#83 – A Feast for Crows

Judul: A Feast for Crows (A Song of Ice and Fire #4)
Penulis: George R. R. Martin
Penerbit: Bantam Books
Halaman: 1061
ISBN13: 9780553582024
Rating: 3 dari 5 ⭐ – liked it

Buku keempat seri A Song of Ice and Fire ini berfokus tiga tempat, yaitu King’s Landing, Dorne, dan The Iron Islands. Di sini kita juga akan menemukan banyak POV (point of view) yang sama sekali baru, misalnya Cersei, Brienne, dan Arianne Martell. Kita tidak akan bertemu dengan Jon, Dany, dan Tyrion, tetapi kita masih bertemu dengan Sansa dan Arya.

Martin menulis juga kisah dari tokoh-tokoh yang lain, tetapi berhubung ceritanya panjang banget maka beliau memutuskan untuk membaginya menjadi dua.

I did not forget to write about the other characters. Far from it. I wrote lots about them. Pages and pages and pages. Chapters and more chapters. I was still writing when it dawned on me that the book had become too big to publish in a single volume … and I wasn’t close to finished yet. To tell all of the story that I wanted to tell, I was going to have to cut the book in two.

Jadi, buku berikutnya, yaitu A Dance with Dragons memiliki timeline yang sama dengan A Feast for Crows, tetapi dengan fokus yang berbeda.

Jujur saja, membaca buku ini saya tidak bersemangat. Salah satu alasannya mungkin karena saya tidak bertemu dengan Tyrion, karakter favorit saya. Terasa aneh juga tidak ada nama Jon Snow dan Dany, meski keduanya bukan tokoh favorit saya, tetapi tetap saja kan mereka adalah tokoh utamanya. Saya juga penasaran dengan kelanjutan kisah perjalanan Bran Stark. Jadinya, bukunya terasa membosankan. Alasan lainnya adalah saya lelah membaca satu bab panjang bertele-tele. Jadinya, terkadang saya bacanya skimming saja. Hemat waktu, hemat tenaga.

A Feast for Crows juga memiliki banyak plot. Beberapa diantaranya mungkin tidak penting-penting banget, menurut saya sih. Saya kurang tertarik dengan cerita perebutan kekuasaan di The Iron Islands setelah kematian Balon Greyjoy. Saya cukup tahu Euron Greyjoy, yang kemungkinan besar adalah pembunuh Balon, menjadi penerus Balon. Intrik politiknya bagaimana, saya tidak terlalu peduli. Tidak penting buat saya.

Saya memiliki beberapa catatan penting untuk tokoh-tokohnya.

1. Cersei

Cersei masih ambisius. Dia masih jadi sosok licik, jahat, dan haus kekuasaan. Dia merasa dirinya bijak dan mampu menjadi pemimpin, tetapi nyatanya dia mengambil keputusan tergesa-gesa dan berdasarkan emosi semata. Dia ingin menyingkirkan Margaery Tyrell dengan memfitnahnya.

2. Brienne

Brienne melakukan perjalanan mencari Sansa Stark. Dia ditemani Podrick yang diam-diam mengikutinya. Setelah berputar-putar mengikuti petunjuk, mereka tidak akan bertemu dengan Sansa. Malahan nantinya mereka akan bertemu dengan para outlaws yang kejam.

3. Jaime

Jaime jadi semakin bijak. Matanya juga sudah mulai terbuka dan bisa melihat bahwa Cersei itu jahat. Yang mengejutkan, buat saya, dia bisa menolak ketika Cersei meminta tolong ke dia.

4. Sansa

Sansa menyamar menjadi Alayne, anak haramnya Petyr Baelish. Dia masih berada di Vale. Setelah kematian Lysa, mau tidak mau dia menjaga Robert yang manja dan sakit-sakitan. Keberadaan Petyr sebagai Protector diprotes para Lords di Vale. Nanti Petyr punya rencana untuk menikahkan Sansa dengan pewaris Vale lainnya jika nanti Robert meninggal.

5. Arya

Arya sudah tiba di Braavos. Dia ingin belajar bisa membunuh dan berganti wajah seperti Jaqen H’ghar. Dia menuju House of Black and White, sebuah kuil the Many-Faced God di Braavos. Ini merupakan kuil di mana Faceless Men, para pembunuh bayaran, memuja the Many-Faced God, a god of death.

Arya tidak serta-merta diajarkan ilmunya. Dia harus memulai dari bawah terlebih dahulu. Bekerja yang ringan-ringan. Lalu, dia disuruh untuk menyamar menjadi penjual kerang. Arya nanti akan membunuh deserter the Black (Night Watch) dan dia mengakui perbuatannya ke pendeta yang juga Faceless Man. Arya dihukum menjadi buta.

Di sini Arya terasa lebih menyenangkan ketimbang di buku sebelumnya ataupun di serial televisinya. Arya tidak terlalu banyak membangkang dan, somehow, itu menyenangkan. Capek juga rasanya melihat orang yang terlalu banyak protes, keras kepala, dan ngeyel. Tidak seperti di serial televisinya, ketika Arya di Braavos proses menimba ilmunya sepertinya penuh halangan, di bukunya terlihat mudah dan lancar. Tentunya sampai Arya bandel memutuskan untuk membunuh deserter the Black itu tadi. Tapi, tidak tahu juga ya. Di buku berikutnya mungkin perjuangan Arya semakin berat.

Sebenarnya masih ada catatan tentang Samwell dan tentang Dorne, tetapi karena buat saya kurang menarik jadi tidak usah saya bahas ya. Saya malas membahasnya. Ha, ha.

Cerita A Feast for Crows sudah banyak berbeda dengan di serial televisi. Ada yang sama sekali tidak masuk di serial televisinya. Tidak apa-apa juga. Tidak mungkin juga kan ceritanya mau sama persis dengan di buku. Selama tidak menghilangkan hal-hal yang esensial, tidak apa-apa dibikin berbeda. Karena pasti pembuat serial televisinya memiliki interpretasi tersendiri terhadap bukunya.

So, bisa dibilang saya sedikit kecewa dengan A Feast for Crows. Sudah mah bukunya tebal lebih dari seribu halaman, satu babnya bisa panjang sekali halamannya, deskripsi yang bertele-tele, dan tidak ada kisah Tyrion juga Bran membuat saya memberikan nilai 3 dari 5 ⭐ untuk A Feast for Crows.

Baca juga resensi:
1. A Game of Thrones
2. A Clash of Kings
3. A Storm of Swords

Satu komentar pada “#83 – A Feast for Crows”

Tinggalkan komentar