Judul: Anak Bajang Mengayun Bulan
Penulis: Sindhunata
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (cetakan I, April 2022)
Halaman: 556
ISBN: 978-602-06-5603-8
Rating: 2 dari 5 ⭐ – it was okay
Entah kenapa saya tidak terlalu bisa menikmati Anak Bajang Mengayun Bulan. Tidak seperti sewaktu saya menamatkan Anak Bajang Menggiring Angin empat tahun yang lalu. Saya suka buku itu dan sangat menikmatinya. Apakah karena selera saya sekarang berubah? Ataukah karena ada alasan lain?
Entahlah, tetapi saya akan mencoba untuk menguraikan apa yang mengganggu saya ketika membaca buku ini dalam satu ulasan yang utuh.
Secara singkat, buku ini berkisah tentang Sukrosono, raksasa kecil yang dibuang oleh orangtuanya sejak ia lahir. Ayahnya tidak bisa menerima kalau Sukrosono terlahir sebagai raksasa buruk rupa. Sementara kakaknya yang juga kembarannya, Sumantri, terlahir sangat tampan. Setelah sekian lama akhirnya mereka bisa bertemu lagi. Ayahnya sangat menyesali keputusannya dan menyambut Sukrosono dengan tangan terbuka. Namun, hubungan antara Sukrosono dan Sumantri akan diuji berkali-kali.
Kekuatan Romo Sindhu memang dalam merangkai kata. Lembut dan indah. Itu yang menjadi kekuatan utama dari buku ini. Namun, sejujurnya, meski kata-kata yang digunakan dan dirangkai sangat lembut dan indah untuk mendeskripsikan peristiwa, situasi, tempat, dan lain-lain, saya merasa it’s a little bit too much apalagi untuk buku setebal 556 halaman. Apalagi yang dideskripsikan itu-itu saja. Jadi, rasanya seperti membaca suatu hal yang sama, dengan gaya yang sama, sehingga terasa membosankan. Saya mencoba memahami bisa saja pendeskripsian berulang ini karena Anak Bajang Mengayun Bulan merupakan cerita bersambung di Harian Kompas pada September 2021 – Maret 2022.
Bagian blurb yang ada di sampul belakang buku menjelaskan kalau buku ini tentang kisah sebuah keluarga menjalani sukacita dan tragedi dalam kehidupan. Lebih lanjut:
Melalui para tokohnya, kita diajak kembali memaknai cinta, nafsu, kesempurnaan, kegagalan, yang baik, dan yang buruk. Sebuah kisah yang menampilkan perjuangan sejati dan keikhlasan untuk mencintai sampai habis.
Saya mencoba memahami, memaknai, dan meresapi kisah keluarga dalam buku ini. Sayang, saya tidak bisa mendapati nilai-nilai yang dimaksud. Malah saya merasa keluarga Sukrosono penuh dengan racun. Dimulai dari ayahnya yang tidak mau menerima kondisi Sukrosono, padahal ayahnya seorang begawan. Lalu, Sumantri, yang katanya sangat mencintai Sukrosono, tapi tidak diwujudkan dalam tindakan. Dia malu mengakui di depan orang banyak kalau Sukrosono adalah adiknya. Sementara Sukrosono yang sangat haus akan kasih sayang kakaknya akan melakukan apa saja, literally apa saja, agar kakaknya mau menerimanya dan menyayanginya sepenuh hati. Alhasil, Sumantri memanfaatkan adiknya untuk mendapatkan apa yang dia inginkan.
Pengembangan karakter di dalam buku ini tidak terasa buat saya. Tokoh-tokohnya kebanyakan labil dan mencla-mencle, seperti Sumantri, Dewi Citrawati, bahkan Sukrosono. Membaca pergulatan batin mereka seperti melihat orang dalam peribahasa bagai air di daun talas. Berubah-ubah, tidak punya pendirian. Sepanjang buku membaca tokoh yang selalu labil itu rasanya cukup menjengkelkan dan melelahkan.
Memang ada pesan-pesan yang ingin disampaikan bahwa memiliki nafsu itu manusiawi (dalam hal ini nafsu seks). Namun, jika dalam nafsu tersebut memberikan hasil yang tidak sesuai harapan (lahir Sukrosono yang berwujud raksasa dan rupa jelek), jangan lantas melepas diri dari tanggung jawab. Intinya, manusia itu tempatnya nafsu (apa saja, tidak terbatas pada seks). Kontrol nafsumu. Kalau kontrolmu terlepas, terima dan bertanggung jawablah atas apapun akibatnya.
Hal lain yang meresahkan saya adalah karakter perempuan di buku ini. Tiga karakter perempuan di sini — ibunya Sukrosono dan Sumantri, Dewi Citrawati, dan Darmawati — tidak lebih dijadikan objek seks, tempatnya dosa, penggoda, agresif dalam mengejar laki-laki, terlalu pasrah, dan bucin. Saya tidak akan protes terkait di buku ini perempuan juga digambarkan ada yang jahat, karena ada juga karakter perempuan yang baik. Namun, Romo Sindhu terasa tidak adil ketika begitu banyak mendeskripsikan buah dada perempuan, betis, atau lainnya ketimbang fisik karakter laki-laki di sini. Penggambaran laki-lakinya di sini tidak lebih dari mereka tampan, gagah, dan sakti mandraguna.
Berikutnya, cukup mengganggu buat saya ketika Prabu Arjunasasrabahu, raja Maespati, dengan begitu saja mengangkat Sumantri, yang tidak punya pengalaman sama sekali, menjadi senapati Maespati. Tidak masuk akal. Prabu Arjunasasrabahu sama sekali tidak tahu seperti apakah kekuatan Sumantri, sesakti apakah dia, secakap apa dia dalam memimpin pasukan, tetapi Prabu Arjunasasrabahu bisa dengan mudah mengambil keputusan sepenting itu hanya karena dalam pandangan pertama dia sudah terpesona akan Sumantri. Berarti memang benar apa kata orang-orang, jika seseorang terlahir tampan atau cantik separuh permasalahan dalam hidup orang tersebut terselesaikan. Karena dari ketampanan Sumantri, dia bisa langsung diangkat menjadi senapati, tanpa fit and proper test.
Meski dengan beberapa hal ketidakpuasan saya yang sudah saya jabarkan di atas, saya masih suka dengan cara Romo Sindhu mendeskripsikan alam, hutan, hewan-hewan, dan bunga. Membaca Anak Bajang Mengayun Bulan seperti sedang duduk di dalam hutan dan menikmati suasana hutan. Saya bisa membayangkan mendengar kicauan burung dan memandangi indahnya bunga-bunga yang ada. Saya juga seperti belajar flora dan fauna ketika Romo Sindhu banyak sekali menuliskan nama-nama burung dan bunga.
Buku ini memang sudah masuk dalam wishlist saya sejak lama. Sejak saya tahu ceritanya dimuat di Harian Kompas dan saya yakin nantinya cerita bersambung itu akan dibuat dalam format buku. Saya sudah punya ekspektasi yang tinggi sekali terhadap buku ini karena saya membayangkan akan sebagus Anak Bajang Menggiring Angin. Sayang sekali ternyata buku ini tidak sesuai dengan ekspektasi.
Mohon maaf sekali saya haturkan kepada teman Plurk saya, Kak Arimogi, yang telah repot-repot menghadiahi saya buku ini sebagai kado ulang tahun, tetapi ternyata saya yang kurang pandai memilih bukunya. Tetap saya haturkan banyak terima kasih karena sudah berkenan memberikan kado Anak Bajang Mengayun Bulan untuk saya.
Akhirul kalam, rating yang sudah saya berikan dan resensi yang sudah saya tulis ini jangan menghalangi teman-teman dari membaca buku ini. Karena rating dan resensi saya bersifat subjektif. Bisa jadi teman-teman malah menyukai buku ini.
yang ini aku belum punya bukunya
Ayo dibeli bukunya kalau berminat, Pak. 😀
hehehe.. saya lebkih mengutamakan kebutuhan anak, anak minta buku penunjang belajarnya