#107 – peREmpuan

30071874

Judul: peREmpuan
Penulis: Maman Suherman
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (cetakan I, Mei 2016)
Halaman: vi + 189
ISBN: 978-602-6208-32-3
Harga: Tersedia di Gramedia Digital Premium
Rating: 3 dari 5 ⭐ – liked it

peREmpuan merupakan sekuel dari Re: yang sudah pernah saya tulis resensinya di sini. Kali ini cerita utamanya seputaran Melur, anak Re:, yang berusaha mencari tahu siapa ibu kandungnya sebenarnya. Ia bertanya langsung ke Herman. Mulanya Herman mengelak untuk menjawab, tetapi pada akhirnya Herman menceritakan kepada Melur siapa sesungguhnya Re: itu.

Melur, yang sudah dianggap sebagai anak sendiri oleh Herman, tanpa sepengetahuan Herman pergi sendiri mencari tahu tentang ibunya hingga ke Bandung. Melur bahkan sampai tahu siapa nama asli Re:, sesuatu hal yang oleh Herman sendiri tidak diketahui. Nama asli Re: indah sekali, yaitu Rabi’ah Aldawiyah. Karena Re: merasa namanya terlalu berat untuknya, jadi ia mencari nama lain maka jadilah ia dipanggil Re: atau Rere.

Selain tentang Melur, buku ini juga bercerita sekilas nama-nama baru yang buat saya tidak begitu berkesan. Ada nama Sherina, Anton, Karina, Rahma, Reshna, Roy. Mereka ini masih muda, tetapi dengan sadar dan kemauan sendiri menjadi pelacur dan gigolo. Salah satu dari mereka yang menjadi mucikarinya adalah pacarnya sendiri, yang notabene merupakan anak bupati.

Sejujurnya, saya juga kurang paham mengapa Kang Maman memasukkan nama-nama ini. Kalau Re: dan nama teman-temannya ditulis di Re: saya paham karena Herman sedang mengerjakan skripsinya. Namun, dengan nama-nama ini saya tidak tahu apa urgensinya nama mereka ada. Apakah hanya untuk sebagai penambahan bumbu cerita bahwa di masa sekarang pelacuran tetap ada? Karena, barangkali di benak Kang Maman, kalau hanya menceritakan tentang Melur buku ini akan kurang rasanya.

But, I beg to differ. Nama-nama di atas kurang dieksplorasi lebih jauh. Jadi fungsinya hanya semacam pemanis saja. Kang Maman pun menuliskannya sebagai sebuah memori yang sedang datang, tapi buat saya jadinya mereka ini tidak penting-penting banget. Kenapa tidak terfokus di Melur saja? Kenapa tidak mencoba menceritakan perjuangan Melur mencari ibu kandungnya dari sudut pandang Melur alih-alih dari sudut pandang Herman? Tentunya peREmpuan akan menjadi lebih menarik, setidaknya buat saya.

Di buku ini terdapat beberapa pengulangan cerita dari Re:. Tidak banyak sih, jadi tidak terlalu membosankan juga. Seandainya kamu belum membaca Re: tidak apa-apa kalau mau langsung membaca buku ini. Kamu tetap akan tahu garis besar jalan ceritanya dan tidak ketinggalan banyak.

Sama seperti yang saya tulis di resensi Re:, di buku ini saya masih penasaran di batas mana antara realita dan fiksi. Apakah nama anak Re: memang Melur? Siapakah Surya Buana Putra yang dibilang merupakan anggota DPR tewas karena kecelakaan (saya sampai googling)? Dan, terutama sekali saya penasaran, apakah Kang Maman benar-benar jatuh cinta dengan Re:? Jika iya, saya salut dengan istri Kang Maman.

Buku ini saya beri tiga bintang karena tidak seemosional Re:. Bahkan, adegan di mana Herman membuka rahasia yang dipendamnya selama 26 tahun kepada Melur pun rasanya kurang klimaks. Kurang dramatis. Saya sebagai pembaca hanya yang, “Oh, sudah? Begitu saja?” Yah, setidaknya buku ini memberitahu saya kepanjangan dari pecun, perek, dan skuter. Mau tahu apa masing-masing kepanjangannya? Pecun: perempuan culuan, perempuan pecundang, perempuan beracun; perek: perempuan eksperimen; skuter: selebritis kurang terkenal. Mohon dengan sangat saya tidak ditertawakan karena baru tahu kepanjangan dari singkatan-singkatan tersebut. Hihi.

Tinggalkan komentar