#143 – Feminism: A Beginner’s Guide

6725858 Judul: Feminism: A Beginner’s Guide
Penulis: Sally J. Scholz
Penerbit: Oneworld Publications (2012)
Halaman: 203
e-ISBN: 978-1-85168-155-0
Rating: 5 dari 5 ⭐ – it was amazing

Saya sedang dalam misi belajar tentang feminisme. Jadi, tahun ini saya mencoba untuk lebih banyak membaca buku-buku bertemakan feminisme.

Buku Feminism: A Beginner’s Guide adalah buku feminisme pertama yang saya baca di tahun 2023. Saya suka buku ini karena bahasanya ringan dan mudah dipahami. Banyak sekali poin penting dan menarik yang layak untuk dicatat. Saya akan mencatatnya di sini.

Sebagai pengingat sebelum teman-teman meneruskan membaca: Karena tulisan ini merupakan catatan penting atau rangkuman dari sebuah buku maka bisa dipastikan tulisan ini akan panjang. Bagi yang tertarik, selamat membaca. Bagi yang tidak tertarik, ya tidak apa-apa. 😀

Bab 1: What is Feminism?

Apa itu sebenarnya feminisme? Pemahaman umum dari feminisme merupakan tentang hak-hak setara untuk perempuan. Namun, feminisme lebih dari itu. Feminisme merupakan sebuah proyek kritis. Feminisme melihat semua aspek kehidupan untuk mengidentifikasi semua aspek tersebut yang bersifat menindas dan feminisme memberikan alternatif saran.

Secara garis besar, terdapat empat gelombang gerakan feminisme. Penggunaan kata “gelombang” ini mengindikasikan sebuah proyek yang belum selesai. Terdapat dua pemaknaan utama kenapa menggunakan terminologi gelombang. Pertama, model kronologis atau generasi. Kedua, model tematik.

Model kronologis dari gelombang feminisme ini bertujuan untuk menjelaskan skema intensitas yang berbeda dari kegiatan aktivis feminisme pada periode waktu yang berbeda. Gelombang pertama feminisme terentang antara abad ke-17 hingga awal abad ke-20. Fokus gelombang ini pada perempuan mendapatkan status sebagai manusia dengan hak sipil penuh, intelektual, sosial, ekonomi, dan hak-hak hukum. Gelombang kedua feminisme diperkirakan dimulai antara tahun 1948 dan 1960, mencapai puncaknya tahun 1960 sampai awal tahun 1990an. Pada gelombang kedua ini, feminis mulai melihat sumber lain dari penindasan pada perempuan. Banyak manifestasi penindasan pada perempuan tidak hanya dapat diselesaikan melalui jalur perjuangan hak atau mendapatkan perlakuan setara dengan pria. Tubuh perempuan merupakan tempat dari dominasi, stereotype, kekerasan, dan penindasan.

Gelombang ketiga feminisme dimulai di pertengahan tahun 1990an. Pada gelombang ketiga ini, sumber penindasan perempuan adalah pikiran dan bahasa. Beberapa feminis berpendapat bahwa sekarang kita telah memasuki gelombang keempat feminisme yang berfokus pada penampilan fisik dan berbagai kemungkinannya.

Pendekatan model tematik melihat gelombang ini sebagai concentric circles daripada sebagai momen yang terjadi secara runut. Pada lingkaran ini, semua penindasan dianalogikan sebagai tetesan air hujan yang jatuh di sebuah kolam. Bergema dan menyatu.

Scholz menganjurkan agar kita menggunakan pendekatan tematik ketimbang pendekatan kronologis dikarenakan beberapa hal. Pertama, model kronologis salah menanggapi sejarah feminisme sebagai sesuatu yang singular dan linear. Kedua, gelombang kronologis lebih berdasar pada posisi kelas dan ras; mereka mencatat perkembangan feminisme kulit putih dan kelas menengah. Ketiga, model kronologis berasumsi ketika satu gelombang selesai, maka gelombang berikutnya dimulai. Padahal penindasan yang dialami perempuan tidak pernah usang. Contohnya, sampai sekarang perempuan masih berjuang untuk mendapatkan kesamaan hak dan mempertahankannya. Perjuangan ini tidak hanya ada di abad ke-17 dan terhenti di awal abad ke-20 seperti asumsi model kronologis pada gelombang pertama.

Keempat, model kronologis ini mengistimewakan satu pandangan khusus dari feminisme. Model kronologis paling mirip menggambarkan perkembangan feminisme di Amerika Serikat dan Eropa Barat. Aktivis feminisme dari berbagai belahan dunia lain akan mengalami runutan tahapan yang berbeda, atau bahkan menunjukkan bahwa banyak sekali isu dari berbagai gelombang yang harus dihadapi secara bersamaan.

Kerap muncul pertanyaan mengenai masa depan feminisme atau apakah isu feminisme sudah usang. Jawabannya sudah pasti: Feminisme masih jauh dari kata usang. Feminisme tidak akan pernah usang selagi penindasan terhadap perempuan masih terjadi.

Juga sering muncul ucapan nyinyir yang memandang feminisme tidak akan berhasil karena feminisnya sendiri “saling berkelahi”. Menurut pendapat saya pribadi, perbedaan pendapat itu wajar saja. Justru hal tersebut bisa memancing dialog dan bisa membuat feminisme semakin berkembang dengan berjuang bersama-sama. Berharap semoga penindasan terhadap perempuan bisa usai suatu saat nanti. Entah kapan.

Bab 2: Schools of Feminist Thought

Pentingnya memahami berbagai aliran feminisme agar kita dapat menemukan agenda untuk perubahan sosial dan mengungkapkan pertentangan ideologis di antara feminis. Scholz membahas secara singkat delapan aliran dari teori feminisme di buku ini.

Feminisme liberal

Feminisme liberal mengadopsi konsep liberal dari sifat manusia dan kebebasan manusia dan menggunakannya sebagai visi untuk pembebasan perempuan. Liberalisme meyakini bahwa manusia adalah individu rasional dan otonom. Dengan akarnya pada teori kontrak sosial, terutama dari versi klasiknya Hobbes dan Locke, liberalisme berfokus pada kebebasan atau kemerdekaan individu.

Feminis yang membangun pondasi dari liberalisme klasik ini mengidentifikasi akar penindasan yang terjadi pada perempuan adalah kurangnya hak-hak hukum dan kesempatan yang setara bagi perempuan. Feminis pada aliran ini berargumen bahwa perempuan sepenuhnya manusia, dan dalam konteks liberalisme, hal tersebut berarti bahwa perempuan memiliki kapasitas rasionalitas yang sama dengan pria.

Contoh kampanye dari feminis liberal adalah memperjuangkan perempuan agar dapat kuliah di universitas dan bekerja di tempat yang setara dengan pria; perjuangan memperoleh upah setara untuk pekerjaan yang setara; perjuangan untuk dapat diterima dan menjalankan peran sosial, klub, dan events yang sama dengan pria, dan perjuangan lain untuk mendapatkan kemerdekaan yang setara bagi perempuan agar mendapatkan hidup yang layak.

Feminisme marxist

Feminis marxist menegaskan bahwa kapitalisme merupakan penyebab tertindasnya perempuan di masyarakat. Sesuai namanya, feminisme marxist berlandaskan pada teori Marxisme. Bagi marxist, penindasan kelas adalah dasar dari semua bentuk penindasan lain dan merupakan penindasan yang paling mudah menyebar.

Menurut pandangan ini, jika akar dari penindasan adalah perbedaan kelas di masyarakat dan kepemilikan properti pribadi di bawah kapitalisme, maka secara teori, agar penindasan terhadap perempuan dapat dihapus, kapitalisme harus dihancurkan.

Feminisme radikal

Bagi feminisme radikal, bentuk penindasan lain yang lebih mendasar dan lebih jahat adalah patriarki. Secara umum, patriarki adalah sebuah organisasi sosial yang secara sistematis menindas perempuan dan menguntungkan pria. Patriarki juga berarti seluruh jaringan atau sebuah sistem yang mengontrol perempuan dan tubuh perempuan oleh pria.

Feminis radikal melihat akar dari penindasan perempuan berdasarkan jenis kelamin berdasarkan peran hamil dan merawat anak dan identifikasi perempuan pada tubuh mereka yang menjadi objek seksual. Cara mudah untuk melihat hal ini adalah dengan bertanya apa yang membedakan pria dan perempuan? Banyak yang akan memberikan jawaban berupa penjelasan secara biologis, bahwa perempuan dan pria berbeda dari kondisi biologisnya. Jawaban seperti ini yang dianggap oleh feminis radikal sebagai sumber penindasan perempuan. Karena perempuan bisa hamil dan melahirkan maka posisi mereka direndahkan hanya untuk urusan pribadi keluarga atau urusan domestik, mereka dianggap bertanggungjawab dalam urusan reproduksi, dan hubungan seksual ditentukan dengan kesenangan laki-laki semata.

Feminis radikal menawarkan sejumlah solusi untuk melawan penindasan ini dengan cara-cara yang cukup radikal (sesuai namanya). Misalnya, menggunakan kemajuan teknologi untuk menggantikan reproduksi biologis dengan reproduksi teknologi.

Feminisme sosialis

Feminisme sosialis menggabungkan kritikan terhadap patriarki dengan kritikan terhadap kapitalisme. Bagi aliran ini, kedua sistem ideologi tersebut berdampak buruk pada perempuan sehingga harus dilawan.

Beberapa feminis sosialis berargumen kapitalisme dan patriarki tidak dapat dibedakan. Menurut Heidi Hartmann, patriarki adalah sebuah kondisi material atau hubungan ekonomi yang melayani usaha kolektif pria dalam mendominasi perempuan.

Solusi yang ditawarkan oleh feminis sosialis adalah dengan mengubah atau mengakhiri kapitalisme dan patriarki. Menurut mereka, melawan patriarki tanpa melawan perbedaan kelas di masyarakat, atau melawan perbedaan kelas tanpa menekankan perbedaan jenis kelamin tidak akan cukup mengurangi penindasan perempuan. Menurut feminis sosialis, segala bentuk penindasan saling terhubung atau saling terjalin.

Feminisme budaya

Bagi aliran feminisme budaya, sumber penindasan perempuan adalah atribusi feminin di semua masyarakat tidak dianggap penting. Misalnya, di kebanyakan negara Barat kapasitas merawat (caring or nurturing) tidak dihargai, tidak diakui, atau tidak dilibatkan dalam politik dan moral.

Teori perempuan (Womanist theory)

Bagi pandangan ini, sumber penindasan terhadap perempuan bukan hanya satu (seperti yang dijelaskan aliran feminisme lainnya) dan dialami oleh perempuan dengan cara yang sama. Memiliki ide seperti itu tidak hanya sesat melainkan juga sangat asing bagi banyak perempuan. Banyak perempuan yang tidak hanya harus menghadapi penindasan karena dia seorang perempuan, melainkan juga karena rasnya dan status sosialnya. Pandangan ini lebih khusus melihat intersections antara ras, kelas, dan gender.

Teori ini menolak menggunakan terminologi feminisme karena begitu banyak variasi dari feminisme dan feminisme dirasa tidak cukup untuk merangkul itu semua. Menurut Bell Hooks, feminisme dianggap lebih sibuk dengan perdebatan ideologis ketimbang membuat perubahan yang berdampak nyata bagi perempuan di mana saja. Alasan lainnya, feminisme dianggap sebagai gerakan rasis, yaitu sebuah usaha untuk membuat perempuan kulit putih dan kelas atas agar setara dengan pria kulit putih dan kelas atas. Feminisme dianggap mengabaikan ras dan kelas yang memengaruhi perempuan kulit hitam (dan kulit berwarna lainnya).

Hooks memberi definisi baru untuk feminisme, yaitu perjuangan untuk mengakhiri penindasan seksis. Apa yang Hooks maksud dengan penindasan seksis adalah semua bentuk penindasan yang memengaruhi eksistensi politik perempuan. Rasisme, perbedaan kelas, ableism, heteroseksisme, ageism, dan berbagai penindasan lainnya dialami oleh perempuan sehari-hari, tetapi tidak semua perempuan mengalami semuanya.

Nama lain untuk womanist theory adalah interseksionalitas.

Feminisme posmodernisme

Tiga ide utama dalam aliran ini adalah phallologocentrism, psikoanalisis, dan perbedaan seksual. Feminis posmodernisme melihat struktur kesadaran dari pikiran dan bahasa adalah masculine-centered. Aliran ini menggunakan metode psikoanalisis dari Sigmund Freud dan Jacques Lacan untuk mencari akar dari cara kita berpikir dengan melacak jauh ke masa kecil kita. Freud dan Lacan terkenal seksis dalam karya-karyanya. Sebagian besar feminis posmodernisme menghargai sekaligus mengkritik beberapa metode dari psikoanalisis.

Feminis posmodernisme percaya bahwa perbedaan seksual merupakan konstruksi sosial, bukan berdasarkan kondisi biologis. Bahasa memiliki dua gender (maskulin dan feminin) dan karena gender dianggap sebagai hasil dari kondisi sosial, feminis posmodernisme beranggapan bahwa jenis kelamin juga ditentukan secara seksual dan bahasa alih-alih sebagai kondisi alamiah.

Feminisme dunia ketiga dan poskolonial

Bagi aliran ini sumber penindasan adalah sejarah dari kolonialisme, eksploitasi, imperialisme, seksisme, dan rasisme. Aliran ini mengkritik teori feminisme yang dominan berasal dari Barat. Jika feminis dari negara-negara Barat yang kaya memiliki keistimewaan berjuang untuk bekerja dan berpartisipasi di politik, atau berjuang mendapatkan gaji yang sama untuk pekerjaan yang sama, perempuan dari negara berkembang berjuang melawan represi sosial dan politik yang kejam. Dalam beberapa kasus, perjuangan ini juga masalah hidup dan mati.

Bab 3: Social, Legal, and Economic Rights for Women: The First Wave

Gelombang pertama fokus pada usaha untuk mendapatkan status manusia: kesetaraan hak-hak sipil, sosial, ekonomi, dan intelektual/pendidikan; juga status politik dan legal bagi perempuan. Perjuangan ini terjadi karena mulanya perempuan tidak dianggap sepenuhnya manusia atau rasional, dan di banyak tempat di dunia perempuan masih dianggap inferior jika dibandingkan dengan pria. Karena perempuan tidak dianggap manusia atau rasional, maka perempuan tidak mendapatkan keistimewaan seperti pria.

Scholz membahas berbagai pandangan dari filsuf yang menjelaskan definisi perempuan dari kacamata mereka. Aristoteles memandang perempuan sebagai versi pria cacat. Thomas Aquinas menjelaskan lebih lanjut pandangan Aristoteles ini bahwa sebenarnya perempuan itu bukan cacat jika dilihat secara keseluruhan, melainkan cacat jika dilihat secara individu. Maksudnya, perempuan dianggap sebagai spesies, tetapi sebagai representasi dari spesies tersebut mereka dianggap belum lengkap atau belum sempurna.

Plato mulanya berargumen perempuan sebagiknya berlatih berdampingan dengan pria dan semua manusia sebaiknya mencari posisi mereka dalam masyarakat berdasarkan kondisi alamiah mereka daripada dugaan yang berdasarkan jenis kelamin. Namun, dalam karya Plato berikutnya, Timaeus, dia bilang perempuan diciptakan dari jiwa-jiwa pria jahat dan tidak rasional.

Pandangan Augustine of Hippo mengenai perempuan lebih kompleks. Menurutnya, perempuan merupakan sepenuhnya manusia karena imaji Tuhan ada pada pria dan perempuan. Namun, perempuan dan pria memiliki kewajiban yang berbeda di dunia ini karena telah ditakdirkan oleh Tuhan. Perempuan memiliki kewajiban lebih banyak — seperti hamil, melahirkan, merawat anak — sehingga tidak bisa mendedikasikan waktunya atau intelektualitasnya untuk berkontemplasi tentang Tuhan. Jadi, perempuan setara, tetapi juga tidak setara.

Jean-Jacques Rosseau meyakini perempuan adalah manusia, tetapi mereka memiliki nilai-nilai alamiah yang berbeda sehingga mereka mendapatkan pendidikan dan perlakuan yang berbeda dari pria.

Women as rational and autonomous

Menurut Mary Wollstonecraft, manusia dikarakterisasikan oleh akal budi, nilai, dan pengetahuan. Akal budi membedakan manusia dari binatang lainnya. Nilai, moral atau karakter, yang membedakan antara manusia satu sama lain. Pengetahuan diperolah dari pengalaman, tetapi jika pengalaman seseorang dihalangi oleh adat istiadat, maka seseorang tidak dapat menjadi manusia yang lengkap. Kebahagiaan bergantung pada kesempurnaan alamiah (perfection of nature). Sehingga dapat dilihat dari penjelasan Wollstonecraft bahwa aturan sosial mencegah perempuan untuk mendapatkan pengalaman dan pengetahuan, menjauhkan mereka dari kebahagiaan. Lebih lanjut, dia berpendapat nilai-nilai feminin yang dipuji-puji oleh Rosseau dan lainnya tidak lebih dari basa-basi sopan-santun saja. Perempuan diajarkan untuk menjadi elegan ketimbang menjadi bijak (virtuous) karena itu mereka ditakdirkan untuk menjadi inferior.

Wollstonecraft juga berpendapat dengan tidak melibatkan perempuan dalam perkembangan dan praktik rasionalitas, perempuan diperlakukan tidak sebagai manusia. Menurutnya, solusi untuk ini adalah memberikan pendidikan untuk perempuan. Baginya, perempuan harus bertindak otonom untuk menjadi manusia seutuhnya.

Social and political rights

Peran perempuan dalam masyarakat patriarki terbatas pada merawat anak-anak di rumah. Peran sosial yang melibatkan pengambilan keputusan politik atau menjadi pemimpin sangat besar kemungkinannya jatuh pada pria.

Hal ini kemudian membawa kita pada salah satu aspek penting dalam gelombang pertama feminisme: kewarganegaraan. Sejak masa kuno, kewarganegaraan hanya diberikan pada pria. Dalam filosofi, memiliki kewarganegaraan berarti terdaftar keanggotaan dalam komunitas politik. Menjadi warga kota berarti seseorang memiliki hak-hak dan kewajiban tertentu berkaitan dengan komunitas. Hak-hak yang didapat biasanya berbagai bentuk perlindungan (seperti perlindungan properti, perlindungan privasi), kebebasan selama tidak mengganggu orang lain, dan hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Kewajiban yang harus dilakukan seperti menghormati hak-hak orang lain dan melakukan bagiannya untuk menjaga komunitas.

Dengan demikian, menjadi warga kota atau warga negara berarti diakui keberadaannya dalam sebuah komunitas sebagai individu yang berharga, yang layak untuk mendapatkan perlindungan dan dipercaya untuk menjalankan kewajiban. Dengan mengabaikan perempuan bisa bermakna bahwa mereka tidak dianggap sebagai manusia dan bisa juga perempuan dianggap sebagai orang yang tidak dipercaya atau tidak layak untuk mendapatkan perlindungan. Gerakan feminisme sudah berusaha secara konsisten untuk mengubah hal tersebut. Pada gelombang pertama feminisme, hal pertama yang ditekankan adalah berjuang untuk memperoleh status yang sama dengan pria.

John Stuart Mill adalah orang pertama dalam kapasitasnya sebagai tokoh politik yang memperjuangkan hak perempuan untuk ikut pemilu. Pendapat Mill terkait perempuan berfokus pada tiga kategori dasar: intelektual, ekonomi, dan sipil. Mill menyalahkan terbatasnya akses pendidikan untuk perempuan sehingga mereka terlihat lemah di masyarakat. Menurut Mill, perempuan harus diberikan pendidikan yang setara dengan pria. Mill juga mendukung kesempatan yang setara untuk perempuan di ekonomi dan kebijakan publik dan hukum.

Opening legal rights for women: the vote

Reformasi di bidang hukum bagi perempuan: bisa ikut pemilu, bisa menjadi pejabat publik, memiliki hak untuk berbicara di depan publik, memiliki hak untuk membuat kontrak, hak untuk memiliki properti, dan hak perlindungan sebagai manusia.

Economic rights

Kesempatan setara dalam pekerjaan berarti perempuan memiliki kesempatan yang sama seperti pria untuk mendapatkan pekerjaan dan peningkatan karir. Kita dapat melihat kesempatan setara sebagai sebuah proses tiga tahap. Pertama, menghapus halangan yang secara gamblang menghambat perempuan untuk mendapatkan pekerjaan yang bagus. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam hanya pria yang dapat diterima dalam penerimaan pegawai dan promosi pegawai. Kedua, membuang persyaratan yang merupakan bentuk diskriminasi secara halus. Misalnya, salah satu syarat penerimaan pegawai memiliki minimal tinggi dan berat badan yang memungkinkan perempuan tidak bisa mendaftar. Ketiga, mengubah sikap atau budaya di lingkungan kerja.

Human rights

Tidak terhitung banyaknya feminis kontemporer yang tanpa kenal lelah memperjuangkan hak-hak perempuan. Hak asasi manusia secara umum dipahami sebagai kewajiban universal antar manusia. Deklarasi HAM PBB (1948) merupakan dokumen pertama yang menyertakan kebebasan dan kesetaraan bagi semua manusia. Meskipun demikian, Deklarasi HAM PBB ini masih memiliki bias Barat dan belum mengakomodir nilai-nilai atau praktik budaya lain. Selain itu, deklarasi ini juga problematik untuk perempuan karena perempuan masih belum dihargai sebagai manusia sepenuhnya atau layak untuk dilindungi di seluruh negara, dan perempuan tidak memiliki status politik setara dengan pria di seluruh dunia.

Atas dorongan feminis dan aktivis perempuan di seluruh dunia, PBB menerbitkan sejumlah dokumen dan perjanjian dalam rangka menjawab isu tersebut. Deklarasi Penghapusan Kekerasan pada Wanita PBB (1993) secara gamblang memperluas hak-hak yang ada di Deklarasi HAM PBB juga berlaku untuk perempuan. Feminis global juga terus berjuang pada isu-isu hak asasi perempuan dengan membangun koalisi di antara kelompok feminis lintas negara dan mencari tujuan bersama.

Salah satu contoh usaha feminis dalam memperjuangkan hak asasi perempuan adalah sunat perempuan. Aktivis menolak sunat perempuan karena hal tersebut dianggap sebagai pelanggaran hak asasi perempuan. Secara khusus, sunat perempuan melanggar hak penuh atas tubuh perempuan, ekspresi atau kenikmatan seksual perempuan, dan rasa aman perempuan atas tubuhnya sendiri. Selain itu, sunat perempuan dapat meninggalkan luka psikologis sebagai tambahan dari luka fisiknya.

Selain itu, isu lain yang ditangani adalah pelarangan memakai simbol agama dan simbol lain di sekolah di Prancis. Larangan ini bermaksud untuk mendukung sekulerisme yang diyakini dapat berkontribusi pada rasa terikat dengan komunitas nasional. Namun, pelarangan tersebut menghalangi kebebasan anak-anak dan perempuan dewasa yang secara sadar memilih untuk memakai jilbab sebagai perwujudan keyakinan terhadap agamanya.

Bab 4: Expanding the sphere of influence: the second wave

Tokoh feminis yang dianggap penting dalam gelombang kedua feminisme adalah Simone de Beauvoir. Beauvoir menulis buku, The Second Sex, yang dianggap sebagai pionir dalam studi mitos budaya, standar sosial, dan situasi kehidupan perempuan.

Beauvoir memberikan empat strategi untuk membantu perempuan dalam meniti jalannya menuju transendence atau subjektivitas: (1) perempuan harus bekerja; (2) perempuan harus mengejar dan berpartisipasi dalam kegiatan intelektuali; (3) perempuan harus memiliki kebebasan dalam seksualitasnya; (4) perempuan harus berjuang untuk mengubah masyarakat menjadi masyarakat sosialis dan berjuang mendapatkan keadilan ekonomi.

Sex versus gender

Perbedaan seks/gender memiliki sejumlah implikasi untuk memahami penindasan pada perempuan. Pertama, ketika gender dipahami sebagai konstruksi sosial, maka penindasan perempuan juga berubah menjadi sesuatu hal yang dipahami sebagai produk masyarakat daripada sebagai takdir perempuan. Jika perempuan secara alamiah lebih inferior daripada pria, maka usaha feminis untuk mengubah hubungan sosial yang tidak setara itu akan sia-sia karena “ya sudah dari sononya.” Kedua, gender sebagai konstruk sosial membuat feminis bisa mencapai persatuan politis di antara perempuan.

Sisterhood

Perdebatan mengenai seks dan gender memungkinkan tercapainya aksi feminis kolektif. Gerakan politis ini berusaha membangun solidaritas antar perempuan. Beauvoir menyerukan solidaritas di antara perempuan merupakan strategi untuk pembebasan yang menyentuh di gelombang kedua. Solidaritas ini bisa dalam bermacam bentuk, salah satunya adalah sisterhood.

Salah satu ide terbentuknya sisterhood adalah perempuan memiliki penindasan yang sama. Perempuan bisa saling terikat atas kesamaan kecemasan, penderitaan, dan hukuman. Ketika perempuan adalah saudara mereka saling mendukung dan memahami satu sama lain. Sisterhood menyiratkan hubungan moral dan epistemological yang terjalin antara perempuan mengabaikan kenyataan apakah mereka sesungguhnya saling mengenal satu sama lain. Idenya adalah semua perempuan yang menjadi korban dari kekerasan seksis, marginalisasi, exclusion, perempuan sesungguhnya bersatu. Sisterhood seharusnya berarti saudara perempuan yang membantu saudara perempuannya yang lain.

Sisterhood memiliki permasalahannya sendiri. Pertama, tidak semua perempuan memiliki permasalahan penindasan yang sama sehingga belum tentu ada ikatan di antaranya. Permasalahannya semakin kompleks ketika kita menyadari bahwa banyak teori dan kegiatan feminisme muncul dari kelas menengah dan atas perempuan dan pria. Beberapa feminis mungkin mengalami kesulitan untuk memahami penindasan yang terjadi pada perempuan di luar status sosial, kelas, dan ras mereka.

Masalah berikutnya, sisterhood cenderung untuk menekankan pada posisi menjadi korban. Memang betul kita perlu memberi nama, mengetahui, dan mengidentifikasi sebuah masalah yang dialami oleh orang lain sehingga kita menjadi tahu bahwa dia adalah korban. Namun, jika energi kita habis pada memfokuskan pada seseorang adalah korban tanpa pernah mencapai titik perubahan sistem sosial dan politik maka itu yang menyebabkan victimization. Perempuan harus bergerak maju dari menjadi korban agar dapat mengidentifikasi banyaknya kekuatan yang perempuan miliki dan bertindak menggunakan kekuatan tersebut untuk kebaikan.

Identity politics

Politik identitas merupakan sebuah reaksi dari solidaritas perempuan atau sisterhood yang berlandaskan pada pengalaman yang sama dan juga sebagai usaha untuk mendapatkan hak sosial, legal, intelektual, dan ekonomi bagi orang-orang yang tertindas. Politik identitas menantang sosial tradisional dan teori politik karena ketika mengenali perbedaan di antara kelompok, maka kebijakan publik harus memperlakukan individu secara berbeda. Identitas politik seringkali dipahami dalam budaya pop sebagai suatu perwakilan dari keberagaman di dalam politik. Bagi feminisme, salah satu cara manifestasinya adalah ketika perempuan terpilih atau ditunjuk sebagai pejabat publik. Contohnya, Margaret Tatcher yang terpilih sebagai PM Inggris dan Megawati Soekarnoputri menjadi presiden RI.

Politik identitas memiliki potensi dalam memberdayakan dan mewakili kelompok, tetapi tidak selalu ia akan mengubah lanskap publik dan politik dalam usaha untuk mengurangi atau mengobati penindasan. Politik identitas juga dikritik karena telah melahirkan banyak identitas. Jika politik identitas menjadi landasan untuk perwakilan politik, maka dibutuhkan batasan tegas yang perlu ditarik untuk memisahkan berbagai identitas tersebut. Contohnya, ras. Ras bukanlah sesuatu hal yang mudah dibedakan dan seorang individu bisa diidentifikasi memiliki banyak ras. Dengan demikian, bagaimana caranya dia terwakili melalui politik identitas?

Race and class

Sekarang ini ras lebih menjadi kategori politis daripada alamiah atau biologis. Di dalam masyarakat yang rasis, orang-orang yang berkuasa atau orang-orang yang memiliki keistimewaan dari sistem ras menentukan kategori politis dari ras. Misalnya, kebijakan rasis anti kulit hitam.

Public existence and the private sphere

Pesan dari kampanye ini adalah perempuan sudah cukup lama menderita dalam diam  sebagai individu dan menolak untuk diam lebih lama. Hal-hal personal tersebut termasuk pengalaman seseorang yang memiliki tubuh perempuan dan juga pengalamannya sebagai perempuan di dalam rumah dan di tempatnya bekerja. Menstruasi, kehamilan, persalinan, pekerjaan rumah tangga, pemerkosaan, kekerasan domestik, pelecehan seksual, dan beragam topik lainnya yang tadinya merupakan ranah privat perempuan dikeluarkan dan dibahas dalam diskusi publik. Dengan mempolitisasi hal ini yang tadinya dibungkam, feminis memperluas pemahaman penindasan. Tubuh perempuan dan rumahnya, tidak hanya eksistensi sosial dan politik, dikenali sebagai tempat penindasan yang dialami oleh perempuan.

Psychological oppression

Sandra Lee Bartky berpendapat penindasan perempuan juga mulai merasuki kondisi psyche seseorang untuk menjadi penindasan psikologis. Dia menunjukkan bahwa perempuan mendapatkan stereotip, didominasi secara budaya, dan diobjektifikasi secara seksual dalam berbagai cara yang memecahnya dan membuatnya menjadi bingung.

Mystification terjadi ketika seseorang percaya kalau stereotipnya natural; kenyataan bercampur dengan penindasan psikologis. Misalnya, seorang perempuan dikecilkan perannya menjadi seorang ibu alih-alih seorang perempuan tanpa memiliki minat dan target yang ingin dicapai karena stereotip perempuan perannya yang berguna hanya menjadi seorang ibu.

Dominasi budaya meminimalisir kontribusi budaya perempuan dan meniadakannya dari produksi dunia budaya yang penting. Contohnya, dalam bahasa yang memiliki maskulin dan feminin. Atau, dalam bahasa Inggris sering kita temukan penggunaan “he” alih-alih “she” ketika gender dari sesuatu tidak diketahui: A doctor has a great wage. He can buy expensive things. Objektifikasi seksual terjadi ketika seseorang dijadikan objek untuk tujuan kesenangan seksual.

Masih banyak pembahasan yang lainnya seperti feminist ethics, ethics of care, lesbian ethics, embodiment, religion, dan standpoint epistemology. Hanya saja karena terlalu banyak dan panjang pembahasannya, saya jadi malas menulisnya di sini. Hahaha.

Bab 5: Language, Thought, and Cultural Production: The Third Wave

Gelombang ketiga feminisme menunjukkan kepada kita bahkan hal-hal yang nampak netral gender (seperti kesetaraan dan kebebasan) dibangun dari struktur pemikiran yang maskulin atau didominasi oleh pria. Pada gelombang ini, berusaha untuk menolak norma yang sudah terbentuk dan memvalidasi keberagaman. Namun, hal ini tidak mudah dilakukan karena norma sudah tertanam dalam kesadaran kita. Kita belajar norma melalui bahasa yang menyusun kesadaran. Bahasa mengatur pikiran kita dengan caranya yang khusus.

Salah satu aspek unik dari gelombang ketiga feminisme adalah kehadiran dan kegunaan budaya populer. Kegiatan politik mengalami perluasan makna. Di gelombang ketiga, kegiatan politik tidak hanya terbatas pada struktur formal di pemerintahan, melainkan meluas pada aksi-aksi individunya di lokapasar (marketplace), akademi, dan bahkan dalam pikirannya sendiri sudah dapat dikategorikan sebagai politik.

Gelombang ketiga feminisme melihat kekuatan dan kemungkinan dalam menciptakan budaya melalui media yang tadinya diremehkan, seperti zines. Bisa juga melalui teknologi komputer dan internet, seperti blog dan media sosial lainnya. Bahkan merajut, berkarya musik secara indie, dan kegiatan lain juga termasuk. Kegiatan tersebut merupakan kegiatan politik yang self-motivated.

Bahasa memiliki kekuatan untuk membentuk realita, atau setidaknya membentuknya bagaimana kita memikirkan keadaan realita. Bahasa bisa saja sangat seksis, tanpa sengaja bernada patriarkis, atau secara simbolis hegemonis. Contoh kata yang sangat seksis adalah “pimp”. Dalam bahasa Inggris pimp berarti germo, sementara sekarang kata ini mengalami pergeseran makna menjadi sesuatu yang lebih keren. Contoh lainnya adalah perbedaan kata sifat dalam menjelaskan anak-anak perempuan dan anak-anak laki-laki. Anak perempuan itu manis, baik, pendiam, cantik, dan rapuh. Sementara anak laki-laki itu kuat, tegas, serius, dan aktif. Perempuan dewasa seringkali dipanggil berdasarkan status pernikahannya. Jika sudah menikah maka dipanggil “Mrs.”, jika masih lajang dipanggil “Miss”. Sementara pria cukup dipanggil “Mr.” baik sudah menikah atau belum. Solusinya, kita dapat menggunakan kata yang gender-neutral dan menghindari kalimat seksis.

Gelombang ketiga feminisme juga melawan konstruk seks dan gender, seperti gelombang kedua feminisme. Namun, mereka melawannya dengan cara merangkulnya. Maksudnya, dalam seorang perempuan bisa memiliki karakter feminin dan juga maskulin. Misalnya, seorang perempuan bisa saja feminin dan kuat sekaligus.

Feminis gelombang ketiga membela penggunaan make-up dan operasi plastik untuk perempuan sebagai bentuk kebebasan berekspresi, sementara bagi feminis gelombang kedua keduanya dianggap sebagai penindasan standar kecantikan. Feminis gelombang ketiga mendukung dan membela praktik tersebut sebagai cara perempuan untuk memberdayakan dirinya untuk bebas memilih menjadi apa dan siapa.

Gelombang ketiga feminisme juga muncul teori queer. Teori queer mempertanyakan dikotomi seks dan gender juga semua identitas. Menurut teori ini, pembedaan perempuan dan pria itu tidak bermakna, juga demikian dengan pembedaan antara female dan male; heteroseksual, homoseksual, dan biseksual; gay dan lesbian. Queer theory menolak politik identitas.

Importantly, queer theories do not limit their subject to sex, gender, and sexuality. Queer theory is used to destabilize all kinds of norms and identities, including race, class, and nationality.

Feminis gelombang ketiga menggunakan budaya pop dalam kampanyenya agar dapat lebih mudah diterima oleh masyarakat.

By using popular culture rather than (or in addition to) more overt forms of feminist argument, activists are often able to transform negative images of women and unhealthy messages about personal relationships or political roles into more open, diverse, and accepting portrayals of women and the many ways women act in society. 

Dalam bab ini juga dibahas, yang termasuk dalam gelombang ketiga feminisme: ecofeminisme dan disability and feminism, youth culture and poor women.

Bab 6: Postcolonial, transnational, and Global Feminism

Feminisme global berusaha untuk membangun koneksi antar perempuan di seluruh dunia berdasarkan komitmen politik kolektif untuk perubahan sosial. Solidaritas adalah sebuah persatuan orang-orang akan kesamaan tujuan. Feminis global menggunakan konsep ini untuk menunjukkan koneksi kelompok antar perempuan lintas batas negara dan mengabaikan perbedaan bahasa.

Feminisme global melihat isu-isu yang memberi dampak pada perempuan secara global atau dari perspektif global. Isu-isu yang memengaruhi perempuan secara global, seperti pelecehan dan kekerasan seks dan gender, juga konsumerisme. Membeli dan menjual produk merupakan sebuah aksi politik. Feminis global menjadikannya sebagai proyek politik global dengan mempertimbangkan dampak pembelian pada perempuan dan anak-anak di seluruh dunia.

Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, salah satu elemen dasar feminisme global adalah hak asasi manusia. Feminis global mengkritik Deklarasai HAM PBB (1948) karena dalam deklarasai tersebut menunjukkan masih banyak budaya yang gagal mengakui perempuan sebagai manusia seutuhnya, sehingga tidak layak untuk mendapatkan hak perlindungan. Selain itu, deklarasi tersebut tidak mencakup pelanggaran seks spesifik sebagai pelanggaran HAM. Feminis global memberikan strategi spesifik agar memperpanjang definisi HAM untuk perempuan dan memodifikasi standar hak asasi manusia agar dapat mengakomodir pelanggaran spesifik seks dan gender.

Terminologi feminisme global dapat digunakan bergantian dengan terminologi feminisme transnasional. Namun, keduanya terdapat perbedaan yang dapat dilihat. Feminisme transnasional tidak perlu sampai memberikan dampak secara global atau berlaku secara keseluruhan di negara-negara dunia. Ia lebih tepatnya kerja sama antar dua negara. Contoh dari feminisme transnasional: ketika perempuan di negara maju bekerja sama dengan perempuan di negara berkembang untuk menciptakan kesempatan buat perempuan dan saling bertukar informasi dan pengetahuan. Misalnya, kelompok perempuan Norwegia bekerja sama dengan kelompok perempuan di Thailand untuk mencegah perdagangan manusia dari Thailand ke Norwegia. Dari contoh ini kita dapat melihat feminisme global dan feminisme transnasional bertujuan untuk saling menghargai budaya dan kedaulatan negara, tetapi mereka juga berusaha mengatasi elemen seksis yang ada.

Pendekatan lain dari feminisme lintas negara adalah feminisme poskolonial dan feminisme Dunia Ketiga. Feminisme poskolonial menelusuri kembali banyaknya permasalahan di negara berkembang sampai ke sejarah kolonialisme. Kolonialisme mengeksploitasi tidak hanya sumber daya alam, ia juga membajak budaya, sistem pendidikan, keyakinan akan ras dan hubungan gender, dan bahasa. Feminisme poskolonial menganalisis ideologi seksis dan praktiknya pada konteks ini.

Kolonialisme gaya lama membunuh atau menelantarkan penduduk asli, sementara kolonialisme gaya baru membuat miskin suatu budaya dengan cara membanjiri masyarakatnya dengan nilai-nilai Barat, produk Barat, atau ide-ide Barat. Keduanya menjadi isu bagi feminisme ketika penindasan seksis muncul, tetapi feminis poskolonial juga berpendapat bahwa terdapat koneksi yang lebih penting antara seksisme dan rasisme, kolonialisme, classism, heteroseksisme, ketidakadilan ekologis, dan bentuk lain penindasan.

Dengan semangat yang sama, feminis Dunia Ketiga juga melawan rasisme, seksisme, kolonialisme, dan imperialisme dengan menekankan kekuatan dan perlawanan dalam menghadapi budaya hegemoni. Feminis Dunia Ketiga tidak mesti berasal dari negara-negara miskin atau berkembang, tetapi juga bisa dari negara-negara maju. Mereka menamakan diri mereka sebagai “Dunia Ketiga” untuk mengindikasikan kondisi kemiskinan, eksploitasi, dan marginalisasi yang perempuan alami di mana pun mereka berada. Nama “Dunia Ketiga” itu sendiri muncul dari masa kolonial tetapi sudah mengalami penyesuaian oleh feminis dan aktivis lainnya untuk menjelaskan kesatuan politik melawan penindasan.

Satu elemen penting dalam perlawanan adalah penolakan sejarah kolonialisme ditulis dari perspektif penjajah imperialis. Malah, feminis Dunia Ketiga mengadvokasi penulisan ulang sejarah dari perspektif dan pengalaman orang-orang yang terjajah.

Feminization of poverty adalah kesenjangan standar kehidupan antara pria dan perempuan sebagai akibat dari kesenjangan kemiskinan antar gender. Faktor yang mendorong kesenjangan ini adalah perbedaan gaji yang diterima antar pria dan perempuan. Perempuan menerima gaji lebih rendah daripada pria. Jika perempuan harus menghidupi dirinya dan keluarganya (seandainya ia adalah ibu tunggal), maka kemampuannya untuk menghidupi dirinya dan keluarganya akan lebih susah dibandingkan pria pada situasi yang sama. Dari banyaknya populasi kemiskinan seluruh dunia, dua per tiganya adalah perempuan.

Faktor-faktor yang membuat perempuan kesulitan untuk keluar dari lingkaran kemiskinan selain gaji yang tidak setara adalah bias gender, beban tanggung jawab mengurus keluarga, kesenjangan pendidikan antar gender dan kesehatan, juga hambatan legal dan budaya yang menghalangi perempuan untuk memiliki warisan.

Global care chains bisa dikatakan sebagai pasar buruh dalam skala global yang menyediakan jasa perawatan intensif (care-intensive labor). Misalnya, sebuah keluarga kulit putih kaya di Amerika Serikat mempekerjakan seorang perempuan dari (biasanya) negara-negara miskin dan berkembang sebagai pengasuh anak-anaknya. Perempuan tersebut mendapatkan gaji yang lebih layak jika dibandingkan dia bekerja di negaranya, tetapi itu berarti dia harus merelakan anaknya dirawat oleh keluarganya di negaranya.

Dalam perdagangan manusia yang biasanya menjadi korban adalah perempuan dan anak-anak. Perempuan dijual untuk dijadikan tenaga prostitusi, buruh domestik, atau pengantin pesanan. Anak-anak juga menjadi korban dengan tujuan untuk dijadikan tenaga prostitusi, juga untuk diadopsi secara ilegal dan prajurit anak-anak. Tujuan lain manusia dijual adalah untuk diambil organ tubuhnya. Feminis poskolonial berpendapat bahwa perdagangan manusia merupakan bentuk baru dari neokolonialisme atau the extensions of colonialist pasts. 

Feminis global memberikan langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah perdagangan manusia, selain memberikan sumber penghasilan lain untuk perempuan dan tuntutan hukum kepada pelaku perdagangan manusia, yaitu: (1) mengutuk secara eksplisit perdagangan manusia sebagai pelanggaran hak asasi manusia oleh PBB dan lembaga internasional lainnya; (2) transformasi sosial dan udaya yang menghargai perempuan sebagai dirinya sendiri, bukan sebagai tubuh untuk diobjektifikasi, dikonsumsi, atau sebagai komoditas yang diperdagangkan atau dijual; (3) konsep kebebasan yang lebih luas yang menyadari bahwa kebebasan manusia saling terikat satu sama lain. Ketika satu manusia digunakan sebagai objek untuk kesenangan orang lain, maka seluruh manusia direndahkan martabatnya.

Pemerkosaan yang terjadi pada saat perang merupakan efek lain dari perang yang sulit untuk dihindari. Pemerkosaan biasanya dilakukan secara sistematis selama perang sebagai bagian dari strategi militer. Dalam perang Yugoslavia, setidaknya ada lima cara pemerkosaan digunakan sebagai bagian dari usaha perang. Pertama, pemerkosaan digunakan untuk menakut-nakuti dan mengintimidasi penduduk setempat sebelum melancarkan serangan militer. Kedua, tentara Serbia menggunakan pemerkosaan sebagai strategi perang untuk menyerang dan menaklukkan sebuah kota atau daerah. Ketiga, membangun kamp pemerkosaan di gedung-gedung yang tujuannya untuk mengurung perempuan dan menjadikan mereka sebagai budak seks untuk diperkosa berkali-kali. Kamp pemerkosaan itu juga digunakan untuk memaksakan kehamilan pada perempuan-perempuan Yugoslavia dan memaksa mereka untuk tetap hamil sampai masanya melahirkan. Keempat, rape was perpetrated simply for the sake of rape in the detention and refugee centers. Kelima, perempuan dipenjara dimana mereka berulang kali diperkosa sampai mereka dibunuh.

Pada genosida yang terjadi di Rwanda, dan yang terakhir terjadi di Darfur, Sudan, dan Congo, para feminis yang mempelajari war rape berpendapat tidak hanya pemerkosaan digunakan sebagai bagian dari genosida, melainkan pemerkosaan itu sendiri adalah genosida. Genocidal rape is a rape that kills. Pemerkosaan itu terus dilakukan berkali-kali sampai korban meninggal atau pemerkosaan yang dilakukan dengan cara memang untuk membunuh korban. Misalnya, pemerkosaan dilakukan dengan menggunakan objek-objek selain penis dengan tujuan untuk membunuh.

Genocidal rape — whether as a part of a genocide campaign or as genocide itself — is also systematic and widespread. It is rape perpetrated against a people: an ethnic, cultural, or religious group.

Satu hal yang menarik mengenai koalisi feminisme transnasional dan global adalah berbagai aliran feminisme dan metodologi yang berbeda bisa bekerja sama untuk menciptakan kemerdekaan bagi semua perempuan, pria, dan anak-anak. Feminisme global menunjukkan bahwa feminisme bukan hanya sekadar isu perempuan.

Bab 7: Riding the Waves Through Some Feminist Issues

Pada bab ini Scholz membahas berbagai isu-isu feminisme dari berbagai aliran. Berbagai isu yang dibahas, antara lain standar kecantikan, kehamilan, pemerkosaan, kekerasan domestik, buruh domestik. Analisis yang digunakan memakai aliran dari berbagai feminisme yang sudah dibahas sebelumnya di buku ini, seperti feminisme gelombang pertama, gelombang kedua, gelombang ketiga, feminisme global, dan lain-lain. Saya tidak akan membahas secara rinci karena sudah lelah mencatat dan, yah, kalian bisa menganalisis sendiri lah ya kalau penasaran (dan iseng) dengan menggunakan teori yang sudah saya rangkumkan di atas. Hehehe.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: