#103 – Rumah Bambu

Judul: Rumah Bambu
Penulis: Y. B. Mangunwijaya
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (cetakan VII, Maret 2020)
Halaman: xii + 201
ISBN-13: 978-602-481-345-1
Rating: 2 dari 5 ⭐ – it was okay

Rumah Bambu adalah sebuah kumpulan cerpen dari Romo Mangun yang berisi dua puluh cerita pendek. Ini adalah buku kumpulan cerpen pertama yang ditulis Romo Mangun dan terakhir kali diterbitkan.

Dari sampul belakang buku ini kita mengetahui hampir semua cerita dari buku ini bertemakan peristiwa-peristiwa yang kelihatannya sederhana, sepele, dan remeh.

Dari kata pengantarnya, saya jadi sedikit tahu kepribadian dari Romo Mangun. Digambarkan bahwa beliau sehari-hari adalah pribadi yang membingungkan. 

Lembut, terbuka, tapi sering juga keras, bahkan otoriter. Tegar, perkasa, tapi juga sangat sensitif. Sederhana sekaligus kompleks, bahkan rumit. Hangat, humoris, sekaligus sinis. Toleran, tapi juga mudah berang. Serba kritis, tapi juga menunjukkan sifatnya yang antikritik. Mudah terenyuh dan terharu pada penderitaan orang lain dan mudah tersentak oleh setiap bentuk penindasan, tetapi sikapnya sendiri tidak jarang membuat orang lain tersiksa dan menderita. (hal. ix)

Dari kata pengantarnya pula saya tahu bahwa proses pengumpulan cerpen Rumah Bambu tidak mudah. Para penyunting mengumpulkan, mengetik ulang, dan menyunting cerpen-cerpen ini berdasarkan berkas-berkas yang sempat terdokumentasi di rumah Romo di Kuwera. Kondisi naskah yang sebagian parah: ruwet, penuh koreksi, dan tidak terbaca.

Bersyukurlah mereka berhasil mengumpulkan dua puluh cerpen Romo Mangun sehingga kita bisa membacanya sekarang. Oh iya, dari dua puluh cerpen tersebut, hanya tiga cerpen yang pernah dimuat di media massa. 

Berikut adalah ringkasan ceritanya.

1. Tak Ada Jalan Lain

Baridin tidak punya jalan lain untuk mencari nafkah selain mengamen dengan gaya wadam. Ditelannya semua penghinaan yang dia terima di jalanan. Hasil yang didapat juga tidak seberapa padahal sudah menanggung malu.

Ketika Baridin akan memberikan uang seribu ke Ruyem sebagai uang terima kasih karena telah diperbolehkan meminjam wig dan menumpang kamar untuk berdandan, Ruyem menolak. Malah ia menambahkan uang seribu ke hasil ngamen Baridin. Disuruhnya dia pulang dan serahkan semua uang yang Baridin dapat ke simboknya.

2. Cat Kaleng

Siyah bertemu dengan Romo di jalan dan menawarinya sekaleng cat. Harga cat kaleng tersebut lima ratus saja, padahal harga di pasaran bisa dua ribu. Romo tahu cat kaleng itu hasil curian. Romo tidak membelinya, tetapi memberikan uang lima ratus untuk Siyah. Untuk jajan bakso dan es, kata Siyah.

3. Sungai Batu

Pak Ipon dan Basuki mencari batu di kali. Basuki berijasah SMA dan sempat melamar ingin menjadi biarawan, tetapi ditolak dengan alasan lebih baik Basuki mempersembahkan hidupnya sebagai awam saja di tengah dunia. Alasan sebenarnya adalah karena nilai rapornya merah dan setelah diwawancara IQ-nya dianggap kurang. Di sinilah ia sekarang, menemani ayahnya mencari batu.

4. Hadiah Abang

Gondek sudah dua malam tidak pulang ke rumah. Bapaknya kelimpungan mencari dia di tetangga dan kerabat. Suatu siang, ketika Bapak dan Simbok tidak ada di rumah, dia pulang dan mendapati adiknya, Bluluk, sendirian. Gondek memamerkan duitnya dan bilang, “Kau mau apa tidak saya beri uang?”

5. Colt Kemarau

Kasirin sedang menggembala sebelas ekor domba ketika sebuah colt berhenti hampir tanpa bunyi di depan Kasirin. Kernetnya meminta tolong pada Kasirin untuk membelikan bensin. Uang seribu dan kaleng segayung diberikan, “Sisa uangnya boleh Adik ambil sebagai hadiah.” Sisa uang dari beli bensin dua liter tidak seberapa, tetapi kerugian yang diderita Kasirin luar biasa. Dia kehilangan domba-dombanya yang dibawa kabur oleh pengemudi dan kernet colt tadi.

6. Malam Basah

Wagiyo menangkap basah bapaknya yang selingkuh dengan istri muda Pak Tamping.

7. Pahlawan Kami

Mas Ruskamdi adalah suami dari Ibu Seno Atmaja, induk semang dari tokoh utama yang tidak disebut namanya. Dia masih muda dan tampan membuat Ibu Seno merasa insecure. Ia selalu menuduh Mas Rus ada main dengan wanita-wanita cantik dan lebih muda.

Masa itu, di bulan September 1945, kondisi negara sedang dalam keadaan siaga. Mas Rus yang berpakaian dengan merah-putih panjang yang melingkar di kepalanya  tanpa sengaja ikut arus keramaian yang mengarah ke stasiun kereta api. Dia tertembak. Sempat dirawat dirawat di rumah sakit, tetapi nyawanya tidak tertolong.

8. Pagi Itu

Mbok Ranu menampung seorang laki-laki yang lebih muda usianya di rumah. Bisa dibilang suaminya, bisa juga dibilang tidak. Tiba-tiba saja dia datang ke rumah dan menumpang untuk tinggal. Diperbolehkan oleh Mbok Ranu.

Laki-laki muda itu dipanggil Sendok. Dia seorang tukang becak, tetapi sudah lama tidak bekerja karena sakit. Kanker, kata dokter ini penyakit parah. Sendok juga sudah lama tidak minta dibelikan obat lagi. Terakhir yang dia minta di pagi hari itu adalah rokok.

9. Rheinstein

Cerita perselingkuhan Nuri, ahli Biologi dan seorang istri diplomat, dengan rekan kerjanya.

10. Rumah Bambu

Parji sudah bersusah payah membangun rumah untuk istri dan bayinya yang baru lahir, tetapi istrinya tidak menghargai.

11. Pilot

Gabi adalah seorang pilot, yang bersuamikan juga seorang pilot. Ia terpaksa menjadi janda karena suaminya gugur hilang ketika mendapat instruksi untuk mencari rombongan Peneliti Vulkanologi Italia-Indonesia yang menyelidiki kegiatan Gunung Gamkonora dan Gunung Gamala di Ternate.

12. Mbah Benguk

Mbah Benguk membesarkan kedua cucunya, berusia enam dan lima tahun, seorang diri. Cucu bungsu, Santi, lumpuh dan berkesan baru seperti usia dua tahun yang kadang-kadang imbisil. Ibunya entah ke mana. Bapaknya juga entah siapa.

Bagi anak, ibu bukanlah yang fisik biologis melahirkannya, tetapi yang faktual mencintai dan mengasuh membimbingnya. Seperti Mbah Kariobenguk. (hal. 116)

13. Renungan Pop

Sebuah cerpen yang sepertinya menyindir pemerintahan kala cerpen ini dibuat. Bongki mendapat telpon dari Kolonel Siaga-aga, dari Kodalihura (Komando Pengendali Huru-Hara). Siaga meminta Bongki untuk memimpin demonstrasi dan nantinya akan dijadikan menteri. Ini mengherankan karena biasanya meminta izin demonstrasi susah bukan main, lah kok ini malah disuruh berdemo? Ada apa ini? Ehm?

14. Dua Gerilyawan

Dua gerilyawan mendatangi tokoh utama cerpen untuk berjualan untuk menolong (sukarela wajib) para purna (bekas) tentara yang tidak mendapat jatah pemerataan kekayaan, seperti rekan-rekan gerilyawan lain.

15. Lampu Warisan

Ngadri berusaha menjual lampu warisan yang dipercaya dari salah seorang tumenggung Pangeran Diponegoro.

16. Mbak Pung

Mbak Pung adalah kakak yang bertanggung jawab. Dia turut membesarkan ketiga adiknya, di saat ibunya lebih fokus membatik. Dia sangat sayang adik-adiknya, Winarti, Gathot, dan Pingki. Di mata mereka, Mbak Pung merupakan sosok kakak yang sempurna. Kakak yang merangkap sebagai ibu. Sayangnya, Mbak Pung rendah diri karena wajahnya yang tidak cantik. Dia sudah memasuki usia rawan bagi wanita. Mbak Pung sendiri tidak yakin kalau dia akan menikah. Siapa pula yang mau dengan wanita jelek seperti dia?

17. Thithut

Seekor anjing herder kampung yang sempat jadi anjing jagoan, setelah jadi cacat menjadi anjing penakut dan minder.

18. Narada

Begitu di dialog:

“Begini Adinda Narada. Kita para dewa Kahyangan Mahameru, meski tinggal di pucuk gunung tertinggu bumi, hanyalah dewa-dewa planet kecil saja. Dan planet bisa berubah. Kita pun harus menyesuaikan diri dengan zaman juga, bukan? Tidak selamanya kita berkuasa. Sudah muncul dewa-dewi baru, …” (hal. 160)

mengingatkan saya akan American Gods.

19. Puyuk Gonggong

Lantorpulung memberikan puyuk sebagai persembahan pada Wiroguno. Celaka tujuh belas, persembahan itu ditafsirkan berbeda dari niat awal Lantorpulung. Wiroguno menafsirkannya sebagai sebuah penghinaan dari si muda Lantorpulung yang terlalu cepat menanjak, beliau mengira puyuk gonggong persembahan itu merupakan puyuk sebangsa yang biasa, yang terdapat di ladang-ladang ilalang di mana-mana.

Wiroguno murka. Dia mengirimkan tugur dari Ibukota dengan pasukan algojonya untuk menghabisi Lantorpulung dan semua keluarganya. Habis, tak bersisa.

20. Natal 1945

Sebuah perjalanan di malam hari ke Kedungjati untuk mengantarkan jenazah pahlawan.

Dari dua puluh cerita pendek tersebut, jujur saja, saya tidak memilih cerita favorit. Saya kurang merasa menyatu dengan cerpen yang ada jadinya kurang menikmati. Entah kenapa. Mungkin suatu saat perlu dibaca ulang dan akan kita lihat apakah penilaian saya akan berubah. 

4 tanggapan untuk “#103 – Rumah Bambu”

Tinggalkan komentar