#151 – Tiba Sebelum Berangkat

39834891 Judul: Tiba Sebelum Berangkat
Penulis: Faisal Oddang
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (edisi digital, 2021)
Halaman: vi + 216
ISBN-13: 978-602-42-4353-1 (PDF)
Rating: 5 dari 5 ⭐ – it was amazing

Saat penisnya ditindih kaki kursi, Mapata teringat kata-kata Sukeri, ada setan perempuan dalam tubuhnya. Ketika lidahnya dijepit tang sebelum dipotong dengan sembilu, satu-satunya yang Mapata sesali adalah bahwa dia tidak bisa lagi memuaskan Batari, istrinya. Batari selalu memuji lidah Mapata, satu-satunya miliknya yang berharga, dan pujian itu selalu ia timpali dengan sombong, dengan lelucon basi bahwa dia bisa mengangkat pinggul istrinya hanya dengan menggunakan lidah. Lalu, mereka akan tertawa sebelum pulas oleh percintaan yang sebenarnya tidak benar-benar memuaskan. (hal. 1)

Gila! Baru di paragraf pertama, di bagian prolog pula, Faisal Oddang sudah membuat saya menghela nafas. Paragraf pembuka macam apa ini yang langsung bisa menunjukkan kualitas penulisnya? Cukup dengan satu paragraf itu mampu membuat saya tidak bisa berhenti membaca Tiba Sebelum Berangkat

Saya melanjutkan membaca. Halaman demi halaman membius saya. Saya tidak bisa berhenti. 

Secara singkat, Tiba Sebelum Berangkat berkisah tentang Mapata, mantan toboto dan juga bissu, yang diculik oleh segerombolan mafia sindikat penjualan organ dipimpin Ali Baba. Sindikat Ali Baba ini biasanya menculik orang-orang yang mendukung hubungan sesama jenis, penista agama, atau simpatisan komunis. Atau, ketiga-tiganya. Mapata dianggap memenuhi ketiga kriteria tersebut maka dia diculik untuk disiksa habis-habisan. Sambil disiksa itu, dia dipaksa untuk bercerita tentang organisasinya, tentang hubungannya dengan Puang Matua Rusmi, tentang pemberontakan DI/TII, hingga tentang kisah hidupnya sendiri. Lalu, Ali Baba meninggalkan Mapata berharap Mapata akan mati dengan sendirinya. 

Sejak lidahnya dikerat, Mapata tidak bisa lagi berkomunikasi melalui suara. Dia bercerita melalui tulisan. Saya dibuat penasaran untuk terus membaca catatan kisah yang ditulis Mapata. Karena dari ceritanya itu saya jadi belajar banyak sekali, tentang Tolotang (kepercayaan asli suku Bugis), tentang hubungan antara bissu dan toboto, tentang sejarah pemberontakan DI/TII yang dipimpin Abdul Kahar Muzakkar dan cerita bagaimana pemberontakan itu membantai komunitas bissu yang dianggap menyimpang dari agama Islam. Ini adalah proses belajar saya cukup berat karena untuk mendapatkan ilmunya saya harus membaca terlebih dahulu siksaan demi siksaan yang harus dialami Mapata. 

Deskripsi penyiksaan yang begitu detil sungguh terasa hingga membuat saya bisa membayangkan betapa sakitnya siksaan yang harus dialami Mapata, jijik dengan ruang penyekapan yang ada tahi di mana-mana karena Mapata tidak diberikan kesempatan untuk ke WC, bau pesing yang menyeruak ikut tercium, dan betapa saya ingin muntah membaca Mapata terpaksa memakan tahi keringnya sendiri karena dia tidak diberi makan selama tujuh hari. Potongan tahi, yang merupakan harapan terakhirnya, menempel di sela-sela giginya dan dia membayangkannya sebagai sekerat roti. 

Sampai di sini, tidak mungkin rasanya jika kita tidak bersimpati dan menaruh kasihan pada Mapata. Barangkali, bagi yang sudah membaca, ada yang sampai dadanya terasa penuh dan sesak. Membaca betapa brutal dan kejamnya penyiksaan terhadap Mapata sangat di luar perikemanusiaan. Seolah Mapata direndahkan derajatnya sebagai manusia. Ditambah dengan cerita komunitas bissu yang dikejar tentara DI/TII untuk dibantai karena dianggap tidak sesuai dengan agama. Penganut kepercayaan asli ini yang sudah terdiskriminasi, masih juga harus berjuang untuk mempertahankan nyawa dari orang-orang yang berlagak menjalani perintah Tuhan. 

Baru saja saya dibuat marah dengan siksaan terhadap Mapata dan pembantaian para bissu, untuk selanjutnya saya dibuat marah lagi karena manipulasi Puang Matua Rusmi terhadap Mapata. Memanfaatkan kuasanya sebagai seorang bissu, Puang Matua Rusmi mengambil manfaat dari Mapata sebagai toboto-nya. Ini hidup Mapata kenapa menderita sekali, ya? Waktu dia kecil disodomi oleh ayah tirinya. Ketika dia dewasa, dimanfaatkan secara seksual oleh Puang Matua Rusmi. Oddang seolah-olah ingin bilang, “Lihatlah. Predator seksual ada di mana-mana. Tidak peduli apapun agamamu.”

Entah ini sebagai sebuah nilai positif atau negatif, tetapi Oddang memainkan perasaan saya. Saya memang dibuat sangat bersimpati pada Mapata, tetapi tunggu lah sampai saya membaca bagian Mapata yang memegang selangkangan dan mengulum penis remaja laki-laki usia SMP dan SMA di salonnya. Mapata memberi mereka uang setelah dia terpuaskan. Sampai sini saya kembali marah. Saya marah Mapata ternyata juga seorang pedofil. Dan saya marah sama diri sendiri karena meski saya sudah tahu itu, saya tetap tidak bisa untuk tidak bersimpati pada Mapata. Karena penjabaran siksaan yang brutal, kejam, sadis, dan tidak berperikemanusiaan terhadap Mapata sangat terasa nyata dan lebih mampu untuk menguasai saya sepenuhnya ketimbang deskripsi perilaku pedofil Mapata. 

Bangsat. Saya dibikin bersimpati pada pelaku pedofil. 

Belum cukup dengan semua siksaan dan hinaan itu, pada akhir cerita Mapata harus menghadapi kenyataan pahit. Mapata harus menghadapi pengkhianatan. Sakitnya pengkhianatan barangkali sama, atau bahkan mungkin lebih, dengan sakitnya siksaan fisik yang dialaminya. Batara dan Walida—dua perempuan yang sangat dicintainya, yang membuatnya bertahan hidup dari siksaan—meninggalkannya. 

Bangsat. Saya dibikin bersimpati lagi pada pelaku pedofil. 

Seharusnya novel ini diberi label trigger warning karena ada isu pelecehan seksual dan pemerkosaan. Dan seharusnya novel ini diberi label untuk usia 21+, bukan 15+. 

Akhirul kalam, agar semakin memahami novel ini, sila baca analisisnya di sini, di sini, dan di sini. Tautan yang saya bagikan hanya terbatas pada bissu dan toboto. Kalau tertarik dan ingin lebih mendalami mengenai pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan, silakan cari sendiri ya. He, he, he. 

Tinggalkan komentar