#149 – Aidit

9602205Judul: Aidit: Dua Wajah Dipa Nusantara
Penulis: Seri buku TEMPO
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (2010)
Halaman: xiv + 143
ISBN-13: 978-979-91-0279-9
Rating: 3 dari 5 ⭐ – liked it

Selama ini kita mengenal Dipa Nusantara Aidit sebagai Ketua PKI yang bengis karena telah memerintahkan pemberontakan di penghujung bulan September 1965 dan untuk menghabisi Dewan Jenderal. Maka tidak heran ketika majalah Tempo menulis tentang D.N. Aidit sebagai laporan utama, seorang pensiunan jenderal Angkatan Darat dengan gusar bertanya, “Mengapa DN Aidit?” Dengan setengah menghardik ia berujar, “Kalian tidak mengerti sejarah.” (hal. vii)

Arif Zulkifli menulis dalam kata pengantarnya tidak ada fatwa yang mengharamkan media massa menulis tentang orang paling jahat sekalipun. Jika sebuah peristiwa menarik, maka layak untuk ditulis dengan baik dan benar. Selain itu, publik juga berhak tahu akan informasi dan fakta sebenarnya, termasuk tentang Aidit, karena selama ini apa yang publik luas ketahui tentang Aidit — dan tokoh-tokoh kiri lainnya di negeri ini — masih berselimut kabut.

Banyak sisi yang dapat diceritakan dan menarik untuk diketahui dari sosok Aidit, selain dari kisahnya sebagai Ketua PKI dan pemberontakannya. Buku ini membantuku untuk lebih mengenal Aidit sebagai sosok manusia biasa. Aku jadi tahu kalau sosok Aidit merupakan sosok yang kaku dan dingin, tetapi dia ngotot ingin menjadi penyair. Sayang, sajak-sajaknya dianggap jelek dan tidak layak untuk dimuat di Harian Rakjat Minggu, yang notabene merupakan media resmi PKI. Aku juga jadi tahu kalau suara Aidit remaja merdu dan kuat sehingga sering didapuk untuk mengumandangkan adzan sewaktu dia masih tinggal di Belitung. Di balik sosoknya yang kaku dan dingin, dia bisa membuat Soetanti jatuh hati dan mau menjadi istrinya. Aidit sangat menolak poligini sehingga dia pernah marah besar dengan Njoto karena Njoto berselingkuh dari istrinya dan ingin menikahi perempuan Rusia.

Selain masa kecil Aidit dan sedikit tentang kehidupan pribadinya, memang tidak terlalu banyak yang dibahas di dalam buku setebal 164 halaman ini karena memang fokusnya hanya untuk mengetahui seberapa dalam keterlibatan Ketua PKI itu dalam malapetaka 1965, itupun tidak terlampau dalam. Tidak apa-apa. Arif Zulkifli juga mengakui itu. Seperti yang ditulis di dalam kata pengantarnya:

Dalam hal ini kami harus berendah hati: makanan yang kami masak barulah sebatas hidangan siap saji.

Aku akan menganggap buku ini sebagai sebuah gerbang atau pengantar sebelum masuk lebih jauh. Jika suatu saat nanti aku tertarik dan ingin lebih mendalami sejarah terkait topik sensitif ini, aku tahu aku harus memulai dari mana.

Akan tetapi, sebelum memulai untuk mencari tahu, aku akan mencatat beberapa hal penting dari buku ini.

1. Aidit punya modal untuk revolusi. Dia punya massa, dekat dengan Soekarno, tetapi dia tidak punya tentara. Berdasarkan pengalaman partai komunis di banyak negara menunjukkan bahwa kekuatan bersenjata di bawah kendali partai sangat esensial. Seperti Mao bilang, kekuasaan lahir dari laras bedil. PKI pernah mengusulkan untuk dibentuk angkatan kelima — dengan mempersenjatai buruh dan tani — tapi ditolak mentah-mentah oleh tentara.

2. Pada tahun 1955 PKI menerbitkan dokumen perjuangan “Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan”, yaitu (1) perjuangan gerilya di desa-desa oleh kaum buruh dan petani; (2) perjuangan revolusioner oleh kaum buruh di kota-kota, terutama kaum buruh di bidang transportasi; (3) pembinaan intensif di kalangan kekuatan bersenjata, yakni TNI.

3. Aidit dieksekusi pada tanggal 22 November 1965 oleh Komandan Brigade Infanteri 4 Kodam Diponegoro Kolonel Yasir Hadibroto.

4. Kolom “Rahasia Aidit” yang ditulis oleh Hilmar Farid cukup menjelaskan kesuksesan Aidit dalam memimpin PKI sehingga bisa menjadi partai komunis besar selain di Uni Soviet dan China. Pada pemilu tahun 1955 PKI menempati urutan keempat dengan 6,1 juta suara. Apa rahasianya? Beberapa ada yang aku kutipkan langsung ya.
(a) Aidit melakukan konsolidasi dengan menyatukan unsur-unsur yang setuju pada garis kebijakan baru partai. Bagi yang berseberangan pandangan, maka mereka akan “diadili” dengan diturunkan jabatan dan status keanggotaannya, bahkan dikeluarkan dari partai.
(b) Aidit membangun struktur organisasi yang ketat. Seleksi dan perekrutan anggota dirapikan. Setiap calon anggota melalui tahap pemeriksaan dan pengawasan selama 5 – 6 bulan sebelum menjadi anggota penuh dan kemudian menjadi kader partai.
(c) PKI memberikan pendidikan politik, seperti analisis Marxis, studi ekonomi politik, sejarah masyarakat.
(d) Berlipat gandanya kegiatan penerbitan. Harian Rakjat awalnya terbatas untuk kader dan anggota partai, di awal tahun 1957 sudah menjadi harian dengan tiras 60ribu eksemplar. Cabang-cabang partai punya penerbitan sendiri, seperti Suara Ibukota di Jakarta, Suara Persatuan di Semarang, Buletin PKI Djawa Timur di Surabaya, dan Lombok Bangun di Mataram.
(e) Tumbuhnya komunitas yang berpusat pada organisasi partai. Organisasi secara konkret membantu anggota menghadapi masalah, mulai dari tekanan politik dari pihak lawan sampai urusan sehari-hari seperti kelahiran dan kematian. Menurut Donald Hindley, PKI berhasil membangun komunitas-komunitas berbasis solidaritas dalam masyarakat yang penuh ketegangan dan pertentangan.
(f) Sejak 1951 Aidit menitikberatkan perjuangan partai melalui jalan parlemen. Sepanjang 1950-an Aidit tidak pernah “keluar jalur” seperti pemberontakan di daerah-daerah atau bersekongkol untuk menyingkirkan pemimpin nasional sehingga Soekarno melihat PKI sebagai sekutu penting untuk mengimbangi tekanan pihak militer.

Demikianlah catatan singkatku.

Omong-omong, ini adalah kali kedua aku baca buku ini. Penilaian aku ubah dari rating 4 ⭐ aku turunkan menjadi 3 ⭐ dari 5. Alasanku, terasa ada yang kurang setelah membaca untuk yang kedua kalinya. Barangkali dulu aku memberi 4 ⭐ karena masih dalam suasana kaget mendapat informasi baru tentang DN Aidit, tetapi sekarang sudah tidak kaget lagi dan jadi biasa saja. Hehehe.

Akhirul kalam, Mengutip Arif Zulkifli dari kata pengantarnya:

… Inilah kisah tentang tragedi anak manusia. Tentang seorang yang punya cita-cita — betapapun sepakat/tak sepakatnya kita pada cita-cita itu dan cara mewujudkannya. (hal. viii)

Jadi, aku ingin menambahkan sebagai disclaimer: Meski aku sudah membaca buku ini dan menjadi sedikit mengenal Aidit, aku tetap tidak sepakat dengan cita-cita Aidit dan cara mewujudkannya. Tulisan ini murni hanya sebagai ulasan atas buku yang aku baca. Aku mohon dengan sangat jangan disalahartikan ya. Terima kasih.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: