Judul: Against Empathy: The Case for Rational Compassion
Penulis: Paul Bloom
Penerbit: Ecco
Halaman: 285
Rating: 4/5 ⭐ – really liked it
Seperti biasa saya akan merangkum hal-hal penting dari buku nonfiksi yang saya baca. Kali ini buku yang saya rangkum adalah Against Empathy dari Paul Bloom.
Melalui buku ini Paul Bloom mau bilang kalau empati itu lebih banyak mudharatnya ketimbang baiknya. Keputusan moral dan perilaku yang kita ambil kebanyakan berdasarkan dari empati. Justru hal ini malah membuat dunia menjadi lebih buruk. Bloom meyakini bahwa kita memiliki kapasitas yang lebih baik daripada hanya mengandalkan empati.
Bab 1: Other People’s Shoes
Definisi empati dari Paul Bloom: Empathy is the act of coming to experience the world as you think someone else does. Ada dua jenis empati, yaitu cognitive empathy dan emotional empathy. Cognitive empathy adalah bisa memahami penderitaan orang lain tanpa harus merasakannya. Sementara emotional empathy adalah memahami penderitaan orang lain dengan juga ikut merasakan penderitaannya tersebut. Emotional empathy bisa langsung muncul secara otomatis, tanpa disadari. Seperti refleks. Namun, empati lebih dari sekadar refleks. Ia bisa dilatih dan dikembangkan hanya dari imajinasi.
Kita tidak perlu empati kalau untuk menolong orang. Misalnya, ada anak yang tenggelam di kolam renang. Kita tidak perlu berempati — membayangkan perasaan si anak yang tenggelam atau membayangkan perasaan orangtua si anak yang panik karena anaknya tenggelam — untuk menolong anak tersebut. Siapapun akan langsung lompat ke kolam renang untuk menolong si anak. Karena kita tahu itu adalah perbuatan yang memang seharusnya dilakukan. Sama halnya kita tahu mencuri, membunuh, buang sampah sembarangan itu perbuatan buruk. Kita tidak perlu empati untuk bilang ini adalah perbuatan buruk.
Ini bisa berdasarkan dari moral yang kita punya. Keputusan-keputusan kita dalam menentukan apa yang baik dan buruk, motivasi kita dalam berperilaku, memiliki banyak sumber. Moralitas seseorang bisa bersumber dari agama, spiritual, atau filosofi. Bisa juga bersumber dari compassion.
Peter Singer bilang:
Singer goes further and argues that individuals like Kravinsky, motivated by their cold logic and reasoning, actually do more to help people than those who are gripped by empathic feelings. (hal. 27)
Misalnya Zell Kravinsky. Dia mendonasikan kekayaannya sejumlah US$45juta ke berbagai charities. Seolah itu belum cukup, dia mendonorkan ginjalnya juga. Peter Singer mendeskripsikan Kravinsky seperti ini:
“Kravinsky is a brilliant man: he has one doctorate in education and another on the poetry of John Milton. . . . He puts his altruism in mathematical terms. Quoting scientific studies that show the risk of dying as a result of making a kidney donation to be only 1 in 4,000, he says that not making the donation would have meant he valued his life at 4,000 times that of a stranger, a valuation he finds totally unjustified.”
Empati itu terbatas. Kita lebih mungkin berempati pada orang-orang yang lebih dekat dengan kita (misalnya jarak) dan memiliki kesamaan kita (warna kulit, suku, dan lain-lain) ketimbang mereka yang jauh dan berbeda dari kita. Kita juga hanya bisa berempati pada dua, maksimal tiga, orang pada saat bersamaan. Coba bayangkan untuk berempati pada seratus, seribu, atau sejuta orang. Sulit.
If God exists, maybe He can simultaneously feel the pain and pleasure of every sentient being. But for us mortals, empathy really is a spotlight. It’s a spotlight that has a narrow focus, one that shines most brightly on those we love and gets dim for those who are strange or different or frightening.
Bloom berargumen bahwa yang terpenting dari perbuatan baik dalam interaksi sehari-hari bukan empati melainkan self-control, inteligensi, dan compassion.
Bab 2: The Anatomy of Empathy
Bab dua dibuka dengan pertanyaan bagian otak di sebelah mana yang memproses empati. Bagian otak anterior insula dan cingulate cortex aktif ketika individu merasakan sakit dan melihat orang lain merasakan sakit.
Respon empati (empathic response) terjadi secara otomatis dan cepat. Misalnya, ketika kita melihat orang tanpa sengaja kejedot tembok, kita akan spontan flinch dan bilang, “Aduh!” Respon empati juga bisa dimodifikasi berdasarkan keyakinan, ekspektasi, motivasi, dan penilaian (judgments). Dengan kata lain, respon empati kita tergantung dari bagaimana kita menilai individu tersebut dan situasinya. Kita lebih mudah untuk berempati kepada orang yang baik sama kita ketimbang musuh kita. Kita juga lebih mudah berempati terhadap orang yang bekerja sama dengan kita daripada orang yang menjadi pesaing kita.
Jamil Zaki dan Kevin Oschner di dalam reviu artikelnya mengatakan ada yang namanya “a tale of two systems“, yaitu satu sistem melibatkan berbagi pengalaman dengan orang lain yang disebut dengan empati dan satu sistemnya lagi membayangkan keadaan mental orang lain, yang disebut dengan mentalizing atau membaca pikiran. Keduanya bisa aktif pada saat bersamaan, tetapi mereka aktif di area otak yang berbeda. Medial prefrontal cortex aktif pada saat mentalizing dan anterior cingulate cortex aktif pada saat berempati.
So criminal psychopaths don’t have to be fiddling with a single dial of empathy: A simpler explanation is that they are good at understanding other people and bad at feeling their pain. They have high cognitive empathy but low emotional empathy.
Kenapa empati bisa membuat kita menjadi lebih baik? Karena ketika kita merasakan kepedihan atau rasa sakit yang dialami orang lain dan kita menjadi tidak nyaman sehingga kita ingin menolongnya karena kita ingin rasa sakit itu hilang. A selfish reason, I must say. Akan tetapi, tidak jelas alasan egois tersebut bisa menjamin seseorang berbuat baik karena empati atau tidak. Atau, justru malah kabur dan tidak mau tahu. Misalnya, seorang wanita yang tinggal di dekat kamp Nazi dan melihat penyiksaan juga pembunuhan menulis surat bahwa dia tidak sanggup melihat kekejaman tersebut dan berharap agar kekejaman tersebut dihentikan atau kekejaman tersebut dilakukan di tempat lain di mana dia tidak melihatnya.
Dari salah satu paper yang mereviu berbagai studi tentang hubungan antara empati dan agresi hasilnya adalah hanya satu persen dari variasi agresi yang dilakukan sebagai akibat dari kurangnya empati. Ini artinya jika ingin menilai tingkat agresi seseorang adalah dari wawancara psikiatri, tes tertulis, catatan kejahatan, dan hasil pindaian otak. Tidak usah repot-repot mengukur tingkat empatinya. Sebelumnya juga Bloom sudah menjelaskan mengukur empati dengan menggunakan kuesioner hasilnya lebih lemah jika dibandingkan dengan membuat penelitian eksperimen seperti yang dilakukan oleh C. Daniel Batson.
Kesimpulan dari bab ini adalah: Being high in empathy doesn’t make one a good person, and being low in empathy doesn’t make one a bad person.
Bab 3: Doing Good
Batson melakukan eksperimen kepada dua kelompok. Kelompok pertama dikondisikan untuk memiliki empati rendah dengan diberikan perintah agar partisipan di kelompok pertama bersikap objektif dan detached dari individu yang diwawancara. Kelompok kedua dikondisikan untuk memiliki empati tinggi dengan diberikan perintah agar mereka membayangkan bagaimana perasaan individu yang diwawancarai dan membayangkan untuk berada di posisi individu tersebut. Individu yang diwawancarai adalah seorang gadis kecil bernama Sheri Summers yang menderita penyakit kritis dan ingin mendapatkan pelayanan dari Quality Life Foundation. Partisipan di kedua kelompok ditanya apakah mereka akan menaikkan posisi Sheri Summers di dalam waiting list ke nomor atas agar segera mendapatkan pelayanan Quality Life Foundation atau tidak. Jika iya, berarti anak-anak lain dengan kondisi yang lebih parah dari Sherri dan berada di posisi prioritas berarti akan tertunda karena harus mendahulukan Sherri.
Efek dari pengkondisian tersebut sangat kuat. 3/4 partisipan di kelompok kedua menginginkan agar Sherri diprioritaskan. Ini menunjukkan efek dari empati tidak berhubungan dengan rasa keadilan. Efek dari empati lebih mengutamakan agar rasa concern kepada individu yang menjadi target empati meningkat meskipun itu berarti dapat merugikan orang lain.
Bab 4: Intimacy
Awalnya Bloom menolak empati pada level pembuatan kebijakan dan masih menerima empati di level hubungan (relationship). Menurut Bloom sebelumnya:
“Empathy is what makes us human; it’s what makes us both subjects and objects of moral concern. Empathy betrays us only when we take it as a moral guide.”
Namun, kemudian Bloom juga menolak empati di level hubungan. Dia tetap meyakini empati lebih banyak ruginya daripada untungnya.
Bloom lebih menyarankan compassion sebagai pengganti empati. Tania Singer dan Olga Klimecki membedakan compassion dan empati sebagai berikut:
“In contrast to empathy, compassion does not mean sharing the suffering of the other: rather, it is characterized by feelings of warmth, concern and care for the other, as well as a strong motivation to improve the other’s well-being. Compassion is feeling for and not feeling with the other.”
Pelatihan empati dapat mengaktifkan area otak, yaitu insula dan anterior cingulate cortex. Sementara, pelatihan compassion mengaktifkan medial orbitofrontal cortex dan ventral striatum di otak.
Bahaya empati di tenaga kesehatan, seperti dokter, suster, psikolog atau psikiater, bisa menghambat pelayanan yang mereka berikan karena mereka dapat terlalu overwhelmed karena berempati terhadap pasien dan keluarganya. Pasalnya, dengan empati mereka jadi turut merasakan rasa sakit pasien dan penderitaannya, juga keluarga pasien, dan itu bisa too much bagi tenaga kesehatan. Maka daripada itu, lebih disarankan compassion ketimbang empati. Karena compassion bekerjanya dengan menerapkan understanding and caring, bukan dengan terhanyut ikut merasakan perasaan pasien dan keluarganya.
Too much empathy can be paralizing.
Hal sama berlaku juga untuk hubungan orangtua dan anak. Ada kalanya orangtua bisa menjaga jarak perasaan mereka terhadap anak.
Interlude: Empathy as the Foundation of Morality
Barangkali empati itu seperti susu. Orang dewasa tidak butuh susu, mereka baik-baik saja tanpa susu. Akan tetapi, bayi dan anak-anak butuh susu untuk tumbuh.
Banyak psikolog perkembangan, dan filsuf juga orangtua, berpendapat empati sangat penting untuk perkembangan moral anak. Dari buku Bloom Just Babies, diketahui kalau bayi memiliki empati yang tinggi. Menurut Martin Hoffman, empati adalah the spark of human concern for others, the glue that makes social life possible.
Bisa jadi empati memang penting untuk bayi dan anak-anak sebagai developmental core on morality, tapi bukan berarti premis yang diajukan oleh Bloom di buku ini salah. Seperti yang sudah dibilang di atas, empati itu seperti susu bagi orang dewasa. We’re fine without it.
Tidak semua orang percaya dengan altruisme. Bagi mereka, setiap orang memiliki motif bermacam-macam dalam melakukan perbuatan baik. Di balik suatu perbuatan baik pasti ada ulterior motives. Kalau kata Michael Ghiselin: “Scratch an altruist, and watch a hypocrite bleed.”
Bab 5: Violence and Cruelty
Bloom menulis:
Evil is caused by dehumanization and objectification, by seeing people as somehow less than human, perhaps as nonhuman animals or as objects.
Ketika kita sudah berpikir seperti ini maka mudah bagi kita untuk merendahkan atau memperbudak orang lain. Ada yang menganggap manusia bisa dicegah berpikir seperti ini dengan empati. Namun, ada perbuatan jahat lain yang tidak disebabkan oleh kurangnya empati secara langsung, melainkan karena hilangnya kontrol, seperti kejahatan yang ditimbulkan akibat mabuk dan narkoba.
Beberapa karakter jahat di buku, film, atau serial digambarkan memang jahat dari sononya dan sengaja berbuat jahat karena menikmatinya. Misalnya, Hannibal Lecter, Satan, Freddy Kruger, dan Joker. Ini disebut oleh Roy Baumeister sebagai the myth of pure evil, yaitu kejahatan merupakan sebuah kekuatan mistis dan mengerikan. Kekuatan ini ketika merasuki individu tertentu membuatnya senang berbuat jahat, didorong oleh niat jahat, senang melihat orang lain menderita. Ini seperti yang Alfred bilang ke Bruce Wayne mengenai Joker di The Dark Knight (2008):
Some men aren’t looking for anything logical, like money. They can’t be bought, bullied, reasoned, or negotiated with. Some men just . . . Some men just want to watch the world burn.
Sumber dari the myth of pure evil bisa dari banyak macam. Salah satunya, Steven Pinker menyebut the moralization gap, yaitu kecenderungan untuk mengecilkan tingkat kekejaman perilaku kita dibandingkan dengan tingkat kekejaman orang lain. Misalnya, tentara AS yang menjejerkan tentara SS setengah telanjang dan menembak mati mereka bisa berkelit bahwa apa yang mereka lakukan itu masih lebih baik daripada apa yang tentara SS lakukan kepada orang-orang Yahudi.
Kaum mendang-mending ini bisa membuat keributan atau pertengkaran semakin tinggi intensitasnya. Coba bayangkan pasangan yang sedang berantem. “Apa yang aku lakukan ini tidak seberapa dibandingkan apa yang kamu lakukan kemarin.” Terus, pasangannya membalas lagi dengan nada serupa. Mencari-cari kesalahan pasangannya lebih banyak dan lebih jahat ketimbang kesalahan sendiri. Sekarang bayangkan hal tersebut di level negara yang akan atau sedang berperang. Efeknya bisa dahsyat. The moralization gap ini membuat banyak dari kita jarang melihat bahwa diri kita sebenarnya lah yang jahat.
Menurut Bloom, violence is not always wrong. Bloom menjelaskan pada tingkatan tertentu kekerasan itu dibutuhkan. Misalnya, untuk membela diri sendiri dan keluarga dari ancaman luar. Bloom memandang menyerang negara lain, atau perang, dapat dijustifikasi, bahkan diperlukan, dan tidak melulu alasannya sebagai sebuah sikap untuk membela diri, seperti tentara AS yang menyerang tentara SS di Dachau untuk membebaskan orang-orang Yahudi di kamp Nazi. Di sini saya tidak setuju dengan pandangan Bloom tersebut. Karena pada praktiknya, dan kenyataannya, AS yang demen ikut campur di mana-mana malah bikin konflik di suatu negara semakin kacau. Barangkali Bloom berpandangan seperti itu karena dia orang AS, yang negaranya super power, dan memandang negaranya sebagai savior menyelamatkan negara-negara lain yang dianggap oleh AS “butuh diselamatkan”.
Saya masih lebih setuju dengan pendapat Tage Rai yang bilang, “Once everyone, everywhere, truly believes that violence is wrong, it will end.” Saya tahu itu sepertinya mustahil banget dan terlalu berharap, but I think there’s no harm in hoping. Perang memiliki satu kesamaan di semua pihak yang terlibat: rakyat yang tidak bisa berdosa menjadi korban sebagai akibat dari egoisme para pemimpin negaranya.
Intinya, dari bab ini kesimpulannya ingin menyampaikan bahwa sumber kejahatan pun bisa juga dari pandangan moral yang dianut. Kemudian, kita menganggap bahwa empati bisa menghentikan perang. Seandainya pemimpin negara, seperti Israel dan Palestina, berpikir, “Kalau saya meluncurkan rudal ini dan ternyata bisa membunuh ibu hamil dan anak-anak yang sedang ketakutan berlindung di dalam rumahnya, bagaimana ya rasanya seandainya saya di posisi mereka?” Tentunya mereka sama-sama tidak meluncurkan rudal.
Sayangnya, empati yang dipakai tidak seperti itu, melainkan, “Warga kita sudah banyak dibunuh oleh musuh. Kemarin seorang anak perempuan terbunuh akibat peluru dari tentara musuh. Apa kita akan berdiam diri saja menunggu mereka lebih banyak membunuh anak-anak kita, istri kita, ibu dan ayah kita?” Empati yang dipakai di sini lebih ke empati ke dalam kelompok. Tetap sih jatuhnya us vs them. But, yeah, empathy can lead us to war.
Kalau solusinya dengan lebih banyak berempati dan expand empatinya ke musuh juga, Bloom bilang, a nice thought tapi sayangnya manusia tidak atau sulit berpikir seperti itu karena sikap manusia yang selalu mendahulukan orang yang mereka kenal, their ingroups, itu adalah human nature. Mau mengharapkan pemimpin-pemimpin negara yang sedang berperang untuk melebarkan empatinya ke musuhnya? Good luck with that.
Pada akhirnya, langkah cost-benefit calculation lebih mungkin untuk diterapkan. Bahkan, ada kalanya terpaksa untuk mengorbankan rakyat demi mencapai kemenangan dan mencegah jumlah korban yang lebih besar. Ini seperti waktu Enigma bisa memecahkan kode kalau Jerman akan menyerang Coventry, Inggris. Seandainya Curchill mempersiapkan diri akan ancaman gempuran Jerman atau menyerang terlebih dahulu, tentunya Jerman tahu bahwa kode mereka telah terpecahkan dan mereka akan ganti strategi. Dengan terpaksa Curchill mengorbankan rakyat Coventry demi memenangi perang melawan Jerman. Consequalism banget ya? But, this is for the greater good.
Di bab ini Bloom juga membahas psikopat karena dianggap tidak memiliki empati sehingga mereka jahat. Bloom menjelaskan justru psikopat memiliki tinggi cognitive empathy sehingga itu yang membuat mereka a charming manipulator, tapi memang memiliki emotional empathy yang rendah. Ada penjelasan lebih lanjutnya yang bilang beberapa penelitian menunjukkan kalau skor rendah pada empati memiliki hubungan rendah pada kemungkinan akan melakukan tindak kejahatan di masa mendatang. Jadi, psikopat memang memiliki skor rendah pada empati, tapi masih sedikit bukti (penelitian) yang menunjukkan bahwa rendahnya skor empati ini yang bertanggung jawab atas perbuatan jahat yang mereka lakukan.
Selain empati, kita bisa menggunakan emosi marah untuk menjelaskan violence dan cruelty. Berikut penjelasan dari Bloom:
They have a lot in common: Both are universal responses that emerge in childhood. Both are social, mainly geared toward other people, distinguishing them from emotions such as fear and disgust, which are often elicited by inanimate beings and experiences. Most of all, they are both moral, in that they connect to judgments of right and wrong. Often empathy can motivate kind behavior toward others (I should help this person); and often anger can motivate other actions, such as punishment (I should hurt this person). And they can be related to one another. We’ve seen that empathy can lead to anger; the empathy one feels toward an individual can fuel anger toward those who are cruel to that individual.
Bagi beberapa orang, dunia akan lebih baik tanpa amarah. Bagi penganut agama Buddha, melihat amarah sebagai sesuatu yang personally corrosive and socially harmful. Amarah membuat kita berpikir dan bertindak irasional. Ketika Dalai Lama ditanya apakah sebaiknya Hitler dibunuh agar dapat mencegah jatuhnya jutaan korban yang mati, Dalai lama menjawab, “Yes, kill him. But, don’t be angry.” Menurut Dalai Lama, individu yang rasional dan peduli harus melakukan sesuatu, atau paling tidak mendukung, beberapa tindakan violence tertentu, termasuk pembunuhan. Akan tetapi, beliau melihat itu sebagai a necessary evil, sebagai langkah terakhir. Jika ada langkah lain yang dapat dilakukan untuk menghentikan a very bad karmic chain without violence, itu lebih baik.
This is not the perspective of an angry person—anger feeds off the suffering of others; an angry person wants wrongdoers to suffer.
Akan tetapi, menurut Jesse Prinz, sedikit amarah — a healthy rage — tetap dibutuhkan.
Righteous rage is a cornerstone of women’s liberation, civil rights, and battles against tyranny. It also outperforms empathy in crucial ways: anger is highly motivating, difficult to manipulate, applicable wherever injustice is found, and easier to insulate against bias. We fight for those who have been mistreated not because they are like us, but because we are passionate about principles. Rage can misdirect us when it comes unyoked from good reasoning, but together they are a potent pair. Reason is the rudder; rage propels us forward. Bloom recommends compassion, but the heat of healthy anger is what fuels the fight for justice.
Bloom sepakat dengan argumen Prinz. Bloom menambahkan seandainya dia memiliki bayi yang dapat diubah atau dimodifikasi genetikanya, maka dia tidak akan menghilangkan marah seutuhnya, tapi akan menyisakan sedikit marah, yang bisa dimodifikasi, dibentuk, dan overridden by rational deliberation. Dengan ini, Bloom bermaksud bahwa paling tidak kita memperlakukan marah sebagai reliable and useful servant, not a master. Dan seharusnya demikian pula lah kita memperlakukan empati.
Bab 6: Age of Reason
Dari argumen yang sudah dipaparkan di sepanjang buku, Bloom memang seorang rasionalis. Bloom mengajak agar kita lebih menggunakan cost-benefit reasoning daripada mengandalkan gut feelings semata. Jangan sampai kita dikuasai oleh perasaan kita, termasuk empati.
We can do better, as when we rely on cost-benefit reasoning when deciding whether to go to war, or when we recognize that a stranger’s life matters just as much as the life of our child, even though we love our child and don’t feel any particular warmth toward the stranger.
Kita ingin menanamkan compassion dan empathy pada anak-anak kita agar mereka dapat tumbuh menjadi orang baik. Akan tetapi, ini tidak cukup. Untuk membuat dunia menjadi lebih baik, kita juga membutuhkan lebih banyak orang-orang yang pintar dan yang memiliki self-control lebih baik. Hal ini penting untuk memiliki hidup yang sukses dan bahagia, juga hidup yang a good and moral one.
Nilai-nilai moral kita telah berkembang sepanjang sejarah. Sikap kita terkait hak-hak perempuan, homoseksual, dan kaum minoritas sudah mengarah ke inklusivitas. Steven Pinker menulis:
The Old Testament tells us to love our neighbors, the New Testament to love our enemies. The moral rationale seems to be: Love your neighbors and enemies; that way you won’t kill them. But frankly, I don’t love my neighbors, to say nothing of my enemies. Better, then, is the following idea: Don’t kill your neighbors or enemies, even if you don’t love them. . . . What really has expanded is not so much a circle of empathy as a circle of rights—a commitment that other living things, no matter how distant or dissimilar, be safe from harm and exploitation.
Di akhir bukunya, Bloom menyimpulkan dia tidak menolak empati sepenuhnya. Bloom hanya menolak empati di ranah moral. Dia mengakui kalau empati bisa memberikan hasil yang baik. Empati bisa memotivasi individu untuk berbuat kebaikan sehingga dapat membuat dunia menjadi lebih baik. Yang menjadi kekhawatiran Bloom adalah hal negatif dari empati melebihi hal positifnya dan Bloom memberitahu bahwa ada alternatif dari empati. Di buku ini Bloom menawarkan compassion, self-control, dan inteligensi.
Kemudian, Bloom menjelaskan empati bisa menjadi sumber kebahagiaan yang luar biasa. Kita bisa ikut bahagia melihat kebahagiaan orang lain. Melihat anak-anak sangat menikmati es krim, kita bisa ikut merasakan kenikmatan mereka. Kita bisa ikut merasakan ketakutan para aktor di film-film horor atau melihat orang-orang yang berteriak ketika naik roller coaster.
Empathy amplifies the pleasures of friendship and community, of sports and games, and of sex and romance. And it’s not just empathy for positive feelings that engages us. There is a fascination we have with seeing the world through the eyes of another, even when the other is suffering. Most of us are intensely curious about the lives of other people and find the act of trying to simulate these lives to be engaging and transformative.
Demikianlah rangkuman enam bab dari buku Against Empathy. Semoga bermanfaat dan bisa menambah wawasan buat teman-teman semua yang membacanya, sebagaimana buku ini memberikan saya wawasan baru bahwa empati itu tidak selamanya baik. Buku ini mengajarkan jangan terlalu gampang untuk reaktif terhadap sesuatu hal dan langsung meresponnya dengan empati. Saya jadi belajar untuk agar bisa mulai melatih diri menggunakan empati sesuai proporsi dan sesuai tempatnya. Meski demikian, ada satu-dua hal dari pandangan Bloom yang tidak saya sepakati di sini, yaitu pandangannya terhadap violence dan perang, juga Bloom ternyata bukan seorang pasifis. Itu bikin saya rada kecewa. Terus, kenapa jadi baper begini ya? Wkwkwk.