#43 – Istriku Seribu

istriku-seribuJudul: Istriku Seribu
Penulis: Emha Ainun Nadjib
Penerbit: Bentang (2015)
Halaman: vi + 44
ISBN-13: 978-602-291-104-3
Harga: Rp 10.000,-
Rating: 4/5

Poligami. Topik satu ini terus menjadi perdebatan. Kubu yang setuju berdalih agama memperbolehkan. Kubu yang menolak bilang itu poligami itu merugikan perempuan.

Lanjutkan membaca “#43 – Istriku Seribu”

#33 – The Men who Stare at Goats

The Men who Stare at GoatsJudul: The Men who Stare At Goats
Penulis: Jon Ronson
Halaman: 180
Rating: 3/5

The Men who Stare at Goats adalah buku investigasi lainnya dari Jon Ronson. Kali ini Ronson menyelidiki pasukan “khusus” Amerika. Khusus yang dimaksud di sini adalah kekuatan supranatural. Jadi, ada masanya AS ternyata pernah merekrut orang-orang yang punya kekuatan psychic untuk menjadi pasukan tentara AS.

Kalian merasa heran? Jangankan kalian, saya pun juga heran. Di halaman-halaman awal saya sempat tidak percaya dan berpikir ini tidak mungkin. Ronson barangkali sedang mengelabui saya, tak peduli meskipun sebelumnya Ronson bilang kalau ini adalah a true story. Mustahil. Masa’ iya Amerika Serikat, yang katanya negara adidaya itu, percaya begituan sih?

Lanjutkan membaca “#33 – The Men who Stare at Goats”

#32 – Them

ThemJudul: Them: Adventures with Extremists
Penulis: Jon Ronson
Halaman: 230
Rating: 2/5

Bagaimana selama ini kita melihat ekstrimis? Tentunya dengan pemahaman sempit mereka dan tindakan nekad mereka bisa membahayakan kita semua.

Tapi, tunggu dulu…

Apa itu ekstrimis? Siapa yang dimaksud dengan ekstrimis? Jon Ronson mencoba melihat mereka yang dianggap sebagai ekstrimis ini dari sisi yang berbeda.

‘What is the word “extreme”?’ said Omar. ‘Words like fundamentalist or terrorist or extremist mean nothing here. Those are your words. For you, a terrorist is somebody who blows up a bus here and there. But for the people here, I am on the front line, I am a great warrior, a great fighter.’ (hal. 27)

Lanjutkan membaca “#32 – Them”

#29 – Musicophilia

MusicophiliaJudul: Musicophilia
Penulis: Oliver Sacks
Rating: 5/5

Oliver Sacks adalah pecinta musik. Maka tidak heran jika Musicophilia membahas tentang musik dan otak. Ternyata musik tidak hanya memberikan pengaruh baik bagi otak, tetapi dia juga bisa memberikan pengaruh buruk. Di Musicophilia Sacks menceritakan pengalaman pasien-pasiennya dan berbagai penelitian terkait musik dan otak.

Salah satu pengalaman dari pasien-pasien dari Oliver Sacks adalah Tony Cicoria. Cicoria, yang merupakan seorang ahli bedah, tersambar petir di tahun 1994. Jantungnya sempat berhenti berdetak, untungnya dia bisa diselamatkan. Setelah kejadian near-death-experience tersebut, awalnya Cicoria menjalani hidupnya seperti biasa. Namun, tidak lama kemudian Cicoria tiba-tiba saja tertarik dengan musik klasik padahal sebelumnya dia adalah penggemar musik rock. Di otaknya seperti ada musik klasik yang sedang dimainkan setiap saat. Cicoria membeli piano dan belajar sendiri memainkan musik klasik. Sejak saat itu yang ada di otaknya hanyalah bermain musik dan menciptakan musik.
Lanjutkan membaca “#29 – Musicophilia”

#26 – Jomblo tapi Hafal Pancasila

Jomblo tapi Hapal PancasilaJudul: Jomblo tapi Hafal Pancasila
Penulis: Agus Mulyadi
Penerbit: B first (PT Bentang Pustaka) (Cetakan I, Juli 2014)
Halaman: x + 314
ISBN 13: 978-602-1383-04-9
Harga: Gratis. Hadiah menang kuis dari Om Warm.
Rating: 1/5

Sudah lama saya mendengar nama Agus Mulyadi. Sepertinya beliau sekarang-sekarang ini begitu ngehits. Gosip yang saya dengar bilang beliau ini lucu. Lucu banget malah. Saya semakin penasaran dong. Memangnya beliau ini selucu apa sih? Apa beliau ini lebih lucu dari saya? Halah. Abaikan saja yang ini.

Tapi, tunggu dulu. Beliau ini sebenarnya siapa? Selebritis? Penyanyi? Pemain film? Oalah, ternyata blogger toh. Selebblog. Kok saya tidak tahu ya? Ya wajar. Saya kan sudah jarang update sekarang.

Nah, beruntung lah saya Om Warm bikin kuis di blognya. Hadiahnya satu buku Jomblo tapi Hafal Pancasila. Iseng saya ikutan kuisnya dan Alhamdulillah menang! Saya curiga jangan-jangan saya dikasih ijin menang karena saya bikin janji bakal menulis resensi buku ini kalau saya menang.

Lanjutkan membaca “#26 – Jomblo tapi Hafal Pancasila”

#22 – What the Dog Saw

What the Dog SawJudul: What the Dog Saw: Dan Petualangan-petualangan Lainnya
Penulis: Malcolm Gladwell
Penerjemah: Zia Anshor
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama (cetakan II, Februari 2010)
Halaman: xviii + 462
ISBN 13: 978-979-22-5249-1
Harga: Rp 20.000,-
Rating: 4/5

What the Dog Saw adalah kumpulan artikel yang ditulis Malcolm Gladwell di The New Yorker, tempat dia bekerja sejak tahun 1996. Buku ini terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian pertama mengenai orang-orang yang oleh Gladwell sebut sebagai “genius minor”, seperti Nassim Taleb dan Cesar Millan; bagian kedua membahas teori dan cara-cara menata pengalaman, seperti masalah tunawisma, kasus Enron, dan tentang plagiarisme; bagian ketiga tentang perkiraan kita selama ini mengenai manusia, seperti tentang menyusun profil kriminal dan tentang bakat.

Total ada sembilan belas artikel pilihan dalam What the Dog Saw. Semuanya menarik untuk dibaca. Saya sudah membaca tulisan Gladwell sebelumnya yang berjudul Blink dan saya lebih menyukai bukunya yang ini ketimbang Blink. Artikel-artikel yang ditulis banyak memberikan informasi baru buat saya. Temanya pun tidak membosankan. Lebih seru ketimbang thin-slicing yang jadi pembahasan di Blink.

#12 – Ilmu Kedokteran Lengkap tentang Neurosains

Ilmu Kedokteran Lengkap tentang NeurosainsJudul: Ilmu Kedokteran Lengkap tentang Neurosains
Penulis: Iyan Hernanta
Penerbit: D-Medika (cetakan I, Februari 2013)
Halaman: 274
ISBN 13: 978-602-7665-47-7
Harga: Rp 15.000,-
Rating: 1/5

Saya memiliki minat baru, yaitu neurosains. Sejak kapan tertarik saya lupa juga. Itupun tertarik karena membaca buku-buku sebelumnya yang membahas singkat tentang neurosains. Otak ini menarik banget ya ternyata. Sayangnya ketertarikan saya hanya sebatas, yah, tertarik. Tertarik tanpa mau mencari tahu lebih banyak lagi.

Begitu saya menemukan buku ini masih di bazar kemarin dan harganya juga murah, segera saya ambil. Sebenarnya saya tidak berharap banyak dari buku yang mengaku-ngaku lengkap ini. Iseng sajalah saya beli untuk menambah wawasan. Toh, harganya juga murah kok hanya Rp 15.000,-.

Seperti yang sudah saya duga, buku ini hanya mengaku-ngaku lengkap karena sesungguhnya isinya tidaklah lengkap. Apa yang kamu harapkan dari buku setebal 274 halaman membahas tentang neurosains? Ilmu neurosains bakal habis dikupas tuntas, begitu? Bagian-bagian otak akan dijelaskan dengan detil, begitu? Segala macam jenis penyakit otak bakal ditulis, begitu? Sayang sekali tidak. Judul buku boleh bombastis, tapi sungguh disayangkan tidak sepadan dengan isinya. Belum lagi kejanggalan-kejanggalan yang saya rasakan ketika membaca buku ini.

Kejanggalan pertama adalah untuk buku yang membahas otak tapi tidak memberikan gambar otak itu rasanya aneh. Iyan hanya menuliskan nama anatomi otak dan berharap pembacanya bisa membayangkan sendiri otak dan bagian-bagiannya. Di mana letak sistem limbik, otak reptil, otak besar, otak kecil? Pokoknya di situ. Bayangkan sendiri ya.

Kejanggalan kedua: silakan teman-teman baca paragraf di bawah ini:

Pada sekitar 1950-an, diperkirakan 2,5 juta penduduk dunia mengidap penyakit ini (Alzheimer), dan mencapai enam miliar orang pada tahun 2000. WHO memperkirakan lebih dari satu miliar orang tua yang berusia lebih dari 60 tahun atau 10 persen penduduk dunia mengidap Alzheimer pada tahun 2003. (hal. 125)

Pertama-tama, itu datanya dari mana? Penulis pakai sumber dari mana? Apakah datanya valid dan sumbernya terpercaya? Kemudian, perhatikan kata-kata mencapai enam miliar orang pada tahun 2000. Apakah betul tahun 2000 penderita Alzheimer mencapai angka enam miliar? WOW. Luar biasa sekali. Tolong beritahu saya berapa jumlah penduduk bumi pada tahun 2000. Terima kasih.

Kejanggalan ketiga: perihal daftar pustaka. Buku ini mengutip banyak sumber untuk materi tulisannya. Tetapi, masak iya daftar pustaka hanya satu lembar? Padahal mengutipnya banyak sekali lho. Contohnya berikut ini:

“Satu sinaps bisa menampung 1.000 tombol skala molekuler. Itu baru satu sinaps. Bisa dibayangkan, satu otak manusia memiliki berapa tombol. Bisa melebihi seluruh tombol komputer, router, dan koneksi seluruh internet yang ada di bumi,” jelas Smith, yang dikutip VIVAnews dari Cnet, Minggu 21 November 2010. (hal. 63)

Saya cek di daftar pustakanya ternyata tidak ada referensi VIVAnews. Apalagi Iyan mengutip sumber kedua. Dan melihat cara penulisan daftar pustaka, khususnya referensi dari online, saya kok miris ya. Iyan hanya menulis faktailmiah.com, id.wikipedia.org, majalahkesehatan.com, dan lain-lain sebagai referensi online-nya. Penulisan daftar pustakanya tidak sesuai dengan kaidah. Ya, terserah sih mau pakai kaidah yang mana, tapi biasanya yang dipakai kaidah APA.

Kejanggalan keempat: penggunaan kata “ansietas” dan “avokad” yang mengganggu. Apa itu ansietas dan avokad? Setelah saya baca-baca lagi saya pun menyimpulkan mungkin maksudnya adalah anxiety dan avocado. Tapi, kenapa harus pakai kata “ansietas” dan “avokad” lho, Mas… Sudah ada di kamus lho kata “kecemasan” dan “alpukat”. Saya bahkan tidak yakin “ansietas” dan “avokad” ini ada di KBBI.

Saya yakin pasti masih ada kejanggalan-kejanggalan lainnya dalam buku ini. Berhubung saya tidak punya kemampuan yang cukup akan topik neurosains jadi ya saya hanya bisa menemukan kejanggalan secara umum saja. Itupun bisa jadi masih ada yang terlewat dari saya.

Akhirul kalam, anggap saja membaca buku ini sebagai sebuah hiburan. Dan semoga saya bisa menemukan buku neurosains populer yang jauh lebih bagus daripada ini. 😀

#10 – In Cold Blood

In Cold BloodJudul: In Cold Blood
Penulis: Truman Capote
Penerjemah: Santi Indra Astuti
Penerbit: PT Bentang Pustaka (cetakan I, September 2007)
Halaman: viii + 476
ISBN 13: 978-979-1227-09-4
Harga: Rp 30.000,-
Rating: 4/5

Holcomb, Kansas, adalah sebuah kota kecil. Penduduknya tidak hanya saling kenal satu sama lain, melainkan juga bisa hafal sejarah keluarganya. Ketika Nancy Ewalt dan Susan Kidwell ke rumah Clutter pada Minggu pagi dan mendapati satu keluarga itu dibunuh, sontak kota kecil itu diselimuti ketakutan.

Herb Clutter, Bonnie Clutter, Nancy Clutter, dan Kenyon Clutter harus menjadi korban pembunuhan yang dilakukan Perry Smith dan Richard “Dick” Hickock. Pembunuhan itu terjadi pada tanggal 15 November 1959. Bonnie, Nancy, dan Kenyon tewas ditembak di kepala, sementara Herb Clutter tewas dengan leher nyaris putus. Smith dan Dick nekad melakukan pembunuhan itu untuk uang tak lebih dari 50 dolar.

Ketika saya membaca sampul belakangnya, serta merta saya penasaran. Dua orang mantan residivis ini tega membunuh empat nyawa hanya karena 50 dolar? Apa sebenarnya yang menjadi motif pembunuhan itu? Rasa sakit hati kah? Atau murni perampokan? Saya pun mulai membuka halaman pertama. Sejak halaman pertama ini saya sudah terganggu dengan terjemahan jelek dan kaku dari penerjemahnya. Yang bisa membuat saya bertahan membaca nonfiksi novel–Capote melabelinya demikian–ini karena saya penasaran apa yang menjadi motif kejahatan itu.

Capote menulis dengan detil kejadian sebelum dan sesudah pembunuhan. Dia dengan rinci menjelaskan kehidupan keluarga Clutter dan juga rinci menjelaskan latar belakang Smith dan Dick. Semuanya mendapatkan porsi yang sama dan pas. Capote berhasil menjelaskan sisi emosi Smith dan Dick, membuat saya bisa memahami dan menaruh rasa iba terutama dengan Smith.

Hal yang menarik dari In Cold Blood adalah bagaimana Capote mengatur alur ceritanya. Capote tidak tergesa-gesa memberikan kita motif serta kapan dan bagaimana kedua pelaku kejahatan itu tertangkap. Diawal-awal saya dibuat penasaran dengan motif. Setelah saya tahu apa yang menjadi motif kejahatan, saya mengangguk-angguk seraya berkata, “Oh, rupanya karena Floyd Wells ini toh berkoar-koar ke Dick dan Smith tentang keluarga Clutter.” Rasa penasaran saya tuntas terpenuhi. Namun, ada rasa penasaran berikutnya yang muncul. Bagaimana mereka tertangkap? Kok sepertinya susah sekali menangkap mereka? Capote dengan sabar menjelaskan setelah Dick dan Smith kabur ke Meksiko dan kehabisan uang di sana, mereka kemudian kembali ke Amerika Serikat dan akhirnya tertangkap di Las Vegas. Lagi, setelah rasa penasaran terjawab, muncul kembali rasa penasaran berikutnya. Bagaimana dengan hukuman mereka? Capote kembali memberi penjelasan dengan sabar. Dia menceritakan proses persidangan Dick dan Smith dengan cukup detil. Pro-kontra hukuman mati juga dibahas di sini.

Seandainya saja terjemahan dari Mbak Santi ini bagus, niscaya saya akan memberikan nilai 5 bintang dari 5.

#7 – Predictably Irrational

Predictably Irrational Judul: Predictably Irrational
Penulis: Dan Ariely
Rating: 5/5

Predictably Irrational adalah buku yang mengupas di balik perilaku irasional kita. Misalnya, kenapa kita bisa sembuh dengan membeli obat yang lebih mahal ketimbang obat yang lebih murah padahal kandungan obatnya sama, kenapa yang namanya “gratisan” itu sangat menarik bagi kita namun ternyata tidak benar-benar gratis 100%, dan masih banyak lagi.

Jika menurut ilmu ekonomi sebagai manusia kita bersikap dan berperilaku sangat rasional dan penuh perhitungan, maka tidak demikian menurut Behavioral Economics. Karena pada kenyataannya, manusia akan membuat keputusan-keputusan yang irasional.

Dan Ariely memberikan ringkasan dari penelitian-penelitiannya untuk menjelaskan perilaku irasional kita. Dan penelitian-penelitian yang dilakukan Ariely ini keren-keren. Kreatif banget. Wajar juga sih, kan Ariely memang peneliti. Setiap bab yang saya baca saya tak henti-hentinya “Oh iya juga ya..”, “Bener itu..”, dan “Oh, ternyata gitu toh.” dan setiap penjelasan yang diberikan sangat masuk akal dan memberikan wawasan baru.

Buku yang bagus dan menjadi favorit saya. Layak untuk dibaca ulang. Nanti kalau sudah dibaca ulang, saya akan mencatat bagian-bagian pentingnya. Kalau mood sedang bagus, mungkin nanti akan saya tulis ulang resensinya. Karena sekarang saya sedang malas menulis dan tidak tahu mau meresensi apa karena tidak ada catatan kecil saya untuk buku ini. My bad. I’m sorry. 😆

#6 – Decision Making Near End-of-Life

Decision Making Near End of LifeJudul: Decision Making Near End-of-Life
Penulis: James L. Werth, Jr. dan Dean Blevins (editor)
Rating: 3/5

Buku ini termasuk dalam seri Death, Dying, and Bereavement. Saya yang sedang tertarik dengan apa-apa yang berbau kematian membaca buku ini dengan senang hati dan kemudian berujung pada hati suram dan mimpi buruk. Halah. Tapi, saya tidak kapok kok. Saya masih tertarik dengan topik kematian. 😛

Buku ini terdiri dari  empat bagian. Bagian pertama merupakan kisah-kisah personal dari pasien dan keluarga pasien yang pernah mengalami near end-of-life ini. *Ngomong-ngomong, terjemahan yang tepat untuk near end-of-life apa ya?* Terdapat empat kisah, yaitu kisah remaja yang terinfeksi virus HIV dari ibunya yang melahirkannya, kisah pria yang menderita sindrom Guillain-Barre, kisah seorang ayah dan kakak yang harus memutuskan mencabut life support orang yang dikasihi mereka berdua, dan kisah seorang anak yang harus menghormati keinginan ayahnya untuk mengakhiri nyawanya karena penyakit yang dideritanya.

Bagian kedua merupakan garis besar dari isu yang dibahas di buku ini, yaitu pilihan near end-of-life. Bagian ketiga merupakan aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam berbagai pilihan end-of-life dan proses pengambilan keputusannya. Bagian keempat adalah pertimbangan psikososial.

Biasanya saya tidak suka baca buku nonfiksi dimana merupakan hasil keroyokan. Maksudnya, penulisnya banyak tergantung ada berapa bab. Masing-masing bab ditulis oleh penulis yang berbeda. Kemudian ada editor yang merapikannya. Tapi, buku ini pengecualian. Bukan berarti saya juga benar-benar suka sama buku ini sih, hanya saja Decision Making Near End-of-life adalah buku jenis ini pertama yang bisa saya baca sampai habis. Mungkin karena saya memang sedang tertarik dengan topik yang dibahas, mungkin juga karena diksi yang digunakan juga tidak njelimet dan tidak kebanyakan jargon. Lebih membumi ketimbang buku-buku nonfiksi sejenisnya.

Seperti judulnya buku ini membahas tentang pilihan yang harus diambil menyangkut nyawa pasien yang mendekati akhir hidupnya, entah itu karena brain trauma, Alzheimer, kanker stadium lanjut, sindrom Guillain-Barre, HIV/AIDS, atau berbagai penyakit berbahaya lainnya. Penyakit-penyakit tersebut yang pada akhirnya nanti akan membawa pengidapnya pada kematian. Misalnya pasien dengan brain trauma dimana dia dalam keadaan koma, kendati dia selamat, namun otaknya tidak mungkin lagi berfungsi. Atau pasien kanker stadium lanjut yang jika keadaannya sudah sangat parah nantinya hanya akan bisa berbaring dan tidak sadar. Kalau sudah begini, apakah yang akan dilakukan oleh keluarga pasien? Mempertahankan pasien semaksimal mungkin dengan membuatnya tetap hidup atau memilih untuk tidak melihat pasien menderita dan mengikhlaskan pasien pergi?

Apapun pilihan yang dipilih oleh keluarga pasien–karena pasien sudah tidak bisa lagi berbicara untuk menentukan pilihannya sendiri–seyogyanya harus dipertimbangkan masak-masak. Ada banyak hal yang harus diperhatikan. Diantaranya kesehatan mental pasien itu sendiri. Jika pasien meminta kematiannya dipercepat, harus dipertanyakan permintaannya itu apakah betul-betul dia menginginkannya atau jangan-jangan kesehatan mentalnya terganggu? Kemudian, bagaimana kesepakatan keluarga. Jangan sampai ada perdebatan yang nantinya malah menyiksa pasien. Lalu, pandangan agama dan spiritual terhadap penyakit yang mengancam nyawa, di saat pasien sedang sekarat, dan kematian. Terakhir, bagaimana budaya dan keragaman individu dalam melihat end-of-life.

Akan sangat membantu jika di saat pasien masih sadar dan masih punya kemampuan untuk mengambil keputusan telah membicarakan soal penyakitnya, implikasi penyakitnya, kemungkinan terburuk dari penyakitnya, dan apa yang harus dilakukan oleh keluarga jika nanti kemungkinan terburuk itu datang. Oleh karena itu, di sini sangat diperlukan untuk terus berdiskusi secara intensif dengan dokter yang merawat. Jangan takut untuk menanyakan apa kemungkinan terburuk dari penyakit yang diderita. Tanyakan saran medis dari dokter. Tanyakan semuanya sedetil mungkin, sampai hal yang paling kecil sekalipun. Semuanya ini bertujuan agar nantinya memudahkan pengambilan keputusan near end-of-life si pasien.