#51 – A Man Called Ove

Judul: A Man Called Ove
Penulis: Fredrick Backman
Penerjemah: Ingrid Dwijani Nimpoeno
Penerbit: Noura Books
Halaman: 440
ISBN-13: 978-602-385-023-5
Harga: Gratis. Pinjam di iJakarta.
Rating: 5/5

Ove itu laki-laki yang menyebalkan. Pria berusia 59 tahun ini hobinya marah-marah kalau ada hal yang tidak sesuai dengan peraturan. Kalau ada peraturan bilang tidak boleh ada kendaraan di dalam pemukiman, maka dia akan ngamuk kalau ada yang melanggarnya. Dia adalah pria yang sangat menjunjung tinggi moral yang diyakininya.

Ove juga sangat kaku. Dia punya jadwal rutin yang tidak bisa diganggu. Dia bangun tepat pada pukul 6 kurang 15. Lalu, dia inspeksi keliling kompleks. Dia menolak modernisme. Dia tidak suka perubahan.

Siapa yang bisa tahan dengan Ove? Sudah mah dia pemarah dan pemurung, orangnya juga tidak ramah. Dia menjaga jarak dari semua orang. Seolah-olah dia tidak membutuhkan orang lain. Satu-satunya orang yang dia butuhkan adalah Sonja, istrinya. Hanya Sonja juga lah satu-satunya orang yang bisa tahan dengan Ove. Sonja melihat Ove dari sisi yang sangat berbeda dari kebanyakan orang.

Sedihnya, Sonja sudah meninggal. Sejak ditinggal Sonja enam bulan yang lalu Ove merasa hidupnya hampa. Dia merasa sudah tidak ada gunanya lagi menjalani hidup. Ove pun merancang berbagai skenario untuk bunuh diri, tapi entah bagaimana rencananya itu selalu digagalkan oleh para tetangganya.

Ove merasa kesal karena rencananya untuk menyusul Sonja selalu tertunda. Di depan nisan istrinya Ove meminta maaf karena harus menunda rencananya lebih lama lagi. Ada banyak urusan yang harus diselesaikannya terlebih dahulu karena para tetangganya itu tidak bisa apa-apa tanpa dirinya. Ove tahu Sonja tidak akan berkeberatan. Ove juga tahu Sonja akan senang jika Ove membantu mereka.

Don’t judge book by its cover. Petuah itu benar pada cerita Ove. Di awal-awal cerita saya sempat kesal dengan Ove. Tokoh ini kok rasa-rasanya menjengkelkan sekali. Angkuh, pemarah, dan cuek dengan sekitar. Tetapi, semakin saya meneruskan membaca ceritanya, halaman demi halaman saya geser di aplikasi iJakarta, saya semakin mengenal sosok Ove. Tidak mudah memahami Ove. Satu hal yang pasti begitu kita mengenalnya kita akan jatuh cinta dengan karakternya.

Di buku ini memang diceritakan Ove yang berusia 59 tahun, tapi sepanjang buku Backman menceritakan kepada kita kehidupan Ove sejak dia kecil, hubungannya yang dekat dengan ayahnya, pekerjaannya, dan pernikahannya. Juga kepedihannya. Kita juga dibuat mengerti kenapa Ove bisa bermusuhan dengan Rune — tetangganya — lebih dari empat dekade padahal mereka dulunya bersahabat karib.

Backman menempatkan Ove benar-benar sebagai tokoh sentral yang patut kita perhatikan. Untuk itu Backman telah mengerjakan tugasnya dengan baik. Kita dibuat penasaran. Apa yang membuat Ove begitu pemurung dan pemarah? Kenapa dia begitu tertutup? Sebenarnya Ove itu baik atau jahat?

Backman membuka tabir gelap yang menyelimuti sosok Ove dengan santai. Secara bertahap dibukanya tabir tersebut. Lewat tetangga-tetangganya, seperti Parvaneh dan Patrick beserta kedua anak mereka, Jimmy, Adrian, dan suami-istri Rune dan Anita, kita menjadi tahu bagaimana sosok Ove sebenarnya. Sosok yang membuat saya sebal di awal untuk kemudian menjadi sosok yang saya hormati dan saya sayangi.

Ove menyayangi orang-orang di sekelilingnya dengan caranya sendiri. Dia bukan tipe orang yang ekspresif atau dengan gampang mengungkapkan perasaannya. Dia menunjukkannya langsung dengan perbuatan.

Adapun tokoh lain yang saya suka di sini adalah Parvaneh. Karena, selain Sonja, Parvaneh bisa melihat seperti apa Ove sesungguhnya. Seolah-olah Parvaneh bisa menembus dan membaca hati Ove. Padahal di awal pertemuan mereka tidak bisa dibilang mulus juga.

Parvaneh sekeluarga adalah orang baru di kompleks perumahan Ove. Patrick, suami Parvaneh, dengan mobil karavannya menabrak dinding rumah Ove dan merusak petak bunganya yang tidak ditanami apa-apa. Sambil bersungut-sungut Ove memindahkan karavan tersebut tanpa diminta.

Parvaneh dengan gayanya sendiri dan sikap ramahnya, yang bagi Ove pada awalnya sangat mengganggu, berhasil meluluhkan Ove. Pelan-pelan Ove menjadi lebih mau terbuka dengan orang lain dan kemudian tanpa disadarinya dia menjalin persahabatan erat tidak hanya dengan Parvaneh dan keluarganya, melainkan juga dengan tetangganya yang lain.

A Man Called Ove ditutup dengan baik. Cara Backman membawa cerita sampai ke akhir sangat mulus. Tanpa cela dan sangat masuk akal. Meski memang di akhir cerita saya dibuat menangis tersedu-sedu. Sebenarnya saya sudah mulai merasa sedih dan menangis sejak bab 38. Tangisan saya semakin menjadi di bab akhir. Di bab-bab sebelumnya beberapa kali saya dibuat merinding terharu dan kagum dengan Ove.

Saya memberikan skor tertinggi untuk A Man Called Ove bukan karena buku ini bisa membuat saya menangis (sepertinya sudah lama sekali saya tidak menangis karena membaca novel), tapi karena ceritanya yang sederhana dan membumi. Well, fine. Itu juga. Karena itu berarti secara emosi saya sudah terikat dengan buku ini dan saya jadi menangis karena terbawa arus cerita. Tidak cuma itu, tapi ceritanya juga tentang kasih sayang dan hubungan yang baik dengan tetangga.

A Man Called Ove seperti ingin bercerita kepedihan dan kesuraman dari kehidupan Ove, tapi emosi yang kita dapatkan justru rasa bahagia. Dan tentu saja karena Ove, tokoh utama yang sungguh luar biasa dan di luar perkiraan. Kredit juga patut diberikan kepada penerjemah buku ini, yaitu Ingrid Dwijani Nimpoeno. Ingrid berhasil menerjemahkan A Man Called Ove sehingga membuat buku ini menjadi nikmat untuk dibaca. Karena semua itulah buku ini layak untuk mendapat skor 5 dari 5. Because it was simply amazing and wonderful. 

8 tanggapan untuk “#51 – A Man Called Ove”

Tinggalkan komentar