolusi dari perilaku adalah individual selection, kin selection, dan reciprocal altruism. Contoh dari individual selection: langur jantan di Mount Abu, India, yang membunuh bayi-bayi langur hanya karena mereka ingin kawin dengan betina langur yang sedang menyusui. Karena kan kalau betinanya sedang menyusui dan mengurus bayi, otomatis mereka tidak ovulasi, sementara para jantan ini ingin kawin agar mereka punya keturunan dan mereka bisa mewariskan gen mereka ke generasi berikutnya. Contoh kin selection: mengutamakan untuk menolong saudara sendiri yang memiliki hubungan darah ketimbang menolong orang asing. Contoh reciprocal altruism: kelelawar yang malam ini dapat makanan dari kelelawar lain, maka di masa mendatang dia harus melakukan hal serupa untuk kelelawar yang sudah memberinya makanan. Selain ketiga pondasi dasar tersebut, ada satu lagi yang belakangan baru muncul, yaitu neo-group selection atau multilevel selection.
Bab 11: Us Versus Them
Us versus Them ini harus diakui sangat melekat di manusia. Buktinya:
(a) kecepatan dan minimalnya sensor stimulus yang dibutuhkan oleh otak untuk memproses atau mengenali orang yang berbeda dari kita (dari ras, warna kulit, dan lain-lain);
(b) proses tersebut terjadi secara tidak sadar;
(c) hal tersebut ada juga di primata lain dan sudah muncul pada bayi;
(d) the tendency to group according to arbitrary differences, and to then imbue those markers with power.
Biasanya kita melihat “Us” atau kelompok sendiri sebagai yang paling benar, paling bijak, paling oke, paling berharga dibandingkan kelompok lain. Sementara kita melihat “Them” sebagai kelompok yang penuh ancaman, amarah, berbahaya, dan tidak dapat dipercaya.
Dikotomi Us/Them ini sukar untuk dihilangkan. Yang dapat kita lakukan adalah meminimalisir efek buruk dari Us/Them tersebut. Apa saja yang dapat dilakukan?
1. Menekankan individuasi dan shared attributes (maksudnya jangan terlalu melekat ke dalam kelompok?)
2. Mencoba untuk melihat dari berbagai sudut pandang (perspective taking).
3. Pembedaan dikotomi yang lebih halus (benign dichotomies).
4. Mengurangi perbedaan hierarki.
5. Menyatukan orang-orang dengan memberikan tujuan yang sama. Barangkali kalau sekarang ini contohnya sudah saatnya kita kesampingkan semua perbedaan dan bersama-sama berjuang untuk mengurangi efek pemanasan global.
Di bagian akhir bab ini, saya akan mengutip satu paragraf yang sangat mengena di saya.
I’m a fairly solitary person—after all, I’ve spent a significant amount of my life studying a different species from my own, living alone in a tent in Africa. Yet some of the most exquisitely happy moments of my life have come from feeling like an Us, feeling accepted and not alone, safe and understood, feeling part of something enveloping and larger than myself, filled with a sense of being on the right side and doing both well and good.
Bab 12: Hierarchy, Obedience, and Resistance
A hierarchy is a ranking system that formalizes unequal access to limited resources, ranging from meat to that nebulous thing called “prestige.”
Cara mendapatkan ranking tertinggi pada hierarki, kalau di babon betina didapatkan secara keturunan. Sementara, jantannya mendapatkan ranking tertinggi melalui cara fisik. Nanti setelah mendapatkan ranking tinggi, dia harus mempertahankannya dengan cara memanfaatkan keahlian bersosialisasi alih-alih kemampuan fisiknya. Alpha babon jantan harus tahu kapan harus mengabaikan provokasi dari babon jantan lain dan kapan harus membangun koalisi. Alpha babon jantan harus bisa memahami aksi dari babon jantan lain.
Kompetensi sosial itu sangat menantang dan ini tercermin dari otak. Robert Dunbar bilang semakin besar kelompok sosial pada suatu spesies, maka: (a) semakin besar otaknya, tergantung dengan ukuran tubuhnya; (b) semakin besar neocortex-nya, tergantung dengan ukuran otaknya.
Apakah terdapat perbedaan kadar testosteron antara jantan yang ranking tinggi dengan ranking rendah? Pada primata, tidak terdapat perbedaan. Namun, yang patut diingat:
- Pada hierarki yang stabil, alpha jantannya tidak memiliki kadar testosteron tertinggi. Justru yang memiliki kadar testosteron tinggi adalah para pejantan dengan ranking rendah karena mereka tidak dapat menyelesaikan perkelahian yang mereka mulai.
- Pengecualian terjadi pada saat-saat yang tidak stabil. Misalnya, pada saat alpha jantan baru berada di puncak kekuasaan untuk beberapa bulan pertama kekuasaan.
- If status is maintained aggressively, testosterone fosters aggression; if status were maintained by writing beautiful, delicate haikus, testosterone would foster that.
Enam pondasi moralitas menurut Jonathan Haidt: care versus harm; fairness versus cheating; liberty versus oppression; loyalty versus betrayal; authority versus subversion; sanctity versus degradation.
Kepatuhan memiliki jalinan erat dengan konformitas. Keduanya berakar sangat dalam dan dapat ditemukan juga pada primata lainnya, seperti simpanse. Dan ketika kita berperilaku patuh atau konformitas, otak kita bekerja demikian. Pada berbagai studi konformitas yang telah dilakukan, ketika partisipan berbeda jawaban dari yang lain maka kemungkinan besar dia akan mengganti jawaban. Pada saat ini terjadi, semakin kita berbeda jawaban dari yang lain, amygdala dan insular cortex kita “menyala”. Semakin aktif amygdala dan insular cortex, semakin besar kemungkinan kita untuk mengganti jawaban agar sama dengan jawaban yang lain.
When you get the news that everyone else disagrees with you, there is also activation of the (emotional) vmPFC, the anterior cingulate cortex, and the nucleus accumbens. This is a network mobilized during reinforcement learning, where you learn to modify your behavior when there is a mismatch between what you expected to happen and what actually did. Find out that everyone disagrees with you and this network activates. What is it basically telling you? Not just that you’re different from everyone else. That you’re wrong. Being different = being wrong. The greater the activation of this circuit, the greater the likelihood of changing answers to conform.
Sapolsky membahas studi konformitas yang dilakukan oleh Asch dan studi kepatuhan yang dilakukan oleh Milgram dan Zimbardo. Saya pernah membahas singkat studi konformitas Asch di sini, studi kepatuhan Milgram di sini, dan studi Stanford Prison Experiment Zimbardo di sini. Jadi, saya tidak membahas lagi ya.
Meski dari studi Milgram dan Zimbardo sepertinya pesimis karena orang bisa saja patuh membabi buta dan orang baik bisa menjadi jahat, tetapi akan selalu ada yang berani melawan. Misalnya, orang-orang dari suku Hutu yang rela mati melindungi suku Tutsi sewaktu genosida di Rwanda tahun 1994, orang-orang Jerman yang melindungi orang-orang Yahudi, informan rahasia (whistleblower) yang membongkar penyiksaan tahanan di Abu Ghraib.
Bab 13: Morality and Doing the Right Thing, Once You’ve Figured Out What That Is
Moral pada manusia sudah muncul sejak masih bayi. Untuk lebih lengkapnya tentang asal-usul moral dan perkembangannya, teman-teman bisa baca rangkuman saya dari buku Just Babies yang ditulis oleh Paul Bloom di sini. Pada kadar tertentu, penilaian moral juga ditemukan pada spesies lain, seperti pada capuchin, macaque, anjing. Mereka bisa mengerti konsep ketidakadilan. Misalnya, capuchin 1 dikasih anggur, sementara capuchin 2 dikasih potongan mentimun. Capuchin 2 akan ngamuk-ngamuk dan ngambek.
De Waal memaknai ini dengan sangat dalam. Akar dari moral manusia jauh lebih tua daripada institusi sosial, hukum, dan khotbah agama.
Rather than human morality being spiritually transcendent (enter deities, stage right), it transcends our species boundaries.
Ada yang namanya free-riding punishment, yaitu ketika menghukum orang lain yang menyumbang atau berkontribusi lebih sedikit dari kita. Dan ada yang namanya antisocial punishment, yaitu menghukum orang lain yang menyumbang atau berkontribusi lebih banyak (terlalu dermawan) dari kita. Ini dapat diartikan:
It’s a phenomenon where you punish someone for being nice, because what if that sort of crazy deviance becomes the norm and you feel pressure to be nice back?
Jika kita membicarakan moral, maka kita akan bertemu dengan konsep consequentialism dan deontology. Keduanya adalah:
1. Consequentialism, mengedepankan hasil akhir yang baik. contoh: tidak apa-apa membunuh bayi jika dari membunuh bayi tersebut bisa membuat dunia menjadi lebih baik dan bahagia.
2. Deontology, mengedepankan aturan/nilai meski hasil akhirnya buruk. contoh: tentara Nazi mengetuk pintu rumah kita dan menanyakan apakah ada orang Yahudi yang bersembunyi, karena menurut pandangan deontology ini kalau berbohong itu buruk meski tujuannya untuk melindungi orang Yahudi tersebut, maka kita akan memberitahu tentara Nazi tersebut.
Bab 14: Feeling Someone’s Pain, Understanding Someone’s Pain, Alleviating Someone’s Pain
Hewan juga bisa merasakan rasa sakit yang terjadi pada hewan lain. Misalnya, dua tikus yang berada dalam satu kandang. Salah satunya, tikus A, disuntik cairan untuk menimbulkan rasa tidak nyaman. Tikus A tersebut menjilati kakinya untuk mengurangi rasa tidak nyaman. Tikus B yang melihat perilaku tikus A jadi ikut-ikutan menjilat kakinya sendiri. Semakin sering tikus A menjilat, semakin sering pula tikus B menjilat. Demikian juga semakin sedikit tikus A menjilat, semakin sedikit pula tikus B menjilat.
Segala sesuatu hal yang berhubungan dengan empati proses neurobiological roads akan melalui anterior cingulate cortex (ACC). ACC yang bertugas memaknai arti rasa sakit–social and emotional pain, dikucilkan secara sosial, kecemasan, rasa jijik, rasa malu, dan juga physical pain. Major depression diasosiasikan dengan berbagai keabnormalan pada ACC.
Tidak hanya memikirkan kesejahteraan diri sendiri, ACC juga berperan dalam respon empati jika melihat orang lain sedih, merasa sakit, tertimpa musibah. Semakin menyedihkan situasi orang lain, maka ACC pada individu akan semakin aktif (semakin berempati). ACC juga bertanggungjawab pada perilaku individu untuk membantu orang lain menghilangkan stresnya.
Seseorang ditunjukkan foto atau cerita orang lain yang tertimpa musibah. Jika detak jantungnya meningkat (indikator peripheral dari kecemasan dan meningkatnya amygdaloid), maka kecil kemungkinan dia akan menolong. Pada bab sebelumnya juga kita sudah bahas saat orang diberikan tugas kognitif yang berat, lalu dia merasa lelah, kecil kemungkinan dia mau menyumbangkan dana.
Di bab ini kita membahas simpati, empati, dan compassion. Ketiganya berbeda. Simpati adalah kita ikut merasakan perasaan orang lain (lebih ke affection). Empati adalah kita memahami perasaan orang lain, mencoba membayangkan jika berada di posisi mereka (lebih ke cognition). Sementara compassion adalah kita bisa memahami perasaan orang lain, tetapi ketika kita bisa detached perasaan, tidak terbawa perasaan, dan bisa melihat segala sesuatu dengan jernih, kita bisa berlaku compassion untuk menolong orang tersebut.
Matthieu Ricard pernah dipindai otaknya sewaktu beliau diminta untuk berempati pada orang-orang yang menderita. Hasil pindaian otak Ricard menunjukkan sirkuit otak aktif yang sama, ada ACC, amygdala aktif, dan lain-lain. Ricard bilang, “The empathic sharing very quickly became intolerable to me and I felt emotionally exhausted.” Itu empati. Kemudian, Ricard diminta untuk berfokus pikirannya pada compassion. Hasil pindaian otak menunjukkan hal yang berbeda. Amygdala-nya tenang dan yang aktif malahan mesolimbic dopamine system. Ricard menjelaskan pada momen tersebut, “A warm positive state associated with a strong prosocial motivation.”
Bab 15: Metaphors We Kill By
Manusia rela mati dan rela membunuh demi simbol-simbol yang dianggap memiliki nilai suci, seperti agama, bendera, lagu, kartun, pakaian. Dan bab ini membahas kenapa bisa begitu.
Membayangkan makanan tengik, melihat wajah yang berekspresi jijik atau wajah yang tidak menarik, maka insula akan teraktivasi. Insula ini berhubungan dengan visceral response. Ini semacam respon mual. Membayangkan perbuatan yang tidak bermoral dapat menimbulkan visceral response. Orang-orang yang konservatif memiliki batas toleransi visceral disgust yang rendah ketimbang orang-orang yang progresif. Orang konservatif gampang mual atau muntah jika melihat atau mengetahui perbuatan yang tidak sesuai dengan standar moral mereka.
Studi yang dilakukan oleh Chen-Bo Zhong dari University of Toronto dan Katie Liljenquist dari Northwestern University menunjukkan bahwa otak mengalami kesulitan untuk membedakan antara orang yang baru saja berbuat tidak bermoral dan orang yang perlu mandi. Partisipan diminta untuk membayangkan perbuatannya yang bermoral dan tidak bermoral di masa lampau. Kemudian peneliti menawari partisipan untuk memilih hadiah antara pensil atau tisu antiseptik. Partisipan yang disuruh membayangkan perbuatan tidak bermoral lebih memilih tisu antiseptik. Studi lain juga menunjukkan efek serupa. Partisipan diminta untuk berbohong. Semakin parah kebohongannya, semakin tinggi keinginan partisipan untuk membasuh dirinya. Ini dikenal dengan istilah Macbeth effect.
Bab 16: Biology, the Criminal Justice System, and (Oh, Why Not?) Free Will
Pada bab ini lebih membahas hukum di AS sana, bagaimana peradilannya, bagaimana sistemnya. Dan apakah penjahat yang melakukan kejahatan dapat dihukum karena melakukan tindakan kejahatannya atas kemauan sendiri (free will) atau memang sudah dari sononya dia berbuat begitu (tidak capable untuk disidang karena faktor kesehatan mental, faktor biologis, faktor otaknya, dll, intinya mah determinisme).
Sapolsky menyebut istilah mitigated free will. Saya langsung mengutip saja ya penjelasan Sapolsky bagaimana dia memahami mitigated free will:
There’s the brain—neurons, synapses, neurotransmitters, receptors, brain-specific transcription factors, epigenetic effects, gene transpositions during neurogenesis. Aspects of brain function can be influenced by someone’s prenatal environment, genes, and hormones, whether their parents were authoritative or their culture egalitarian, whether they witnessed violence in childhood, when they had breakfast. It’s the whole shebang, all of this book.
And then, separate from that, in a concrete bunker tucked away in the brain, sits a little man (or woman, or agendered individual), a homunculus at a control panel. The homunculus is made of a mixture of nanochips, old vacuum tubes, crinkly ancient parchment, stalactites of your mother’s admonishing voice, streaks of brimstone, rivets made out of gumption. In other words, not squishy biological brain yuck.
And the homunculus sits there controlling behavior. There are some things outside its purview—seizures blow the homunculus’s fuses, requiring it to reboot the system and check for damaged files. Same with alcohol, Alzheimer’s disease, a severed spinal cord, hypoglycemic shock.
Kesimpulannya, homunculus ini yang mengontrol perilaku. Akan tetapi, jika terjadi sesuatu pada homunculus, dia tidak bisa mengontrol perilakunya. Misalnya, kerusakan otak yang parah, kecanduan alkohol, penyakit Alzheimer, kerusakan spinal cord, dan hypoglycemic shock. Sapolsky sendiri tidak percaya dengan free will.
The artificial intelligence pioneer Marvin Minsky once defined free will as “internal forces I do not understand.” People intuitively believe in free will, not just because we have this terrible human need for agency but also because most people know next to nothing about those internal forces.
Bab 17: War and Peace
Di bab ini Sapolsky membahas sekilas buku Steven Pinker yang berjudul The Better Angel of Our Nature: Why Violence Has Declined. Pinker bilang di jaman modern ini agresi memang jauh berkurang dibandingkan puluhan atau ratusan tahun yang lalu, tapi Pinker memakai contoh Eropa atau negara Barat. Di sana ya relatif aman sejak akhir Perang Dunia II, tapi cobalah tengok ke negara-negara Afrika, Timur Tengah, atau Amerika Selatan. Di sana masih banyak konflik.
Menurut Sapolsky ada beberapa cara yang membuat manusia jarang berkonflik. Pertama, karena berpindah-pindah. Dua suku nomaden yang berselisih dapat mengurangi ketegangannya dengan salah satunya berpindah tempat. Dua, perdagangan. Kalau mau perdagangan lancar dan menguntungkan banyak pihak, ya harus bekerja sama dan jangan banyak ribut.
Kemudian, agama juga dapat membuat orang tidak berkonflik. Agama dapat mendorong penganutnya untuk melakukan prosocial behavior. Hal itu bisa saja karena perbuatan baik dilihat oleh banyak orang, membayangkan bahwa ada Tuhan yang melihat dapat meningkatkan perbuatan prosocial. Tapi, agama juga dapat mendorong manusia untuk berkonflik. Banyaklah contoh perang atau kebencian atas nama agama.
Bab ini juga membahas contoh-contoh konflik yang terjadi di berbagai negara, kerjasama, hukuman, rekonsiliasi, dan masih banyak lagi. Di bab ini juga dibahas kisah-kisah heroik, seperti bunuh dirinya Mohamed Bouazizi memicu terjadinya peristiwa Arab Spring; Zenji Abe — pilot Jepang pada peristiwa Pearl Harbor — meminta maaf kepada korban Pearl Harbor; Hugh Thompson, Jr., Glenn Andreotta, dan Lawrence Colburn adalah tentara AS di Perang Vietnam yang menghentikan pembunuhan massal terhadap rakyat Vietnam yang tidak bersenjata, yang dilakukan oleh tentara AS.
Epilogue
Akhirnya sampai juga ke epilog! Di sini isinya semacam kesimpulan atau garis besar isi buku ini. Saya akan mengutip beberapa:
- Childhood adversity can scar everything from our DNA to our cultures, and effects can be lifelong, even multigenerational. However, more adverse consequences can be reversed than used to be thought. But the longer you wait to intervene, the harder it will be.
- Brains and cultures coevo.
- Cognition and affect always interact. What’s interesting is when one dominates.
- Genes have different effects in different environments; a hormone can make you nicer or crummier, depending on your values; we haven’t evolved to be “selfish” or “altruistic” or anything else—we’ve evolved to be particular ways in particular settings. Context, context, context.
- Genes aren’t about inevitabilities; they’re about potentials and vulnerabilities. And they don’t determine anything on their own. Gene/environment interactions are everywhere. Evolution is most consequential when altering regulation of genes, rather than genes themselves.
- We aren’t chimps, and we aren’t bonobos. We’re not a classic pair-bonding species or a tournament species. We’ve evolved to be somewhere in between in these and other categories that are clear-cut in other animals. It makes us a much more malleable and resilient species. It also makes our social lives much more confusing and messy, filled with imperfection and wrong turns.
- When humans invented socioeconomic status, they invented a way to subordinate like nothing that hierarchical primates had ever seen before.
- People kill and are willing to be killed for symbolic sacred values. Negotiations can make peace with Them; understanding and respecting the intensity of their sacred values can make lasting peace.
- We are constantly being shaped by seemingly irrelevant stimuli, subliminal information, and internal forces we don’t know a thing about.
- Our worst behaviors, ones we condemn and punish, are the products of our biology. But don’t forget that the same applies to our best behaviors.
Dengan demikian selesailah rangkuman saya untuk buku ini. Terima kasih saya ucapkan kepada teman-teman yang membaca rangkuman ini sampai habis. Semoga bermanfaat dan bisa menambah pengetahuan buat teman-teman. Itu kalau ada yang baca. Kalau tidak ada, ya tidak apa-apa juga sih. Berarti yang baca paling hanya saya. Ha, ha.
Satu komentar pada “#109 – Behave”