#126 – Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis

59821859._sy475_

Judul: Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis
Penulis: Eka Kurniawan
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama (cetakan II, Januari 2022)
Halaman: xii + 211
ISBN: 978-602-06-5763-9
Bisa dibeli di: Gramedia.com
Rating: 5 dari 5 ⭐ – it was amazing

Asal-usul Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis adalah sebuah skripsi sebagai syarat Eka Kurniawan untuk lulus dari Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Kali pertama buku ini diterbitkan oleh Yayasan Aksara Indonesia di tahun 1999. Lalu, di tahun 2002 diterbitkan untuk kedua kalinya oleh Penerbit Jendela. Terakhir, Gramedia Pustaka Utama memutuskan untuk menerbitkan buku ini di tahun 2006. Buku yang saya pegang saat ini merupakan cetakan kedua dari terbitan Gramedia Pustaka Utama.

Buku ini terdiri dari enam bab, di mana isinya ada pendahuluan, sejarah hidup Pramoedya, penjelasan dasar filsafat dan sejarah realisme sosial, perkembangan realisme sosial di Indonesia, estetika sastra Pramoedya, dan penutup.

Lanjutkan membaca “#126 – Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis”

#25 – Cantik itu Luka

Cantik itu LukaJudul: Cantik itu Luka
Penulis: Eka Kurniawan
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama (cetakan VIII, Desember 2015)
Halaman: viii + 479
ISBN 13: 978-602-03-1258-3
Harga: Rp 99.500,-
Rating: 5/5

Perkenalkan tokoh utama dalam novel ini, Dewi Ayu. Ia adalah seorang perempuan keturunan Belanda dan Indonesia. Ayah dan ibunya satu ayah, tapi beda ibu. Ya, Dewi Ayu adalah hasil inses kakak-beradik Henri dan Aneu Stammler.

Dewi Ayu berparas cantik. Kecantikannya menggoda pria manapun yang melihatnya. Semua pria di Halimunda ingin menikmati lekuk tubuhnya dan menghabiskan malam bersamanya. Dewi Ayu terpaksa menjadi pelacur. Jepang yang memaksanya. Yang kemudian melacurkan badan menjadi pekerjaan Dewi Ayu hingga akhir hayatnya.

Cerita dibuka dengan Dewi Ayu bangkit dari kubur setelah 21 tahun dia mati. Seketika Halimunda geger. Orang-orang banyak yang penasaran, sekaligus takut. Bagaimanapun orang mati bisa hidup lagi setelah 21 tahun? Tapi, Dewi Ayu bangkit bukan untuk menjawab keheranan mereka. Dewi Ayu punya satu tujuan, yakni pulang ke rumah dan melihat anak bungsunya.

Dewi Ayu memiliki empat orang anak. Mereka adalah Alamanda, Adinda, Maya Dewi, dan Si Cantik. Ketiga anaknya–Alamanda, Adinda, dan Maya Dewi–mewarisi kecantikan ibunya. Hanya Si Cantik yang buruk rupa. Dewi Ayu memang menghendaki anak bungsunya agar terlahir jelek, seperti monster. Suatu kehendak yang aneh bagi seorang ibu. Kelak kita akan mengetahui alasannya di dekat akhir cerita.

Lanjutkan membaca “#25 – Cantik itu Luka”

#15 – Lelaki Harimau

Lelaki HarimauJudul: Lelaki Harimau
Penulis: Eka Kurniawan
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama (Cetakan I cover baru, Agustus 2014)
Halaman: iv + 194
ISBN 13: 978-602-03-0749-7
Harga: Rp 45.000,-
Rating: 5/5

Suatu hari Anwar Sadat ditemukan tewas dalam keadaan leher nyaris putus seperti habis digigit harimau. Tersiar kabar pelakunya adalah Margio. Namun, dia membantah. Dia bilang, “Bukan aku yang melakukannya. Ada harimau dalam tubuhku.”

Dalam Lelaki Harimau kita diajak untuk memecahkan suatu kasus pembunuhan. Kita mencari tahu siapa pelakunya dan apa yang menjadi motifnya. Eka Kurniawan membawa kita melakukan time travel untuk menemukan jawabannya. Kita ditarik mundur ke sejarah keluarga Margio: sewaktu ibu dan ayahnya dijodohkan, ketika Margio dan Mameh–adik perempuannya–masih kecil, dan penyiksaan-penyiksaan yang kerap dilakukan oleh Komar, ayah mereka. Kemudian, kita dibawa ke masa Margio yang terpaksa menolak cinta Maharani, anak Anwar Sadat. Kita akan terus diajak Eka untuk melakukan perjalanan waktu dari satu peristiwa ke peristiwa berikutnya. Tugas kita adalah meluruskan garis benang merah yang kusut sehingga kitapun jadi mengetahui harimau apa yang dimaksud Margio dan kenapa dia membunuh Anwar Sadat.

Eka menulis plot cerita Lelaki Harimau rapi sekali. Dia sabar menuntun kita dari satu konflik ke konflik berikutnya. Membaca novel ini juga seperti mengupas bawang. Untuk mengetahui apa yang terjadi berikutnya kita harus mengupas lapisan demi lapisan. Hati-hati, air mata bisa keluar selagi mengupas bawang. Kita tidak tahu pada lapisan ke berapa akan menemukan jawabannya.

#14 – Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas

Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar TuntasJudul: Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas
Penulis: Eka Kurniawan
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama (Cetakan I, Mei 2014)
Halaman: vi + 250
ISBN 13: 978-602-03-0393-2
Harga: Rp 58.000,-
Rating: 3/5

Ajo Kawir, sebagai tokoh utama dalam novel ini, punya satu permasalahan besar: Burungnya tidak bisa berdiri! Hal itu disebabkan secara tidak langsung oleh sahabatnya, Si Tokek. Atau setidaknya demikianlah yang dipikirkan Si Tokek. Si Tokek menyalahkan dirinya sendiri karena kalau bukan ajakannya mengintip Rona Merah–janda gila–mandi, mungkin mereka tidak akan melihat kejadian Rona Merah diperkosa dua orang polisi, sehingga burung Ajo Kawir tidak perlu tidur panjang.

Kejadian itu terjadi saat Ajo Kawir masih remaja. Dia sangat sedih dan terpukul begitu tahu burungnya tidak bisa berdiri sejak saat itu. Dia sering menangis. Bahkan, dia pernah hampir memotong burungnya sendiri. Untungnya Si Tokek melihat kejadian itu dan mencegahnya. Si Tokek meyakinkan Ajo Kawir suatu saat nanti burungnya pasti bangun dari tidurnya. Kalaupun dipaksa bangun sekarang, memangnya mau dipakai untuk apa? Begitulah Si Tokek mencoba menghiburnya sahabatnya. Ajo Kawir tertawa. Dia pun mulai bisa menerima kenyataan dan dia membiarkan burungnya tidur selama yang dia mau.

“Hanya orang yang enggak bisa ngaceng, bisa berkelahi tanpa takut mati,” kata Iwan Angsa sekali waktu perihal Ajo Kawir. (hal. 1)

Memang Ajo Kawir tidak takut mati. Dia menjadi jagoan kampung dan hobi sekali berkelahi. Bahkan dia menerima tawaran untuk membunuh Si Macan, seorang preman yang terkenal kejam. Namun, begitu dia mengenal Iteung, dia jadi takut mati. Dia juga jadi berusaha keras untuk membangunkan burungnya dari tidur. Biar bagaimanapun, dia ingin membahagiakan Iteung. Memainkan jari di lubang kemaluan wanita tidak akan cukup memuaskannya. Iteung ingin lebih. Dan dia pun hamil.

Ajo Kawir berang. Dia pergi dari rumah dan kemudian menjadi supir truk. Dia tidak lagi berada di jalan kekerasan. Malahan dia menemukan jalan kedamaian. Dia berdamai dengan dirinya. Dia tidak lagi menuntut burungnya untuk berhenti dari hibernasi. Dia bersumpah tidak akan lagi berkelahi. Ajo Kawir sudah tobat.

Setelah selesai membaca novel ini, saya memperhatikan sampul dan judulnya. Saya baru bisa memahami kenapa seekor burung matanya terpejam seolah-olah tidur. Jelas ini tentang burung Ajo Kawir yang sedang tidur. Kemudian dari judulnya, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas sudah menggambarkan perasaan Ajo Kawir yang rindu dengan istrinya, Iteung. Ya rindu ingin bertemu, juga rindu ingin tidur bersama. Di akhir cerita Ajo Kawir bisa menjawab kerinduannya, tetapi tunggu dulu… Cerita tidak berakhir begitu saja.

Jujur saja, begitu halaman pertama saya buka dan membaca kata-kata Iwan Angsa di atas, saya sedikit kecewa. Saya jadi memperkirakan cerita novel ini bakal tidak jauh-jauh dari seks, minimal mengumbar begitu banyak alat kelamin. Dan, saya benar. Bukan masalah sebenarnya. Ini hanya masalah selera. Saya tidak terlalu tertarik dengan cerita yang bertema seks. Karena saya punya referensi novel sampah yang berbau seks. Apalagi kalau bukan Fifty Shades of Grey?

Saya tahu saya menggeneralisasi dan itu tidak baik. Untunglah generalisasi saya kali ini salah. Karena rupanya novel ini jauh lebih bagus ketimbang Fifty Shades of Grey tentu saja. Ceritanya tidak melulu soal seks. Ada cerita tentang persahabatan antara Ajo Kawir dan Si Tokek, cerita yang menyindir polisi semaunya saja (dua orang polisi yang memperkosa Rona Merah), cerita tentang posisi wanita yang lemah dan selalu kalah sehingga jadi objek seks pria, cerita tentang kebesaran jiwa Ajo Kawir, dan tentu saja cerita tentang cinta.

Meski banyak cerita yang ingin disampaikan, Eka Kurniawan menuliskannya dengan sederhana tanpa terkesan murahan. Tidak rumit dan tidak berkelok-kelok. Eka tidak memakai kosakata rumit yang bikin dahi berkerut. Ceritanya mengalir dengan lancar, tanpa mampet, tanpa tersendat. Jadi, meski buku ini cukup vulgar, saya memaklumi dan memaafkan.