Judul: Metode Jakarta: Amerika Serikat, Pembantaian 1965, dan Dunia Global Kita Sekarang
Judul Asli: The Jakarta Method: Washington’s Anticommunist Crusade and the Mass Murder Program that Shaped Our World
Penulis: Vincent Bevins
Alih Bahasa: Pradewi Tri Chatami
Penerbit: Marjin Kiri (cetakan I, Desember 2022)
Halaman: viii + 416
ISBN: 978-602-0788-388
Harga: Rp105.000,-
Rating: 5 dari 5 ⭐ – it was amazing
Kenapa negara ini begitu takut terhadap komunisme? Sekian puluh tahun rakyat dicekoki dengan informasi yang mengatakan bahwa komunisme itu salah dan jahat. Dan propaganda itu berhasil. Masih banyak dari kita yang abai akan sejarah dan tidak mengetahui kebenarannya. Bahkan, saya yakin, masih banyak dari kita yang tidak tahu pembantaian 1965 – 1966 di negara ini ternyata mendapatkan nama operasi khusus, yaitu “Operasi Jakarta”, yang kemudian menjadi kode sandi di negara-negara lain untuk melakukan hal serupa: mengambinghitamkan komunisme dan melakukan pembantaian terhadap orang-orang yang dianggap kiri.
Metode Jakarta sangat membuka mata saya lebar-lebar. Dia memberikan banjiran informasi yang tidak pernah saya ketahui sama sekali sebelumnya. Vincent Bevins sungguh berani menulis ini dengan mendalam. Dia berkeliling dunia ke negara-negara yang dianggap menganut komunisme atau sosialisme dan berani melawan Amerika Serikat, seperti Vietnam, Argentina, Honduras, El Salvador, Uruguay, Congo, dan tentu saja Indonesia. Tepatnya Bevins mengunjungi 12 negara untuk keperluan riset buku ini. Dia mengunjungi para penyintas dan mewawancarai mereka untuk melihat dari sudut pandang mereka akan pemunahan yang menimpa mereka. Sebuah usaha yang tidak sia-sia karena hasilnya adalah sebuah buku yang sangat luar biasa.
Saya salut akan keberanian dan sikap objektif Bevins. Biar bagaimanapun, dia adalah seorang warga Amerika Serikat, tetapi dia lebih mengedepankan jiwa jurnalismenya untuk menggali sejarah kelam di banyak negara yang mungkin sudah hampir dilupakan oleh generasi muda.
Buku ini cocok untuk dibaca oleh orang-orang Amerika Serikat yang mungkin abai akan sejarah negaranya yang telah membuat kekacauan di negara-negara lain. Bagaimana pemerintah AS mengorkestra beragam kudeta dan berusaha menjadikan negara lain sebagai negara boneka hanya karena mereka ketar-ketir dengan sebuah kekuatan pesaing yang bernama komunisme. Beberapa operasi yang mereka lakukan adalah kudeta di Iran tahun 1953 pada pemerintahan Mosaddegh, kudeta di Guatemala tahun 1954 (pemerintahan Arbanez), kudeta di Brazil tahun 1964 (pemerintahan Goulart), kudeta di Indonesia tahun 1965 (pemerintahan Soekarno), dan kudeta di Chile tahun 1973 (pemerintahan Allende). Tidak cukup di situ, pemerintah AS menjalankan Operasi Condor di Amerika Latin, Operasi Lotus di Asia Tenggara, dan kemudian Contras di Amerika Tengah. Tetapi, jangan salah. Buku ini juga cocok untuk dibaca oleh kita — warga negara Indonesia — dan warga di negara-negara lain, yang mengalami pengalaman yang sama, agar tidak lupa dengan sejarah kelam bangsa sendiri.
Saya tidak akan membahas dengan detil dari buku ini mengenai Gerakan 30 September dan peristiwa sesudahnya karena saya tidak berani membahasnya secara terbuka dan juga takut memberikan banyak spoiler. Namun, saya akan membahas informasi baru yang saya dapat dari Metode Jakarta. Beberapa di antaranya:
Dunia Pertama, Dunia Kedua, Dunia ketiga
Saya jadi mengetahui asal mula istilah Dunia Pertama, Dunia Kedua, dan Dunia Ketiga. Saya sudah tahu Dunia Pertama mengacu pada negara-negara kaya di Amerika Utara, Eropa Barat, Australia, Jepang, dan semua negara lain yang menjadi kaya dengan menjalankan kolonialisme. Saya juga sudah tahu istilah Dunia Ketiga yang mengacu pada negara-negara miskin dan berkembang. Atau, seperti itu yang saya kira. Ternyata, istilah Dunia Ketiga memiliki makna yang sangat dalam. Begitu saya tahu artinya apa, saya merasa bangga menjadi bagian negara Dunia Ketiga, setidaknya pada masa istilah ini pertama kali tercetus.
Mengutip langsung dari bukunya:
Istilah ini tercetus pada awal 1950-an, dan pada awalnya berkonotasi positif. Istilah ini awalnya diucapkan dengan bangga oleh para pemimpin negara-negara baru karena di dalamnya terdapat mimpi akan masa depan yang ebih baik, ketika rakyat yang diperbudak dan terpinggirkan bisa merebut kendali atas nasib mereka sendiri. Istilah ini dipakai dengan merujuk kepada “Etats Ketiga” di Revolusi Prancis, rakyat revolusioner yang menggulingkan Etats Pertama dan Kedua, yaitu monarki dan gereja. “Ketiga” bukan berarti peringkat tiga, tetapi lebih kepada babak ketiga dan terakhir: kelompok negara kulit putih kaya raya telah mencoba membentuk dunia, begitupun yang kedua, maka ini adalah gerakan baru, penuh energi dan potensi, menunggu untuk bersemi. Di sebagian besar muka bumi, Dunia Ketiga bukan sekadar kategori: ini adalah sebuah gerakan. (hal. 19)
Buat saya, Dunia Ketiga merupakan sebuah simbol dari negara-negara yang terkolonialisasi ratusan tahun dan baru merdeka, ingin berdiri di kaki sendiri, tanpa harus mengikuti Blok Barat ataupun Blok Timur. Kita harus ingat sejarahnya, bahwa istilah ini lahir di tahun 1950an, di mana-mana negara-negara yang terjajah baru merdeka atau sedang memperjuangkan kemerdekaannya, lalu ada Konferensi Asia Afrika, lalu Gerakan Non Blok. Gerakan ini menyatukan negara-negara di dua benua tersebut. Mereka saudara senasib seperjuangan.
Jika ada Dunia Pertama dan Dunia Ketiga, maka ada Dunia Kedua. Saya baru tahu mengenai ini. Mengutip dari bukunya:
Dunia Kedua adalah Uni Soviet dan kawasan-kawasan Eropa tempat Tentara Merah mendirikan pangkalan-pangkalannya. Sejak didirikan, Uni Soviet telah secara terbuka menyekutukan diri dengan perjuangan antikolonial global dan tidak ikut-ikutan dalam ekspansi imperialisme ke seberang lautan, namun dunia menyaksikan bagaimana Moskow melancarkan pengaruhnya ke negara-negara Eropa Timur dan Tengah yang ia duduki. (hal. 19)
Ternyata masih Ada yang bersimpati…
…dengan Dunia Ketiga. Beberapa di antaranya adalah John F. Kennedy dan Howard Palfrey Jones. Mereka tetap ada cela juga, tapi setidaknya mereka mau mencoba untuk melihat Dunia Ketiga dari kacamata yang berbeda. Mereka memahami bahwa negara-negara yang baru merdeka ini sedang memperjuangkan hak untuk memiliki jalan sendiri. Jadi, negara-negara ini tidak salah jika tidak mau berada di Blok Barat ataupun di Blok Timur. Sayangnya, bagi pejabat-pejabat tinggi di AS, tidak ada kata netral. Semacam, “It’s either you with us or them.”
Saya akan mengutip lagi dari bukunya:
Menurut Howard Palfrey Jones, orang-orang Amerika gagal memahami apa itu nasionalisme dalam konteks negara berkembang dan perbedaannya dengan komunisme. Nasionalisme di negara-negara Dunia Ketiga memiliki makna yang amat sangat berlainan dari apa yang dipahami orang Jerman sepuluh tahun sebelumnya. Nasionalisme di sini tidak ada hubungannya dengan suku bangsa, agama, atau bahkan batas negara. Nasionalisme di negara Dunia Ketiga dibangun sebagai perlawanan terhadap ratusan tahun penjajahan. (hal. 77)
AS yang suka sekali ikut campur di negara-negara orang justru membuat mereka semakin dicurigai dan dibenci. Mereka dianggap sebagai kolonialisme baru.
Makna Nasionalisme bagi Dunia Ketiga
Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung, menurut Howard Jones, memiliki konsep nasionalisme yang berbeda dari nasionalisme di Eropa. Bagi para pemimpin seperti Soekarno dan Nehru, gagasan sebuah “bangsa” berdasar pada perjuangan antikolonial dan keadilan sosial, bukan berdasar ras atau bahasa. Soekarno yakin dengan diselenggarakannya KAA bisa mebuat Dunia Ketiga bersatu dengan cita-cita bersama, seperti antirasisme dan kedaulatan ekonomi.
Mereka juga dapat bersama-sama mengorganisir posisi yang lebih baik dalam sistem perekonomian global, memaksa negara-negara kaya untuk menurunkan tarif sementara negara-negara baru merdeka ini menggunakan tarif baru untuk mengembangkan diri. Berabad-abad dieksploitasi, negara-negara ini jauh tertinggal di belakang negara-negara kaya, dan mereka berkeras untuk mengubah kondisi tersebut. (hal. 87)
Maka tidak heran KAA memberikan dampak luar biasa bagi negara-negara yang sedang berjuang untuk merdeka dan juga negara-negara Dunia Ketiga lainnya. KAA memberikan “Semangat Bandung” untuk rakyat yang masih berjuang melawan kolonialisme. Negara-negara di Asia dan Afrika juga menjadi lebih bersatu dengan muncul kerja kolektif, jejaring komunikasi, dan organisasi-organisasi internasional lahir. Pada tahun 1058, Konferensi Perempuan Asia Afrika digelar di Kolombo. Konferensi ini melahirkan gerakan feminis lintas negara Dunia Ketiga. (hal. 91)
Hal yang membuat saya bangga, Indonesia merupakan salah satu pelopor KAA. Pada masa-masa itu Indonesia sangat kelihatan tajinya di dunia internasional. Sungguh sayang, karena Soekarno dianggap lebih condong ke kiri, maka Pemerintah AS pun mulai mengagendakan untuk mengkudeta Soekarno. Dan hasilnya setelah itu, John Roosa pun bilang, “Dalam waktu semalam, pemerintah Indonesia berbalik dari suara lantang yang menggaungkan antiimperialisme dari netralitas Perang Dingin menjadi mitra yang patuh dan pendiam dari tatanan dunia ala Amerika.” (hal. 24)
China dan Vietnam Ternyata Pernah berseteru
Saya tidak menyangka saja sih. Saya kira selama ini hubungan mereka dari awal baik-baik saja. Tetapi, yah, namanya sebuah hubungan: kadang romantis, kadang berantem. Halah.
Buku ini tidak hanya memberikan informasi baru buat saya, melainkan juga membuat saya bertanya-tanya. Beberapa pertanyaan yang muncul di antaranya: (1) Kenapa AS benci atau takut banget sama komunis? Dan jadinya ikut campur atau bikin rusuh negara yang pro/simpatisan komunis?; (2) AS kan negara bekas jajahan juga, tapi kenapa dia jadi negara imperialisme baru?; (3) Kenapa (sebagian besar) militer di banyak negara benci banget sama komunis?; (4) Sudah jelas AS terlibat dalam berbagai pemberontakan di daerah-daerah pada awal Indonesia merdeka, lalu saya merasa heran kenapa sesudahnya militer kita mesra sekali dengan AS, seperti mengirimkan tentara kita ke sana untuk mengikuti pendidikan dan negara kita mendapat suplai senjata?
Jika tidak hati-hati, ketika membaca Metode Jakarta bisa saja orang menyimpulkan buku ini bersimpati pada sayap kiri dan Bevins mendemonisasi AS. Cukup sulit memang untuk tetap bersikap objektif dan berpikir jernih setelah saya membaca buku ini. Karena sesudah membaca buku ini saya memang jadi kesal dengan AS dan mengutuk pembantaian. Namun, bukan berarti saya menuduh Bevins bersimpati dengan komunisme atau sosialisme, atau saya menjadi simpati dengan paham tersebut dan membelanya. Tidak. Saya mengutuk berbagai bentuk kekerasan, intimidasi, dan lainnya, baik yang dilakukan oleh sayap kanan maupun sayap kiri. Juga karena saya percaya Bevins, dengan latar belakangnya sebagai seorang jurnalis, akan berusaha untuk tetap objektif menyuguhkan fakta.
Ada satu pertanyaan dari wartawan Tirto ketika mewawancarai Bevins di sini yang membantu saya untuk tetap berpikir dingin dan objektif. Pertanyaannya sebagai berikut:
Anda menelusuri efek global dari pembantaian 1965. Karena 1965, banyak partai sosialis dan komunis Dunia Ketiga tak lagi percaya pada jalan demokratis menuju sosialisme dan memilih untuk angkat senjata. Tapi Jakarta Method tidak memaparkan dengan jelas bagaimana hal ini tidak terjadi di negara-negara Eropa Barat yang berjalan di atas konsensus negara kesejahteraan (welfare state) yang disokong kaum kiri pasca-Perang Dunia II. Pada saat yang sama, ada gelombang terorisme sayap kiri sejak akhir 1960-an hingga 1980-an, terutama di Jerman Barat dan Italia, sebagai respons kaum kiri jauh (far-left) terhadap konsensus tersebut. Saya pikir ini pokok yang penting untuk dibahas lebih lanjut.
Sila klik tautan ini jika kalian penasaran apa jawaban Bevins.
Kalau boleh saya simpulkan, berbagai peristiwa kudeta yang terjadi di beberapa negara selama Perang Dingin merupakan upaya AS untuk mengalahkan pengaruh Uni Soviet dan komunismenya. AS keluar sebagai Sang Pemenang dari Perang Dingin dengan cara menghabisi komunisme. Winarso, kepala Sekretariat Bersama ’65, bilang, “Perang Dingin adalah konflik antara sosialisme dan kapitalisme, dan kapitalisme menang. Lebih dari itu, kita semua kini mengalami kapitalisme yang berpusat kepada AS yang disebarluaskan Washington. Lihat saja di sekelilingmu.” (hal. 357) Ketika ditanya bagaimana AS bisa menang, Winarso menjawab, “Kalian bunuh kami.”