#120 – Monkeyluv

20671

Judul: Monkeyluv: And Other Essays on Our Lives as Animals
Penulis: Robert M. Sapolsky
Penerbit: Scribner
ASIN: B000FCKCS8 (Bisa dibeli di: Amazon)
Halaman: 224
Rating: 4 dari 5 ⭐ – really liked it

Monkeyluv: And Other Essays on Our Lives as Animals merupakan kumpulan artikel dari Robert M. Sapolsky dari berbagai majalah. Beberapa di antaranya telah mengalami sedikit perubahan. Buku ini terdiri dari tiga bagian, yaitu “Part I: Genes and Who We Are”, “Part II: Our Bodies and Who We Are”, dan “Part III: Society and Who We Are”.

Saya akan mencatat berbagai hal yang saya anggap penting dari buku ini. Berikut adalah catatan saya.

Part I: Genes and Who We Are

Apa yang sebenarnya gen lakukan? Gen tidak menghasilkan perilaku, perasaan, atau pikiran. Gen menghasilkan protein, yang mana spesifik sekuens DNA membentuk kode gen untuk jenis protein spesifik. Beberapa protein ini bertanggung jawab terhadap perilaku, perasaan, dan pikiran.

Proteins include some hormones and neurotransmitters (chemical messengers between neurons), the receptors that receive hormonal and neurotransmitter messages, the enzymes that synthesize and degrade those messengers, many of the intracellular messengers triggered by those hormones, and so on. … But the key is that it is extremely rare that things like hormones and neurotransmitters cause a behavior. Instead, they produce tendencies to respond to the environment in certain ways. 

Belum tentu orang yang memiliki gen depresi sudah pasti akan terkena depresi dan tidak semua orang dengan depresi mayor memiliki gen depresi di dalam tubuhnya. Selain itu, orang-orang yang memiliki pengalaman yang sama belum tentu akan mengalami respon yang sama. Misalnya, dua anak yang sama-sama mengalami hal buruk di masa kecilnya, seperti perceraian orangtua, kehilangan kakek atau nenek, harus mengubur hewan kesayangan, atau selalu mengalami perundungan yang parah. Akan tetapi, yang satu mengalami semuanya dalam satu tahun, sementara yang lain mengalami dalam rentang waktu enam tahun, maka anak yang memiliki pengalaman buruk dalam kurun waktu satu tahun akan cenderung lebih mudah terkena depresi.

Intinya sih di bagian satu ini antara gen, lingkungan, dan situasi itu saling berinteraksi dan memengaruhi.

Part II: Our Bodies and Who We Are

Pada bagian ini membahas tentang interaksi otak dan tubuh. Dikotomi antara emosi dan kognisi (dan spesialisasi area otak yang bertanggung jawab pada masing-masing keduanya) ternyata merupakan sebuah kekeliruan. Malahan, semua yang terjadi di bagian tubuh lain memengaruhi semua aspek dari fungsi otak.

Chemical messengers released by your immune system will increase your risk of depression. Stress hormones will alter the functioning of a key outpost of your brain, the frontal cortex, and the prudence of the decisions that you make. In the aftermath of a trauma, your blood pressure, along with other autonomic measures, influences the likelihood of your succumbing to post-traumatic stress disorder. And even something as mundane as your blood sugar levels will alter how readily you remember some factoid.

Dari bagian ini yang paling menarik perhatian saya adalah esai yang berjudul “Nursery Crimes”. Esai ini membahas Munchausen’s by Proxy (MBP) (atau Munchausen Syndrome by Proxy), yaitu sebuah penyakit mental yang mencari perhatian dari orang lain dengan membuat seseorang, biasanya anak-anak (rata-rata berusia di bawah enam tahun), terlihat sakit. Contoh yang diberikan Sapolsky di sini seram semua. Ada ibu yang tega memasukkan kotoran ke dalam selang infus anaknya, ada ibu yang sengaja membekap bayinya sendiri agar seolah-olah anaknya mengalami sleep apnea dan dibawa ke rumah sakit, memukul anaknya sendiri hingga berdarah dan lukanya dibaluri tanah juga ampas kopi bubuk, ada yang mencekoki anaknya sendiri dengan obat berbahaya, dan masih banyak lagi.

MBP tidak sama dengan perilaku orangtua yang menyiksa anak yang biasanya terjadi karena pada perilaku tersebut mereka justru ingin menghindari pihak otoritas seperti rumah sakit. Bukan pula sebagai gangguan kecemasan maternal (maternal anxiety disorder) — yaitu ibu yang khawatir secara berlebihan akan kesehatan anaknya sehingga membuat anaknya seolah-olah sakit agar selalu dirawat di rumah sakit dan dia merasa tenang juga aman ketika anaknya berada di dalam sistem medis — karena tidak ada kecemasan yang ditunjukkan. Bukan pula “mothering to death”. Bukan juga “masquerade syndrome“, yaitu ibu yang akan berbohong mengenai kesehatan anaknya agar anaknya tidak usah sekolah. Kalau contohnya begini, motif ibunya adalah untuk memperpanjang mothering dan menunda kemandirian anak.

MBP juga bukan disebabkan oleh hal-hal yang delusional, seperti anaknya sakit karena kerasukan setan atau orangtua mendengar suara-suara gaib. MBP juga tidak bertujuan untuk mendapatkan keuntungan materi.

Jadi, MBP ini apa? Lengkapnya begini:

In MBP families, the husband is typically nonexistent or at least distant, and Meadow speculates that the fabricated drama, in the latter cases, is partially meant to pull in that disinterested husband. Another clue: as hinted at in the case reports, about half of MBP perpetrators have had some medical training. This is a prerequisite for the technical skill and the familiarity with hospital culture needed to pull off some of the fabrications. And Meadow (Roy Meadow, red.) noted a pattern subsequently reported by others: most of those mothers with medical backgrounds had failed at their medical careers; they had been nursing students who didn’t cut it academically, physician’s assistants fired for their emotional instability. Meadow writes, “It could be suggested that some [of the MBP mothers] were determined to defeat the system that had defeated them.”

But the central, defining motivation in MBP is a desire to be utterly enveloped in the medical system. “Hospitals can be a strong (and dangerous) addiction,” as Meadow puts it. MBP mothers devote themselves full-time to the child’s illness and go weeks without leaving the ward. The medical staff initially views them as self-sacrificing saints. In return, they reap a sense of comfort and security, the almost sensual pleasure at the attention, the intertwining of nursing and being nursed, the acceptance into a rich, structured social community.

Awalnya, tindakan kejam orangtua ini, yang umumnya dilakukan oleh ibu, luput dari perhatian karena sikap dan perilaku mereka yang sangat manis dan perhatian dengan staf rumah sakit. Para orangtua ini senang jika mereka mendapatkan perhatian juga dari dokter dan suster. Umumnya lagi, justru yang menyadari keanehan penyakit pada anak-anak itu yang tidak sembuh-sembuh, dengan hasil lab yang aneh-aneh, adalah para suster senior. Ada satu kejadian di mana suster menyadari bahwa kondisi si anak baik-baik saja justru ketika ibunya sedang tidak berada di rumah sakit.

Asli, ini menyeramkan banget… Tidak jarang ada anak yang sampai meninggal karena kelakuan orangtuanya yang menderita MBP.

Part 3: Society and Who We Are

Pada bagian ini membahas masyarakat dan budayanya memengaruhi kondisi biologis individu yang berada di dalamnya.

And if the culture in which we live shapes who we are—our thoughts, emotions, and actions—it must shape our underlying biology as well. This can be for utterly obvious reasons—the culture you live in determines the diet you are exposed to, the medical care you receive, the physicality with which you earn your daily bread. But the culture/biology link can be more direct and fundamental than that.

Terdapat beberapa hal yang menarik di bagian ini. Pertama, kondisi status sosial ekonomi dapat memengaruhi penyakit yang diderita seseorang. Tidak berlebihan jika ada yang bilang “penyakit orang kaya” atau “penyakit orang miskin”.

Orang-orang dengan status sosial ekonomi lemah rentan terkena penyakit jantung, gangguan saluran pernapasan, rheumatoid disorders, penyakit psikiatri, atau beberapa jenis kanker. Orang-orang miskin kesulitan memiliki akses kesehatan. Mereka tidak punya uang untuk beli asuransi kesehatan swasta yang mahal, untuk ke dokter dan beli obat, atau untuk cek kesehatan. Mereka juga tinggal di lingkungan kumuh yang semakin memperburuk kesehatan. Orang miskin juga cenderung untuk lebih banyak merokok, minum minuman beralkohol secara berlebihan, dan cenderung untuk terkena obesitas. Selain tinggal di lingkungan kumuh, keadaan sosial di sekitar mereka juga tidak mendukung, seperti mereka harus berada di lingkungan dengan angka kriminal tinggi. Sementara, orang-orang dengan status sosial ekonomi tinggi rentan terkena penyakit autoimun.

Ketimpangan status sosial ekonomi ini tidak hanya terjadi di dalam satu negara. Secara global, jangan lupakan ada negara miskin, negara berkembang, dan negara maju. Dan kita tahu negara miskin dan negara berkembang memiliki isu-isu kesehatan yang mengkhawatirkan.

Kedua, kondisi lingkungan dan budaya memengaruhi cara penduduknya berkeyakinan. Menarik untuk membaca penjelasan hipotesis dari Sapolsky mengapa orang-orang di budaya gurun menyembah satu tuhan, sementara mereka yang di budaya yang alamnya lebih ramah (banyak hujan, air, hutan) menyembah banyak tuhan. Saya tidak akan menjelaskannya di sini karena takut nanti ada yang tersinggung dan marah-marah ke saya. 🥲

Ketiga, perbedaan cara perempuan dan laki-laki dalam memilih pasangan dan kaitannya dari sudut pandang evolusi (atau Psikologi Evolusi). Sebenarnya, saya sudah pernah (dan cukup sering) membahas soal ini di blog saya satunya. Topik ini dulu sempat menjadi minat saya. Dan, ternyata, setelah sekian tahun akhirnya bertemu lagi dengan Psikologi Evolusi tetap menyenangkan. Bagi yang tertarik, sila mengubek-ubek blog saya di sana ya. ✌️

Keempat, berbagai alasan kenapa bagi budaya tertentu melihat jasad orang yang sudah meninggal sangat penting. Alasannya adalah (1) untuk memastikan orang tersebut sudah meninggal; (2) untuk mengetahui bagaimana mereka meninggal; (3) untuk ketenangan si arwah (spiritual well-being), seperti suku Tlingit di Alaska yang percaya jasad dibutuhkan agar arwahnya bisa reinkarnasi dan suku Nuba di Sudan yang baru akan melakukan sunat kepada seseorang yang sudah meninggal sebagai syarat agar dia bisa ke kehidupan berikutnya; (4) ritual pemakaman dapat menjadi tempat untuk berpolitik, menyelesaikan konflik, dan lain-lain.

Funerary ritual, with the body as its centerpiece, is an unmatched opportunity to share, affirm, inculcate, and revitalize group values, while the funeral itself is a great setting to do politics, to shift alliances, to court, for mourners to gain honor with their piety and grief, for mourners to gain acclaim with the conspicuous consumption of the ceremony that they throw. A well-scripted funeral for a political martyr can galvanize potential crusaders into a self-sacrificing, homicidal frenzy. In a vast number of cultures, funerary ritual represents the triumph of the needs of the group over the needs, if any, of the deceased.

Selain itu, jasad juga bisa digunakan sebagai bentuk kesewenangan-wenangan atau ketidaksukaan terhadap kelompok lain. Misalnya, pria Maori yang terluka dalam perang antar suku meminta kepada teman-temannya agar langsung membunuh dia saja dan potong kepalanya. Tujuannya agar jasadnya tidak disalahgunakan oleh musuh, misalnya dijadikan sebagai trofi pajangan. Atau, jasad tentara Amerika di Irak yang dibakar dan digantung di tempat publik dijadikan tontonan.

Kelima, semakin kita tua, kita bukannya membenci keterbaruan (novelty), melainkan kita menginginkan keterbiasaan. We crave familiarity. Jadi, tidak heran, misalnya, bagi generasi 90-an selera musik mereka terhenti di musik 90-an.

Secara keseluruhan, saya menikmati Monkeyluv. Buku yang berisi kumpulan esai dari Sapolsky ini sangat ringan dan mudah dipahami. Dan tentunya banyak menambah wawasan baru untuk saya.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: