
Judul: Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis
Penulis: Eka Kurniawan
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama (cetakan II, Januari 2022)
Halaman: xii + 211
ISBN: 978-602-06-5763-9
Bisa dibeli di: Gramedia.com
Rating: 5 dari 5 ⭐ – it was amazing
Asal-usul Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis adalah sebuah skripsi sebagai syarat Eka Kurniawan untuk lulus dari Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Kali pertama buku ini diterbitkan oleh Yayasan Aksara Indonesia di tahun 1999. Lalu, di tahun 2002 diterbitkan untuk kedua kalinya oleh Penerbit Jendela. Terakhir, Gramedia Pustaka Utama memutuskan untuk menerbitkan buku ini di tahun 2006. Buku yang saya pegang saat ini merupakan cetakan kedua dari terbitan Gramedia Pustaka Utama.
Buku ini terdiri dari enam bab, di mana isinya ada pendahuluan, sejarah hidup Pramoedya, penjelasan dasar filsafat dan sejarah realisme sosial, perkembangan realisme sosial di Indonesia, estetika sastra Pramoedya, dan penutup.
Di bab pendahuluan, kita diajak Eka untuk melihat bagaimana awalnya Pram tertarik dengan realisme sosial. Jika mengamati dengan seksama karya-karya Pramoedya, maka sangat kental terasa sejarah dan ideologi politiknya. Salah satu contohnya kita bisa melihat dalam karya besarnya, yaitu Tetralogi Buru, yang terdiri dari Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Tetralogi Buru ditulis Pram saat dia sedang dalam masa menjadi tahanan politik di Pulau Buru.
Pram memang suka sekali dengan sejarah. Dia juga sangat kuat dengan riset dan rajin membuat kliping dari koran-koran untuk dijadikan arsip. Eka menulis kegandrungan Pram akan sejarah ini barangkali dipengaruhi oleh teori sederhana dari Maxim Gorky: The people must know their history. Selain itu, pengaruh lainnya dari aliran realisme sosialis.
Ijinkan saya untuk merangkum dan menyederhanakan penjelasan panjang dari buku ini mengenai realisme sosialis. Jadi, realisme sosialis adalah sebuah aliran seni yang berdasarkan pada kontemplasi dialektik antara seniman dan lingkungan sosial. (hal. 4 – 5) Seniman dituntut untuk berada di tengah-tengah masyarakat dan tidak terpisah dari lingkungan tempatnya berada. Tugasnya adalah menyadarkan masyarakat bahwa dia merupakan manusia terasing, manusia tertindas, mampu menyadarinya sebagai manusia yang memiliki kebebasan, dan mampu untuk bangkit melawan ketidakadilan. (hal. 5) Dengan demikian, realitas yang terjadi di masyarakat merupakan sumber inspirasi untuk membuat karya.
Maxim Gorky dianggap sebagai bapak pendiri realisme sosial. Karyanya dirujuk sebagai awal mulai genre ini lahir, yaitu trilogi bukunya yang terdiri dari Childhood, My Apprenticeship, dan My Universities.
Sebelumnya, sejarah dianggap sebagai suatu hal yang statis, bergerak tetap, mutlak, dan alamiah. Kemudian, pandangan ini berubah menjadi sejarah merupakan perubahan yang justru bergantung kepada manusia itu sendiri. Manusia bisa dan mampu menentukan arah dari gerak sejarah. Sejarah bukan sesuatu hal yang jauh dari jangkauan manusia. Oleh karena itulah, realisme sosial lahir untuk menempatkan kaum lemah sebagai manusia penggerak dan penentu arah sejarah. (hal. 5) Sehingga dari karya-karya realisme sosial kita akan melihat keberpihakan terhadap rakyat kecil dan lemah. Seniman dengan aliran realisme sosial dituntut untuk turun ke bawah, berbaur dengan masyarakat, dan menciptakan karya dari situ.
Lembagai Kebudayaan Rakyat (Lekra) tentu saja berlandaskan pada realisme sosial. Menurut Kuslan Budiman — seorang pelukis Lekra — seni adalah media revolusi. Seniman merupakan Pasukan Tentara Kebudayaan yang bertugas membangkitkan semangat dan mendidik massa. Seni harus memenuhi semboyan Lekra: tiga tinggi, yaitu tinggi ideologi; tingggi artistik; dan tinggi organisasi, serta tiga baik: baik bekerja; baik belajar; dan baik moral. (hal. 9)
Lekra menolak seni tanpa isi. Seniman tidak bisa membuat karya hanya untuk berprinsip bebas berkarya apa saja demi seni itu sendiri atau demi kepuasan si seniman. Ini yang ditolak oleh Lekra. Apalagi jika seniman menjadi semacam menara gading kaum elitis. Seperti yang sudah disebutkan di atas, menurut Lekra, seniman harus turun ke bawah, berada di tengah rakyat. Sementara bagi Pram, makna turun ke bawah tidak sesempit itu. Makna turun ke bawah, bagi Pram, jauh lebih luas, yaitu turun ke dasar. Ke sejarah. Agar bisa lebih memahami perkembangan manusia. Pram cukup tegas dan kukuh memegang prinsipnya ini. Tak ayal dia sering berseteru dengan para seniman dari golongan yang menamakan diri mereka Manifestasi Kebudayaan.
Pram tidak mengingkari ada hubungan yang erat antara sastra dan politik.
Menurutnya, politik tidak dapat dipisahkan dari kehidupan, dan begitu pula sebaliknya. Karena itu, sastra pun tidak bisa lepas dari pengaruh politik. (hal. 196)
Eka kemudian lanjut menjelaskan realisme sosial lebih rinci di bab ketiga. Sebelumnya, di bab kedua Eka menuliskan sejarah kehidupan Pramoedya. Dia lahir dan besar ke Blora, kemudian pindah ke Jakarta, menulis, berpolitik, sampai akhirnya dipenjara berkali-kali.
Penjelasan Eka akan dasar filsafat dan sejarah realisme sosialis cukup mudah dicerna untuk orang awam seperti saya yang buta sama sekali akan filsafat. Saya bisa cukup mengerti apa yang ditulis oleh Eka. Singkatnya, realisme sosial lahir berdasarkan estetika Marxis secara khusus, dan secara umum berlandaskan filsafat dialektik dari Hegel. (hal. 186) Meski realisme sosial lahir di Rusia sana, tetapi ketika sudah sampai di Indonesia mengalami perubahan karena kondisi yang berbeda dengan di Rusia, maupun di Cina, meski pengaruhnya tetap kuat. (hal. 188)
Meski ini merupakan buku serius (diadaptasi dari skripsi), tetapi penulisannya enak dibaca sehingga mudah dipahami. Tidak banyak jargon atau penjelasan yang mbulet. Kalimatnya mengalir dan enak dibaca, seolah-olah saya membaca buku fiksi. Karena itu, buku ini cukup cepat saya selesaikan. Menariknya, setelah saya menutup buku, saya masih bisa mengingat garis besar isi buku ini. Maksud saya, ini buku nonfiksi lho, dikembangkan dari skripsi, tetapi otak saya yang lemot ini bisa ingat garis besar isinya. Tidak serumit buku-buku nonfiksi lain yang pernah saya baca, yang saya harus bikinkan catatannya agar otak saya bisa mengingat isinya lebih lama.
Atas dasar itulah saya memberikan nilai 5 dari 5 ⭐ untuk Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis karena buku ini memang layak untuk mendapatkan 5 ⭐ .