#110 – Jalan Panjang untuk Pulang

56420519._sy475_

Judul: Jalan Panjang untuk Pulang
Penulis: Agustinus Wibowo
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (cetakan III, April 2021)
Halaman: 464
ISBN: 978-602-06-4757-9
Harga: Rp91.000 (diskon 30% dari Rp130ribu dan belum termasuk ongkir. Beli di Gramedia.com)
Rating: 5 dari 5 ⭐ – it was amazing

Lama tidak membuka media sosial membuat saya ketinggalan banyak berita, salah satunya adalah Agustinus Wibowo telah mengeluarkan buku terbaru di awal tahun ini. Alhasil, baru pada tanggal 26 Juli 2021 kemarin saya membeli bukunya dan baru dua hari (7 – 8 Agustus 2021) terakhir saya sempat baca sampai selesai.

Agustinus Wibowo sudah memukau saya sejak buku pertamanya Selimut Debu, yang mengisahkan perjalanan beliau di Afghanistan. Itu adalah perkenalan pertama saya dengan beliau. Tidak sampai di situ, saya terus mengikuti kisah perjalanannya di Garis Batas tahun 2011 dan Titik Nol di tahun 2013. Dan itu adalah pertemuan terakhir saya dengan Gus Weng (dalam hal membaca bukunya, maksudnya).

Delapan tahun berselang, Gus Weng masih memukau saya lewat tulisan-tulisannya. Jalan Panjang untuk Pulang berisi kumpulan tulisan beliau yang tersebar di berbagai media dalam dan luar negeri. Ia juga merupakan kumpulan cerita beliau dari berbagai lokasi di dunia. Jadinya, Jalan Panjang untuk Pulang semacam karya seni mozaik yang indah. Tulisan dan cerita beliau adalah kepingan-kepingan yang dikumpulkan sehingga membentuk buku Jalan Panjang untuk Pulang yang indah.

Ada alasan mengapa saya mengibaratkan buku ini seperti mozaik. Membuat mozaik itu tidak mudah, setidaknya itu dari yang saya baca di internet. Proses pembuatannya terbilang rumit, butuh kesabaran dan ketelatenan, tetapi hasilnya luar biasa indah. Demikian pula dengan buku ini.

Untuk membuat buku ini, yang terdiri dari 34 esai, Gus Weng harus melalui pengalaman panjang sejak perjalanan pertamanya ke Afghanistan di tahun 2003 hingga tahun 2020. Rentang waktu yang panjang itu diisinya dengan berbagai perjalanan. Tidak hanya menjelajahi Afghanistan, Gus Weng juga menjelajahi negara-negara pecahan Uni Soviet, seperti Tajikistan, Uzbekistan, dan lain-lain. Dia juga memenuhi rasa penasarannya untuk ke Papua Nugini. Dan masih banyak lagi.

Menariknya, Gus Weng tidak semata-mata menulis lokasi tersebut sebagai sebuah destinasi. Dia juga menuliskannya sebagai sebuah proses hidup. Ada cerita getir, haru, dan gembira di sana. Gus Weng mengajak kita untuk kembali meresapi dan memaknai hidup. Banyak pelajaran yang dapat kita petik dari buku ini.

Saya akan membahas beberapa pesan yang ingin disampaikan oleh buku ini. Pertama, Gus Weng mengkritik turisme. Beliau menulis:

Karena sesungguhnya turisme adalah sebentuk penjajahan. (hal. 214)

Sudah banyak contoh daerah wisata disulap demi menyenangkan para turis, meski harus mengabaikan ekosistem dan merusak lingkungan, juga kebudayaan setempat. Ini adalah harga mahal yang harus dibayar. Turisme memang bisa membawa banyak uang dan meningkatkan kualitas hidup. Akan tetapi, seperti yang Gus Weng bilang juga, “Ketergantungan total terhadap turisme itu mengkhawatirkan, bahkan membahayakan.” (hal. 215)

Kedua, tentang identitas diri. Ini sepertinya topik besar yang menjadi fokus buku ini. Gus Weng merupakan keturunan Tionghoa, lahir dan tumbuh di Lumajang, Jawa Timur. Tapi, sejak kecil dia mengalami perundungan karena matanya yang sipit. Dia diejek teman-temannya untuk pulang ke China.

Ketika dia kuliah di China pun, di tanah leluhurnya, dia tetap dianggap orang asing. Dia tetap harus mengurus birokrasi visa dan perkuliahan yang ribet. Biaya kuliah pun lebih mahal sepuluh kali lipat dibandingkan biaya untuk mahasiswa setempat. Di sini lah Gus Weng mengalami krisis identitas. Kenapa Indonesia dan China sama-sama menganggapnya asing? Inilah yang membuatnya tertarik untuk pergi ke daerah perbatasan atau daerah minoritas, seperti yang dikutip dari sini:

“Ini yang menggiringku ke daerah perbatasan atau daerah minoritas yang dihuni orang-orang diaspora. Dari mereka aku mendapatkan cerminku. Dari diaspora Jawa di Suriname, aku banyak sekali mendapatkan cermin kejawaanku di situ,” ujarnya.

Di buku ini kita bisa melihat tema tersebut ketika Gus Weng membahas diaspora Maluku yang ada di Belanda, Jawa yang ada di Suriname dan Belanda, orang Belanda yang belajar gamelan, perjalanan orang Kirgiz mencari tanah air, dan orang-orang Yahudi yang ada di Bukhara, Uzbekistan.

Ketiga, tentang konflik yang dibuat oleh manusia. Ketika Gus Weng membahas topik ini, saya kembali bertanya-tanya kenapa hanya karena berbeda suku, etnis, ras, dan agama, juga berbeda garis batas negara yang imajiner, dapat memantik konflik? Seperti yang dibahas di sini ada konflik di Kashmir (penduduk Kashmir mayoritas muslim, tapi di bawah pemerintahan India yang Hindu, dan mereka merasa direpresi oleh pemerintah India), konflik antara India dan Pakistan, konflik antara Tajikistan dan Kirgizstan.

Keempat, tentang penerimaan diri. Di sini Gus Weng mengajak kita ke Toraja untuk belajar bagaimana orang-orang Toraja pedalaman memaknai kematian sebagai “pesta”. Dari orang-orang Toraja kita bisa belajar untuk menerima kematian bukanlah suatu hal yang menakutkan dan menyedihkan. Kemudian, kita mengikuti pengalaman Gus Weng ketika retret meditasi selama sepuluh hari. Lalu, kita diajak untuk melihat Tuhan dan agama dari sisi yang berbeda. Ada satu paragraf yang sangat menyentuh dan akan saya kutipkan di sini:

… Kita tidak pernah tahu bagaimana cara Tuhan ingin berkomunikasi dengan umat-Nya. Mengapa kita harus membayangkan Tuhan hanya sebagai sosok yang serius dan sunyi kalau Dia juga bisa begitu cerita dan jenaka? Mengapa membayangkan Tuhan hanya sebagai sosok yang tegas dan suka menghukum, kalau Dia juga bisa penuh kegembiraan dan warna-warni yang bersahabat? (hal. 442)

Terakhir, bagaimana akhirnya Gus Weng menerima dirinya sendiri setelah berdialog dengan ayahnya.

Tetapi Cina ayahku adalah tentang penerimaan akan realitas dirinya, adalah perdamaian dari identitas-identitas yang tampaknya saling bertentangan. Indonesia telah menerimanya sebagai Cina, dan dia menerima Indonesia sebagai rumahnya. (hal. 459)

Ini diperkuat dengan pernyataan beliau sewaktu beliau diwawancarai Kompas:

“Aku tidak lagi dibuat gelisah oleh permasalahan apakah aku orang China atau Indonesia, apakah aku harus memilih identitas satu dan menolak yang lain. Itu memang butuh waktu. Buatku perdamaian ini adalah pulang.”

Membaca buku Gus Weng memang memberikan kepuasan tersendiri buat saya. Buku perjalanannya bukan semata-mata menceritakan tentang lokasi, tetapi lebih bercerita tentang manusia yang dia temui. Gus Weng menceritakannya dengan balutan tulisan yang indah membuat saya sangat menikmati setiap ceritanya.

Melalui buku ini, Gus Weng kembali mengajak saya untuk melihat keberagaman manusia. Untuk melihat perbedaan. Dan, sekali lagi, mengajarkan saya agar tidak mengkotak-kotakkan perbedaan itu. Karena sesungguhnya kita ini adalah satu: kita manusia dan kita setara.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: