#5 – A to Z by Request

A to Z by RequestJudul: A to Z by Request
Penulis: Rizal Affif dkk.
Penerbit: PT Grasindo (cetakan pertama, 2013)
Halaman: vi + 338
ISBN 13: 978-602-251-171-7
Harga: Rp 37.600,- (setelah diskon 20%)
Rating: 5/5

Seorang teman SMP dan SMA memberitahu saya bahwa dia sudah menerbitkan buku, meski teman tersebut dengan rendah hati bilang buku tersebut tidak bisa dibilang sepenuhnya bukunya karena dia hanya menyumbang satu tulisan dalam buku tersebut. Buku yang dimaksud adalah A to Z by Request, sebuah antologi cerpen, dan teman saya yang dimaksud adalah Luxmaning Hutaki Widiastari.

Sebagai teman, saya sungguh bangga dengan pencapaian Lulu, panggilan akrab teman saya. Saya turut senang ada teman saya yang akhirnya menerbitkan sebuah buku. Dan sebagai teman yang suportif, saya membeli buku tersebut kemarin di Gramedia setelah berbulan-bulan dulu dan setelah ada diskon dulu.

Jadi, apa itu A to Z by Request? Bagaimana jalan ceritanya? Seru gak? Seru. Ini sungguhan. Untuk sebuah antologi dimana nama-nama penulisnya hanya satu orang saja yang saya kenal, saya berani bilang ini adalah buku yang bagus. 26 cerpen yang ada ditulis selayaknya ditulis oleh penulis profesional dan sudah ada nama. Selama membaca tak henti-hentinya saya berkata kepada diri sendiri bahwa buku ini layak untuk mendapat apresiasi yang lebih luas dan ke 26 penulis ini layak mendapat panggung yang lebih megah di Indonesia. Masing-masing dari mereka layak untuk menerbitkan buku sendiri.

Dari tema yang disuguhkan pun sudah menarik. 26 penulis mendapatkan satu huruf untuk tema cerita yang ditulis. Dari huruf A hingga Z. Dengan huruf tersebut terserah kepada setiap penulis bagaimana mereka akan meramunya menjadi sebuah cerita yang enak dibaca. Entah itu menjadi sebuah awalan nama, titel, chord, penyakit, apapun. Dan dari setiap huruf membawa kejutan yang tidak biasa. Nyaris di setiap akhir cerita saya dibuat tersenyum, ya tersenyum puas, tersenyum getir. Tentu saja karena ceritanya mampu mengaduk emosi. Ke 26 cerita sukses memberikan twist cerita yang tidak dapat saya duga sebelumnya. Jangankan twist, jalan ceritanya saja bagaimana tidak dapat saya terka. Mungkin saya terlalu asyik membaca rangkaian kata dan diksi yang menarik sehingga saya membiarkan diri saya hanyut dalam cerita. Saya tidak membiarkan diri saya terlalu sibuk untuk menebak alur cerita. “Nikmati saja cerita yang sudah disuguhi, Kim. Jangan kamu terlalu ambil pusing.” Seperti yang tertera di cara penyajian buku ini (bisa dibaca di sampul belakang):

Ambil segelas kopi dan sebungkus kacang. Cari huruf mana saja sesuai selera dan temukan cerita di baliknya. Nikmati selagi hangat.

Itu kunci utamanya: nikmati selagi hangat. Namun, saran saya jangan hanya membaca huruf-huruf tertentu. Baca semua huruf dari A hingga Z. Dan bersiaplah untuk selalu ketagihan dan bilang, “I want another word, please. I want more.”

Buku di Januari 2014

Terinspirasi dari Rise yang wrap-up buku-buku yang sudah dibacanya selama satu bulan kemarin, maka saya juga ikut-ikutan ingin membuat ringkasan buku apa saja yang sudah saya baca selama bulan Januari yang lalu. Karena, toh tidak semua buku saya tulis riviunya, tapi hanya saya beri rating di Goodreads. Jadi, selama 31 hari di Januari saya membaca delapan buku berikut:

1. How the Mind Works – Steven Pinker

Buku pertama dari Steven Pinker yang saya baca dan saya, jujur saja, agak susah mencernanya. Yah, mungkin saja karena topik tentang cognitive science belum begitu familier bagi saya. Atau bisa saja karena dari dulu saya tidak suka kognitif (saya tidak lulus mata kuliah itu!), jadi tanpa saya sadari saya memblok semua hal yang berbau-bau kognitif. Padahal saya tertarik dengan topik bahasa, neuroscience, dan human mind. Tapi, sepertinya jika ingin membaca buku-buku dengan dua topik tersebut, maka mau tak mau saya harus bersinggungan dengan ilmu kognitif. Blah.

Rating: 3/5 (ini aneh. Saya juga lupa kenapa saya memberi 3 bintang dari 5. Sepertinya nanti saya harus baca ulang buku ini. Kapan-kapan.)

2. Lapar – Knut Hamsun

Riviu sudah saya tulis di sini. Singkatnya sih tokoh “Aku” adalah orang yang sangat miskin. Dia sudah terbiasa lapar dan tidak makan berhari-hari. Meski begitu, dia selalu berpikir positif, jujur, dan berharga diri tinggi, yang bagaimanapun juga saya melihatnya ketiga sifat itu kalau takarannya berlebihan ya tidak bagus juga. Malah mencelakakan.

Rating: 4/5

3. Blink: The Power of Thinking without Thinking – Malcolm Galdwell

Riviu juga sudah saya tulis di sini. Buku tentang snap judgment atau thin-slicing. Buku yang ringan, mudah dibaca, dan tidak terlalu tebal. Itu berarti isinya juga ya so-so.

Rating: 2/5

4. Sampar – Albert Camus

Novel ini berkisah tentang wabah yang menyerang sebuah kota di Aljazair, yaitu Oran. Bagaimana penduduk kota tersebut menghadapi wabah tersebut dan bertahan hidup. Perjuangan Dr. Bernard Rieux yang tanpa pamrih mengobati penduduk Oran mengharuskannya rela diisolasi dan tidak dapat bertemu dengan istrinya, yang pada saat wabah menyerang istrinya sedang berobat ke luar kota. Juga perjuangan karakter-karakter lain di buku ini dengan caranya masing-masing.

Rating: 4/5

5. The Man who Mistook His Wife for a Hat – Oliver Sacks

Buku tentang kisah pasien-pasien yang pernah ditangani Dr. Oliver Sacks, seorang neurologist. Membaca ini saya semakin tertarik dengan neuroscience. Satu hal saja bermasalah di salah satu bagian otak kita akan membuat kita menderita. Parkinson, dementia, Tourette’s Syndrome, dan sebagainya. Membuat saya tidak henti-hentinya bersyukur saya dikaruniai kesehatan dan semoga kesehatan ini bisa saya jaga sampai saya menyerah kepada takdir (baca: meninggal).

Rating: 4/5

6. Inferno – Dan Brown

Tema dari novel ini menarik, yaitu tentang overpopulasi. Seperti yang sudah kita ketahui bersama jumlah populasi manusia yang tidak terkontrol dapat membahayakan umat manusia itu sendiri. Krisis pangan, krisis air, belum lagi berbagai kerusakan di Bumi yang kita buat sendiri. Tema yang menarik, namun tidak diikuti dengan cerita yang menarik, hasilnya ya Inferno. Tokoh antagonis yang terinspirasi dari Divine Comedy-nya Dante, yang memberikan nilai plus lainnya. Sayangnya, apa iya untuk mencegah Bertrand menjalankan aksi kriminalnya dibutuhkan tenaga seorang profesor ahli simbol, Robert Langdon, yang ditemani gadis cantik jelita dan pintar, Sienna Brooks? Plot cerita Dan Brown terlalu mudah ditebak. Intinya itu-itu saja. Mirip dengan novel-novel karangannya sebelumnya.

Rating: 2/5

7. Unaccustomed Earth – Jhumpa Lahiri

Buku kedua dari Jhumpa Lahiri yang sudah saya baca dan saya semakin jatuh cinta dengan dia. Jhumpa (selalu) menulis tentang orang berdarah India, atau asli India, yang tinggal di luar tanah airnya. Ada gegar budaya, ada adaptasi, ada kerinduan, ada kisah cinta dan kasih sayang dalam setiap ceritanya membuat saya “meleleh” dan rapuh. Kata-kata yang digunakan juga indah, bisa menciptakan suasana yang romantis tanpa harus mendeskripsikan romantis itu seperti apa. If you know what I mean.

Rating: 5/5

8. Extremely Loud and Incredibly Close – Jonathan Safran Foer

Riviu sudah saya tulis di sini. Tentang kisah seorang anak berusia 9 tahun, Oskar Schell, yang harus kehilangan ayahnya karena tragedi peristiwa 9/11. Oskar yang sangat dekat dengan ayahnya memiliki kesulitan untuk ikhlas bahwa ayahnya sudah tidak ada lagi. Ini adalah sebuah kisah bagaimana seorang anak harus merelakan ayahnya yang sudah meninggal.

Rating: 5/5

Fiuh… Akhirnya selesai juga. Ternyata membuat rangkuman buku-buku yang sudah dibaca selama satu bulan tidak mudah ya. Tapi, tidak apa-apa. Anggap saja ini sebagai ajang refreshment. Biar otak saya diajak bekerja dulu dengan mengingat-ngingat buku-buku yang sudah saya baca. Mudah-mudahan saja di bulan Februari ini saya bisa membaca lebih banyak buku dibanding bulan kemarin.

#4 – Extremely Loud and Incredibly Close

Cover Extremely Loud and Incredibly CloseTitle: Extremely Loud and Incredibly Close
Author: Jonathan Safran Foer
Rating: 5/5

One of the good things in reading a book is when you don’t have any expectations at all and after you finish reading it you take a deep sigh and say to yourself, “Damn, it’s good.” You don’t read its synopsis and reviews. What you only have is people say it’s a good book. That’s it. And that’s what I have experienced with Extremely Loud & Incredibly Close. I don’t have any expectations at all. All I know is that some of my friends say that this is good. So, I read it.

At first, I thought it was about another love story. A romance. It only took me few pages to realise that this was about a boy and his father. “Okay, this is interesting,” I thought. So, I read page after page and it’s getting more and more interesting for me. Maybe just like what Ayu has written in her review of this book, “This could be one of my biased review because I’m reading this when I’m not in a right emotional state.” In my case was I was in a right emotional state. I was fine and I wasn’t in my depresive mood. But, I lost my father 58 days ago. Automatically, I relate myself to Oskar Schell, the main character. Yes, this could be one of my biased review because the same story what Oskar and I have.

Oskar lost his father in 9/11 tragedy. After he died, Oskar found a vase. Inside it there was an envelope written “Black” with a key in it. Oskar thought it should have something to do with his father. So, he decided to find this Black–whoever he or she was–and asked Black about the key. Maybe Black knew something about his father. He roamed around New York to find the Black. He had spent eight months before finally he found the right Black. And along his journey he knew who his Grandpa was. At last.

This story was written using three viewpoints: Oskar, his grandfather, and his grandmother. For first few chapters I was confused who was telling a story. But then I was able to know who the narator was for each chapter.

I love Oskar. He was smart and was a critical boy. He’s only 9 years old and he knew already he was an atheist. Though I doubt that there was really a 9-year-old boy could think like that. I get the feeling that he got all that from his father since, I think, the two of them were very close. What Oskar and his father have, the relationship between them, reminds me of my own relationship with my father. While reading this, I couldn’t stop thinking of my father. Oskar and I have the same story. We both loved our father. We both lost someone that was dear to our hearts. We both grieved, but in different way. By roaming around New York to find the Black was Oskar’s way to grieve. He definitely took a really long time to grieve. He’s upset at his mother because he thought his mother was so quickly to be happy and find a new friend. He just didn’t know that there’s no right way to grieve.

After finish reading this, I felt pain in my old wound. It was like someone pour a salt over it. I guess my wound will never completely heal. I closed my ebook reader and whispered, “Papa, I miss you so much.”

#3 – Blink

BlinkJudul: Blink
Penulis: Malcolm Galdwell
Edisi: ebook. Pertama kali terbit tahun 2005.

Akhirnya saya bisa baca juga Blink setelah sekian tahun saya tahu buku ini (pertama kali diberitahu oleh dosen saya sewaktu saya masih semester 1 atau 2). Seandainya saya baca buku ini sewaktu saya kuliah dulu niscaya topik thin-slicing adalah topik yang menarik. Berhubung saya baru baca sekarang, somehow topik ini sudah tidak menarik lagi.

Mungkin kalian sudah tahu apa itu thin-slicing. Kita bisa menilai sesuatu dan/atau seseorang hanya dalam beberapa detik saja. Seorang kurator bisa tahu suatu artefak asli atau tidak hanya dengan memandangnya sekilas. Seorang psikolog bisa melihat hanya dalam beberapa menit saja untuk tahu pasangan suami-istri akan awet atau tidak perkawinannya. Dan banyak contoh yang lainnya. Buku ini membahas thin-slicing dimulai dari patung kouros dari enam abad sebelum masehi dan setelah dilihat oleh kurator ternyata palsu, kemudian tentang perkawinan (John Gottman bisa menilai pasangan suami-istri akan bercerai atau tidak hanya dari interaksi mereka dalam beberapa menit saja), tentang periklanan hingga militer. Dengan thin-slicing kita memang bisa menghemat waktu dan tenaga, tetapi thin-slicing juga punya sisi gelapnya. Sisi gelapnya yah… berhati-hatilah dalam melakukan snap judgment karena siapa tahu bisa merugikan diri kita atau orang lain. Hihihi…

Secara keseluruhan, buku ini ringan yah selayaknya psikopop lah. Dalam hitungan jam bisa selesai dibaca sebenarnya. Tapi, berhubung saya sedang malas dan sedang (sok) sibuk juga jadi baru bisa selesai baca buku ini setelah empat hari. 😀 Dan isinya juga tidak terlalu menarik. Tapi, kalau hanya untuk sekadar pengantar tentang thin-slicing, ya Blink lumayan okelah.

Skala 1 – 5, saya beri nilai 2 untuk Blink.

#2 – Lapar

LaparJudul: Lapar
Penulis: Knut Hamsun
Penerjemah: Marianne Katoppo
Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia (cetakan II, Juli 2013)
Halaman: xxii + 284
ISBN 13: 978-979-461-850-9
Harga: Rp 55.000,-

Knut Hamsun. Nama itu belum saya pernah dengar sebelumnya hingga hari Sabtu tanggal 28 Desember 2013. Hari itu saya iseng ke toko buku di kota saya dan melihat buku ini di rak “Sastra”. Saya pun tertarik ketika mengetahui Hamsun adalah seorang penerima nobel di bidang kesusastraan.

Lapar bercerita tentang “Aku” yang sangat miskin. Sudah biasa baginya tidak memegang uang sepeser pun dan tidak makan berhari-hari. “Aku” harus menahan lapar, badannya menjadi kurus kering, lemah, dan tidak berdaya. Bahkan dia tidak punya tempat tinggal. Pernah dia harus tidur di hutan di kala cuaca begitu dingin.

Yang menarik dari “Aku” adalah meski dia sangat miskin dan sudah tidak makan berhari-hari, dia tetap berpikir positif. Dia selalu semangat dan yakin bahwa artikelnya akan dimuat di koran dan dia akan mendapat uang untuk makan. Dia percaya itu. “Aku” juga orang yang jujur dan harga dirinya begitu tinggi. Meski dia tidak punya uang dan sangat kelaparan, dia tidak mau mengharapkan belas kasihan orang lain. Dia juga seorang yang jujur. Ketika seorang pelayan salah memberikan uang kembalian kepadanya, awalnya dia senang karena telah menerima uang “gratis”. Namun, lama-kelamaan hati nuraninya terus menghantuinya. Dia merasa bersalah. Untuk menebus rasa bersalahnya, dia memberikan uang itu ke nenek-nenek penjual roti. Bahkan, di saat saya mengira dia sebentar lagi akan mati, dia tetap optimis dan semangat.

Terlepas dari sifat positif dari tokoh “Aku”, jujur saja saya sering merasa kesal. Saya kesal dengan sifatnya yang terlalu optimis itu. Dia terlalu percaya diri bahwa tulisannya akan diterima editor, sementara dia sudah ditolak berkali-kali. Bukannya dia juga tetap mencari pekerjaan yang lain, tapi dia tetap terpaku dengan pekerjaannya sebagai penulis. Akibatnya, dia tidak punya penghasilan dan dia harus menahan lapar juga dingin karena dia tidak ada tempat tinggal. Yah, mungkin ini karena saya yang pragmatis, tapi entahlah… Rasa-rasanya “Aku” itu ya ndak benar juga.

Lapar yang aslinya berbahasa Norwegia diterjemahkan dengan baik oleh Marianne Katoppo. Tahu darimana saya kalau novel ini terjemahannya baik sementara saya kan tidak bisa bahasa Norwegia? Karena saya menikmati membaca novel ini. Kening saya tidak perlu berkerut membaca terjemahan yang aneh. Saya terhanyut membaca dari awal hingga akhir. Namun sayang, masih ada beberapa kesalahan ketik. Tapi, bisa ditolerir lah. Mudah-mudahan cetakan yang berikutnya tidak ada lagi kesalahan ketik.

Skala 1 – 5, saya beri nilai 4 untuk Lapar.

#1 – Good Omens

Good Omens

Judul: Good Omens: The Nice and Accurate Prophecies of Agnes Nutter, Witch
Penulis: Neil Gaiman dan Terry Pratchett

Alkisah dunia akan kiamat. Hari akhir akan segera tiba. Dunia ada di tangan bayi laki-laki yang lahir ke dunia, Anti-Christ, yang menentukan apakah dunia kiamat atau tidak.

Si malaikat Aziraphale dan si iblis Crowley bekerja sama mengawasi  Anti-Christ. Sampai saatnya tiba nanti Anti-Christ akan menentukan nasib dunia. Mereka meyakini bahwa manusia bisa berubah. Mereka percaya jika Anti-Christ di jalan yang “benar”, maka dunia akan selamat. Dunia tidak akan mengalami kekacauan. Kecintaan Aziraphale dan Crowley terhadap manusia lah yang membuat mereka membangkang dari tugas mereka yang seharusnya.

Namun sayang, Aziraphale dan Crowley mengawasi anak yang salah. Warlock, nama anak yang mereka kira adalah Anti-Christ, ternyata hanyalah anak laki-laki biasa. Seharusnya yang mereka awasi adalah Adam Young.

Young sendiri di usianya yang sebelas tahun tidak menyadari bahwa dia punya kekuatan. Ketika dia sedang mengobrol bersama komplotan kecilnya, apa yang dia ucapkan menjadi kenyataan. Dia ingin Bumi penuh dengan pepohonan, maka tumbuhlah pepohonan. Dia ingin orang Tibet menggali terowongan dan ada di tempat mereka, maka datanglah orang Tibet. Dia ingin ada makhluk UFO datang, maka datanglah UFO. Dan seterusnya.

Saya tadinya mengira Young yang egois dengan “idealisme”-nya, tanpa disadarinya akan menghancurkan dunia. Dia akan menciptakan peperangan antara kebaikan dan kejahatan, antara surga dan neraka. Karena berdasarkan ramalan Anti-Christ akan lahir dan dunia akan kiamat. Ternyata perkiraan saya salah. Adam Young tidak bertindak dengan apa yang sudah digariskan kepadanya.

Terlepas dari ceritanya yang lucu, konyolnya Aziraphale dan Crowley, saya berpendapat buku ini (mungkin) berbicara soal determinisme dan free will. Adam Young yang sudah digariskan sebagai Anti-Christ, yang harus menciptakan kekacauan, menciptakan perang antara Surga dan Neraka, yang harusnya membuat dunia berakhir, malah lebih memilih dunia yang damai. Si iblis Crowley yang seharusnya jahat, merayu manusia agar selalu berbuat jahat, malah menyukai manusia dan ingin hidup damai di bumi, dan juga dia berteman dengan si malaikat Aziraphale. Aziraphale bahkan bilang bahwa dia merasa Crowley di dalam hatinya setidaknya memiliki sedikit kebaikan.

Kita sebagai manusia punya kecenderungan yang sama besar untuk menjadi baik atau jahat. Semuanya tergantung pada pilihan kita untuk menjadi salah satu diantaranya.

Skala 1 – 5, saya beri nilai 4 untuk Good Omens: The Nice and Accurate Prophecies of Agnes Nutter, Witch.

*tulisan ini saya muat juga di blog saya satunya.

Daftar Buku September 2010

Buku yang saya baca selama bulan September kemarin tidak sebanyak bulan sebelumnya. Hanya sepuluh buku. Penyebabnya dikarenakan rasa malas yang mendera dan juga saya sedang mengerjakan skripsi, jadi yang harus banyak dibaca adalah jurnal-jurnal dan buku-buku terkait skripsi saya.

So, here is the list of books that I have read last month:

1. The Godfather – Mario Puzo

2. Smoke and Mirrors – Neil Gaiman

3. Chocolat – Joanne Harris

4. Darren Shan #5: Ujian Maut – Darren Shan

5. Darren Shan #6: Pangeran Vampir – Darren Shan

6. Darren Shan #7: Pemburu Petang – Darren Shan

7. Darren Shan #8: Sekutu Malam – Darren Shan

8. Darren Shan #9: Pembunuh Fajar – Darren Shan

9. Maya: Misteri Dunia dan Cinta – Jostein Gaarder

10. Kapten March – Geraldine Brooks

My First Online Shopping

It occurs to me that online shop is flourishing. When I surf on internet, I find there are so many online shops scattering. Especially when I log in to my Facebook account. In my home news feed, I happen to see there must be one or two of my friends are tagged in online shops’ photo album.

To be honest, I never shop online before. I guess I was afraid that a store might cheat me. I heard customers’ dissatisfaction by saying that they had paid their bill, but products they had ordered were never sent to them. Or they were sent broken products and when they complained the store didn’t want to take responsibility.

But, two days ago I shopped on internet for the very first time. I shopped on Kutukutubuku.com to buy Darren Shan Box Set Collection 2 and 3. Since I have bought Darren Shan Box Set Collection 1, I feel oblige to collect all Darren Shan’s books. I’ve searched these books to any bookstores I know but I didn’t find any, so when I browsed the books on Kutukutubuku and found them, without any second thought I ordered them.

For these two box set collections, I have to pay Rp 171.700,- (this price is after discount) and because I wanted the books were sent to my house in Bandar Lampung, so there is a shipping fee Rp 26.000,- for 2kg weight. The total was Rp 197.700,-. So, I paid the amount via ATM and afterwards I confirmed the payment to Kutukutubuku.

What I like from the store was they were processing my order so fast, albeit in their blog they said they were on holidays and all orders that were made after September 2, 2010 would be processed on September 14, 2010. In fact, they directly processed my order by the time they got it.

After they received my e-mail confirmation, they sent my books yesterday. And today, I have received the books! It only took two days for shopping at Kutukutubuku. I guess the credit supposed to be given also to the shipping company which send the books. It sent my Darren Shan’s to my home safely, smoothly, and fast. 😀

And, you know what? Now, I’m tempted to buy another books via online. *compulsive buying detected* 😀

Menulis Riviu ala Kimi

Kalau dalam beberapa pos sebelumnya saya bilang saya sering kali ngaku-ngaku hobi baca, sekarang saya mau bilang kalau saya suka menulis. Setidaknya, saya mengakunya sih begitu. Yah, minimal menulis riviu buku deh. 😆

Bagi yang terbiasa pasti setelah membaca buku langsung menulis riviu-nya di blognya. Belakangan ini saya lumayan rajin menulis riviu buku yang saya baca. Riviu itu biasanya saya posting di Goodreads atau Grup Cacing Buku di Facebook. Informasi gak penting, creator Cacing Buku ini saya lho. 😆

Balik ke awal.

Jujur saja, menulis riviu tidak mudah bagi saya (well, menulis pun sebenarnya tidak pernah mudah bagi saya). Tapi kalau membaca riviu-riviu di koran atau majalah kok rasanya bagus-bagus ya riviunya?  Saya pun iri. Ingin rasanya bisa menulis riviu sebagus di koran atau majalah. Sayangnya, saya tidak tahu ajaran pasti bagaimana menulis riviu yang baik dan benar. Alhasil, saya pun menulis sekenanya saja, semaunya saya.

Tapi setidaknya dalam menulis riviu saya memiliki standar penulisan sendiri. Pertama, informasi tentang buku yang diriviu. Informasi itu mencakup: judul, pengarang, penerbit, tebal halaman, dan harga buku. Kedua, plot cerita. Singkat saja, tidak usah panjang. Kalau terlalu panjang, malah nanti saya dihajar pembaca karena dianggap spoiler. Ketiga, nilai-nilai apa saja yang coba dibahas dalam buku tersebut atau setidaknya menurut saya nilai apa saja yang saya dapatkan dari buku tersebut. Keempat, kritik atau pujian terhadap buku. Ini sih opsi saja. Saya mah tidak kompeten kalau mau mengkritik buku. Ilmu saya masih cetek. Pun kalau mau memuji paling saya hanya mengatakan bukunya bagus dan saya suka. 😀

Nah, itu standar menulis riviu bagi saya. Bagaimana dengan kalian? Boleh lho berbagi disini. Siapa tahu ilmu saya bertambah dan tulisan saya pun semakin baik.

Daftar Buku Agustus 2010

Sebelumnya saya sudah pernah bilang kan kalau saya suka membaca? Biasanya sih saya hanya mengaku-ngaku saja. Maksudnya, saya bilang saya suka membaca tapi jarang baca buku. 😀

Tapi, sejak saya gabung di Goodreads, saya mulai beneran rajin membaca. Tidak hanya sekedar omong, lho… Buktinya bulan Agustus kemarin saya bisa baca 15 buku. Well, ini sih sebenarnya karena saya lagi gak banyak kerjaan aja makanya ada banyak waktu luang untuk baca. 😆

So, ini daftar judul buku yang saya baca selama satu bulan kemarin:

1. Cecilia dan Malaikat Ariel – Jostein Gaarder

2. Jalan Bandungan – Nh. Dini

3. Misteri Soliter – Jostein Gaarder

4. My Sister’s Keeper – Jodi Picoult

5. To Kill A Mocking Bird – Harper Lee

6. Nyai Dasima – SM. Ardan

7. Pada Sebuah Kapal – Nh. Dini

8. Yotsube &! Vol. 9 – Kiyohiko Azuma

9. City of Ember – Jeanne DuPrau

10. Fight Club – Chuck Palahniuk

11. Stardust – Neil Gaiman

12. American Gods – Neil Gaiman

13. Forever Rich – Hazeline Ayoeb

14. Anansi Boys – Neil Gaiman

15. Coraline – Neil Gaiman

Kalau kamu, buku apa saja yang sudah kamu baca di bulan Agustus kemarin?

* link yang saya berikan itu link ke Goodreads ya.

** saya tidak menuliskan riviu masing-masing buku, soalnya saya sudah menulisnya di Goodreads. Malas aja kalau saya harus menulis ulang disini. :mrgreen:

*** ini akun Goodreads saya. Kalau berminat, monggo lho di-add sebagai teman. 😀