Judul: Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas
Penulis: Eka Kurniawan
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama (Cetakan I, Mei 2014)
Halaman: vi + 250
ISBN 13: 978-602-03-0393-2
Harga: Rp 58.000,-
Rating: 3/5
Ajo Kawir, sebagai tokoh utama dalam novel ini, punya satu permasalahan besar: Burungnya tidak bisa berdiri! Hal itu disebabkan secara tidak langsung oleh sahabatnya, Si Tokek. Atau setidaknya demikianlah yang dipikirkan Si Tokek. Si Tokek menyalahkan dirinya sendiri karena kalau bukan ajakannya mengintip Rona Merah–janda gila–mandi, mungkin mereka tidak akan melihat kejadian Rona Merah diperkosa dua orang polisi, sehingga burung Ajo Kawir tidak perlu tidur panjang.
Kejadian itu terjadi saat Ajo Kawir masih remaja. Dia sangat sedih dan terpukul begitu tahu burungnya tidak bisa berdiri sejak saat itu. Dia sering menangis. Bahkan, dia pernah hampir memotong burungnya sendiri. Untungnya Si Tokek melihat kejadian itu dan mencegahnya. Si Tokek meyakinkan Ajo Kawir suatu saat nanti burungnya pasti bangun dari tidurnya. Kalaupun dipaksa bangun sekarang, memangnya mau dipakai untuk apa? Begitulah Si Tokek mencoba menghiburnya sahabatnya. Ajo Kawir tertawa. Dia pun mulai bisa menerima kenyataan dan dia membiarkan burungnya tidur selama yang dia mau.
“Hanya orang yang enggak bisa ngaceng, bisa berkelahi tanpa takut mati,” kata Iwan Angsa sekali waktu perihal Ajo Kawir. (hal. 1)
Memang Ajo Kawir tidak takut mati. Dia menjadi jagoan kampung dan hobi sekali berkelahi. Bahkan dia menerima tawaran untuk membunuh Si Macan, seorang preman yang terkenal kejam. Namun, begitu dia mengenal Iteung, dia jadi takut mati. Dia juga jadi berusaha keras untuk membangunkan burungnya dari tidur. Biar bagaimanapun, dia ingin membahagiakan Iteung. Memainkan jari di lubang kemaluan wanita tidak akan cukup memuaskannya. Iteung ingin lebih. Dan dia pun hamil.
Ajo Kawir berang. Dia pergi dari rumah dan kemudian menjadi supir truk. Dia tidak lagi berada di jalan kekerasan. Malahan dia menemukan jalan kedamaian. Dia berdamai dengan dirinya. Dia tidak lagi menuntut burungnya untuk berhenti dari hibernasi. Dia bersumpah tidak akan lagi berkelahi. Ajo Kawir sudah tobat.
Setelah selesai membaca novel ini, saya memperhatikan sampul dan judulnya. Saya baru bisa memahami kenapa seekor burung matanya terpejam seolah-olah tidur. Jelas ini tentang burung Ajo Kawir yang sedang tidur. Kemudian dari judulnya, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas sudah menggambarkan perasaan Ajo Kawir yang rindu dengan istrinya, Iteung. Ya rindu ingin bertemu, juga rindu ingin tidur bersama. Di akhir cerita Ajo Kawir bisa menjawab kerinduannya, tetapi tunggu dulu… Cerita tidak berakhir begitu saja.
Jujur saja, begitu halaman pertama saya buka dan membaca kata-kata Iwan Angsa di atas, saya sedikit kecewa. Saya jadi memperkirakan cerita novel ini bakal tidak jauh-jauh dari seks, minimal mengumbar begitu banyak alat kelamin. Dan, saya benar. Bukan masalah sebenarnya. Ini hanya masalah selera. Saya tidak terlalu tertarik dengan cerita yang bertema seks. Karena saya punya referensi novel sampah yang berbau seks. Apalagi kalau bukan Fifty Shades of Grey?
Saya tahu saya menggeneralisasi dan itu tidak baik. Untunglah generalisasi saya kali ini salah. Karena rupanya novel ini jauh lebih bagus ketimbang Fifty Shades of Grey tentu saja. Ceritanya tidak melulu soal seks. Ada cerita tentang persahabatan antara Ajo Kawir dan Si Tokek, cerita yang menyindir polisi semaunya saja (dua orang polisi yang memperkosa Rona Merah), cerita tentang posisi wanita yang lemah dan selalu kalah sehingga jadi objek seks pria, cerita tentang kebesaran jiwa Ajo Kawir, dan tentu saja cerita tentang cinta.
Meski banyak cerita yang ingin disampaikan, Eka Kurniawan menuliskannya dengan sederhana tanpa terkesan murahan. Tidak rumit dan tidak berkelok-kelok. Eka tidak memakai kosakata rumit yang bikin dahi berkerut. Ceritanya mengalir dengan lancar, tanpa mampet, tanpa tersendat. Jadi, meski buku ini cukup vulgar, saya memaklumi dan memaafkan.