Judul: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh
Penulis: Dee
Penerbit: Truedee Pustaka Sejati (cetakan VIII, 2008)
Halaman: x + 286 halaman
ISBN: 979-96257-0-X
Rating: 4/5
Setelah saya menonton filmnya di bioskop, saya mampir ke Gramedia dan melihat Partikel dan Gelombang. Segera saya ambil dan saya bawa pulang tentunya setelah saya bayar di kasir. Dua novel itu selesai saya baca dalam dua hari saja. Lalu, saya pikir tidak ada salahnya saya membaca ulang serial Supernova yang lain dan saya tulis riviunya. Sekalian mengingatkan kembali kenapa dulu saya menjadikan Dewi Lestari sebagai penulis Indonesia favorit saya setelah saya membaca serial Supernova ini.
Cukup sekian kata pengantar dan mari kita mulai saja riviunya… 😀
Cerita dibuka dengan flash back perkenalan Dhimas dan Ruben di Georgetown, Washington DC. Setelah perkenalan itu mereka menjadi sepasang kekasih. Sepuluh tahun kemudian mereka masih bersama dan mereka berkolaborasi menulis buku yang sebenarnya adalah ambisi Ruben. Sepuluh tahun yang lalu ketika mereka berdua sedang terkena badai serotonin di Watergate Condominium, Ruben berikrar:
“Sepuluh tahun dari sekarang, aku harus membuat karya. Satu masterpiece. Satu tulisan atau riset yang membantu menjembatani semua percabangan sains.” (hal. 11)
Bersama-sama, Dhimas dan Ruben, menulis kisah Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh (KPBJ). Kisah tersebut yang hebatnya memiliki kesamaan cerita dengan yang dialami Ferre, Rana, dan Diva. Ferre adalah sang Ksatria yang jatuh cinta dengan Rana, si Putri, yang sayangnya sudah menikah. Sementara Diva adalah sang Bintang Jatuh. Ketika Ksatria hancur hatinya, Bintang Jatuh datang dan membantu Ksatria untuk mengobati lukanya.
Seperti yang Ruben bilang dia ingin membuat satu tulisan yang “membantu menjembatani semua percabangan sains” dan memang itu yang terjadi. Oke, mungkin tidak semua percabangan sains sih, Ruben agak lebay memang. Meski begitu, KPBJ tetap menawarkan suatu kebaruan bagi saya dulu ketika membaca untuk pertama kali di tahun 2008. Teori-teori Fisika yang njelimet (yang dengan senang hati tidak terlalu saya pusingkan), psikologi, dan filsafat, juga sekilas tentang ekonomi, menjadi menarik ketika diramu menjadi fiksi oleh Dhimas.
Sebenarnya kita harus berterima kasih kepada Dhimas karena lewat dialah KPBJ menjadi menarik. Bisa bayangkan segala macam teori itu, tumplek jadi satu ditulis Ruben? Membosankan pastinya. “Bisa jadi hand-out kuliah saja sudah bagus,” ejek Dhimas. Ini menandakan kecerdikan Dee sebagai penulis cerita. Dia ingin membuat pembacanya menjadi pintar dengan segala teori itu, namun dia tidak mau membuat pembacanya langsung menutup buku ketika baru membaca halaman kedua atau ketiga.
KPBJ adalah novel Indonesia pertama yang saya baca yang menurut saya bisa seserius dan seilmiah ini. Riset yang mendalam, dengan catatan-catatan kaki untuk menerangkan sesuatu hal, ditambah di halaman akhir Dee memberikan referensi bagi pembacanya yang ingin membaca lebih lanjut. Tuh, kan, apa saya bilang? Dee memang punya niat luhur ingin membuat pintar para pembacanya. Masalahnya kita, sebagai pembacanya, berniat untuk belajar lebih lanjut atau tidak? Sayangnya, di buku-buku Supernova berikutnya tidak ada lagi daftar pustaka yang diberikan. Padahal, menurut saya, tema di setiap buku Supernova menarik untuk kita eksplorasi lebih lanjut. Dengan adanya daftar pustaka setidaknya kita ada petunjuk yang membantu kita–yang berminat–dalam mengeksplorasi topik-topik tersebut.
Cerita yang bagus dan mengalir, dengan diksi dan susunan kata yang oke. Sayangnya, saya masih ada kurang sreg di beberapa tempat. Pertama, dialog Dhimas dan Ruben. Terlalu “tinggi” buat saya yang hanyalah butiran atom ini. Halah. Jadinya saya lewati saja. Toh, seandainya bagian Dhimas dan Ruben dihilangkan, KPBJ tetap bisa ada kok. Saya juga merasa Ruben ini memang pintar banget, tapi kalau di dunia nyata ketemu saya pasti saya bengong juga sih. Menurut saya, Ruben kurang “membumi”.
Kedua, perselingkuhan Rana dan Ferre. Maaf, untuk topik yang satu ini saya sangat bias. Tidak bisa objektif. Atas alasan apapun Rana selingkuh dengan Ferre, menurut saya sih tetap kampret dan bodoh. Baiklah, saya mengaku. Ini personal banget. Sepertinya mulai sekarang saya harus belajar untuk tetap netral setiap membaca cerita yang mengangkat topik perselingkuhan.
Cuma dua itu saja kok yang kurang sreg di saya. Sisanya, oke lah. Apalagi Diva. Saya suka tokoh Diva ini. Sekarang setelah diingat-ingat lagi dulu saya pernah terinspirasi dengan Diva. Dia cerdas, cantik, lugas, dan, ehm… apa ya… dia berbeda dari kebanyakan orang. Apa satu kata sifat yang tepat untuk menggambarkan Diva? Apakah itu unik? Out-of-the-box? Ah, itulah pokoknya. Tapi, meski saya terinspirasi sama dia, ada satu pemikiran dia yang saya tidak setuju: tentang melacurkan diri. Dia menganggap dia hanyalah berdagang dengan menjajakan tubuhnya. Menurutnya menjual tubuh tidak ada bedanya dengan menjual tenaga, waktu, dan pikiran lalu digaji. Dia lebih memilih untuk menjadi melacurkan badannya ketimbang harus melacurkan pikirannya. Argumen ini tidak pernah bisa saya mengerti.
Begitulah KPBJ menurut saya. Bagi yang ingin membaca novel Indonesia yang berbeda dari kebanyakan, mungkin kalian bisa membaca Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh.