#145 – Rasina

Rasina Judul: Rasina
Penulis: Iksaka Banu
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (cetakan I, Maret 2023)
Halaman: xxvii + 587
ISBN: 978-602-481-987-3 (PDF)
Rating: 5 dari 5 ⭐ – it was amazing 

Rasina adalah sebuah novel fiksi sejarah terbaru dari Iksaka Banu. Novel ini memiliki dua plot cerita yang sama pentingnya. Pertama, berkisah tentang seorang Baljuw (kepala Kepolisian) bernama Jan Aldemaar Staalhart dan seorang landdrost (setingkat sherif) Ommenlanden Timur Batavia bernama Joost Borstveld di Batavia sekitar tahun 1755 saat VOC masih menguasai dan memerintah Batavia. Saat itu VOC menjelang kebangkrutan akibat dari pejabatnya yang korup. Bagi mereka, tiada yang lebih penting selain memperkaya diri sendiri melalui korupsi atau perdagangan gelap bersama partikelir. Mereka melakukan penyelundupan opium dan budak yang sangat merugikan VOC. Staalhart dan Joost terjebak dalam pusaran arus perilaku korup tersebut dan mereka berusaha melawan arus dengan memecahkan kasus besar yang melibatkan Jacobus de Vries, seorang Vrijburgher. Dalam alur cerita ini kita akan membaca dari sudut pandang Joost.

Kedua, berkisah tentang pembantaian penduduk Banda yang dilakukan oleh Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal keempat dan keenam dari VOC. Pembantaian tersebut terjadi pada tahun 1621. Pada narasi cerita ini kita akan mendengar dari Hendriek Cornelis Adam yang merupakan kakek dari Staalhart.

Membaca Rasina setebal 620 halaman sangat tidak mudah buat saya karena isinya yang membuat ngilu, sedih, pedih, dan terutama sekali marah! Saya marah dengan kolonialisme, dengan kekejaman yang dilakukan oleh penjajah terhadap penduduk lokal, dengan penyiksaan yang dialami oleh para budak, dan dengan sikap rasis yang ada.

Berikut salah satu kutipan yang membuat darah saya mendidih:

“Bagaimana perasaanmu bila tiba-tiba ada serombongan orang asing mendatangimu, membeli paksa barang daganganmu dengan sangat murah, melarangmu berjualan dengan orang lain, menukar barang jualanmu dengan barang bermutu rendah, lalu mereka membangun rumah di halamanmu dan melengkapinya dengan meriam seperti itu?” Kalabaka menunjuk ke arah Benteng Nassau. “Dan mereka masih pula ingin memperluasnya dengan merebut seluruh rumahmu?” (hal. 152)

Kemarahan tidak hanya berhenti di situ. Ketika saya membaca siksaan yang dialami oleh Rasina, seorang budak dari keturunan bangsawan di Banda, saya merasakan emosi yang sama: marah, pedih, dan sedih. Lidah Rasina dikerat sehingga dia menjadi gagu, badannya penuh dengan bekas luka dari sayatan pisau hingga ke dekat organ intim, dan ia dicekoki opium agar kecanduan sehingga bisa melayani nafsu bejat tuan dan nyonyanya.

Namun, di sisi lain hal tersebut menunjukkan bahwa Iksaka Banu telah melaksanakan tugasnya dengan baik. Hasil ramuannya dalam menulis Rasina mampu menyentuh nurani kita membacanya. Kita ikut merasakan kekejaman yang dialami oleh penduduk lokal pada masa kolonial yang membuat saya mengucap syukur saya tidak mengalami masa-masa sulit penuh penderitaan seperti saat itu.

Membaca fiksi sejarah dari Iksaka Banu memang selalu menyenangkan. Menyenangkan dalam artian wawasan baru yang saya peroleh setelah membaca karyanya dan terhibur dengan rangkaian katanya. Tidak terkecuali dengan Rasina.

Saya bisa melihat betapa seriusnya Iksaka dalam menulis Rasina. Riset yang mendalam menjadi kekuatan utama dalam buku ini. Dari risetnya tersebut yang dibalut menjadi fiksi, kita akan belajar struktur organisasi VOC. Di dalam novel ini juga diberikan ilustrasi peta Banda keluaran tahun 1621 dan peta Batavia dan peta Ommelanden pada abad ke-18 yang menjadi latar waktu dan juga ilustrasi beberapa tokoh yang ada. Sangat menarik!

Hal lain yang membuat Rasina menjadi semakin menarik adalah bahwa novel ini sebenarnya merupakan pengembangan dari salah satu cerita pendek dari buku kumpulan cerpen Iksaka, Teh dan Pengkhianat, yang berjudul “Kalabaka”. “Kalabaka” mengisahkan hari-hari terakhir menjelang penaklukan Kepulauan Banda oleh J.P. Coen tahun 1621. Karena cerita tersebut mendapatkan banyak ulasan dari pembaca — rata-rata merasa ngeri membaca kebiadaban Kompeni (tentu saja!) kepada penduduk Banda dalam upaya mereka memonopoli lada dan fuli — dan banyak yang mengusulkan agar “Kalabaka” dikembangkan menjadi novel, Iksaka pun tertarik.

Yang menarik buat saya adalah bagaimana cara Iksaka memasukkan “Kalabaka” menjadi salah satu plot cerita dalam Rasina. Dan dalam memasukkan “Kalabaka” ke dalam Rasina pun sangat mulus. Staalhart menyuruh Joost untuk membaca buku harian sang kakek, Hendriek Cornelis Adam, selama dia di Banda dan bagaimana buku harian itu membentuk kepribadian Staalhart menjadi individu tegas, taat hukum, menolak kesewenang-wenangan, dan bersimpati pada pribumi. Kita menjadi membaca dua cerita seimbang, tanpa cerita yang satu membayangi cerita yang lain. Tidak, keduanya sama penting dalam Rasina. Buat saya, ini brilian.

Kalau kalian sudah terintimidasi duluan dengan bukunya yang tebal, please don’t. Bukunya memang tebal, tetapi sungguh bacanya enak banget karena ceritanya mengalir. Waktu satu jam yang saya alokasikan setiap hari untuk membaca Rasina terasa kurang karena mampu membuat saya terlarut dalam cerita.

Akhirul kalamRasina adalah sebuah buku luar biasa lainnya dari Iksaka Banu yang sudah saya baca. Dari Iksaka saya tergugah untuk membaca buku-buku lain terkait sejarah bangsa ini. Agar saya semakin mengenali, memahami, menghargai perjuangan dan pengorbanan orang-orang yang menjadi korban kebiadaban kolonial.

Tinggalkan komentar